SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 133

TUNRENG Talaga diyakini masih berkerabat dengan raja-raja Wajo, atau setidaknya memiliki hubungan yang khusus. Ada yang menyebutnya sebagai pelanjut kesaktian Petta Cinnotabi terakhir. Seorang raja sakti mandraguna yang ilmu-ilmunya diturunkan secara terbatas. Maka ia pun tak merekrut sembarangan murid. Ia hidup dalam hutan di pinggir sebuah anak sungai kecil bersama pengikut-pengikutnya.

Nama terakhir, sekaligus yang dianggap menempati puncak kemanrapian di antara yang lainnya adalah seorang tokoh yang bermukim di Karoue, jejeran pegunungan tinggi yang membujur panjang di wilayah paling utara negeri Luwu. Ia anreguru maha sakti yang tak pernah terlihat di keramaian. Muridnya hanya beberapa orang tertentu. Ia tidak membangun pemukinan anreguru seperti halnya guru-guru besar lainnya.

Ia memiliki tingkat kesaktian yang sangat tinggi dan dijuluki Karame’e ri Tompo Balease’, Manusia Keramat dari Puncak Balease. Tompo’ Balease adalah sebutan untuk satu puncak tertinggi di pegunungan Karoue. Puncak ini berkembaran menjulang langit bersama puncak mahsyur lainnya yang disebut Tompo Toelangi. Tidak ada informasi tentang asal usulnya. Tapi nama besarnya yang mirip tahayul menjadi buah bibir masyarakat sepanjang pegunungan Karoue sampai jauh ke Teluk Bone.

Bahkan namanya sering disebut-sebut secara terbatas di lingkungan istana kerajaan Luwu sebagai mahaguru yang memiliki nasab tersambung sampai ke Baginda Batara Guru dari Ware’, puncak silsilah dari raja-raja negeri Bugis. Istana menuliskan namanya dalam salah satu lontara sebagai pewaris tunggal dari kesaktian To Manurung melalui jalur Batara Lattu, menurun ke anaknya Tenri Abeng sampai silsilah rahasia dari penjaga ilmu-ilmu Batara Guru.

Kesaktian yang dimilikinya sangat tinggi, tak lumrah untuk ukuran manusia pada umumnya. Unru-unru (jurus-jurus) silatnya khas dan dikenal sebagai Silat Sulapa dengan ilmu sakti yang disebut Lemmung Manurung. Tingkat pencapaian kesaktian Karame’e dianggap puncak tertinggi dari kesaktian yang mampu dicapai seorang manusia saat itu.

To Manurung adalah sematan untuk manusia pertama yang memimpin kerajaan-kerajaan awal yang datang ke bumi dengan penuh kesaktian. Digambarkan turun dari langit untuk memperbaiki dunia ummat manusia. Silat Sulapa adalah sebuah silat tingkat tinggi yang menjadi warisan para To Manurung.

Untuk mempelajarinya, seseorang sudah harus memiliki dasar-dasar silat tinggi. Maka tak jarang banyak guru-guru besar secara khusus mencari Karame’e untuk menjadi muridnya. Meski sangat sedikit yang mampu mendapatkan kesempatan bertemu dengannya.

BERITA TERKAIT :

Itu sekilas tentang dunia para pannigara pamencak, dunia yang tak bisa dilepaskan dari dinamika peperangan yang banyak terjadi dan mudah tersulut waktu itu. Maka ketika ada perayaan-perayaan atau acara khusus di lingkungan istana, pertunjukan pencak silat menjadi menu yang wajib ada. Semacam penegas bahwa kehidupan adalah pertarungan yang harus dimenangkan.

Demikian pula keramaian di Peneki itu. Suka cita berlangsung meriah di rumah besar yang berdiri kokoh dengan aura yang kuat. Sebenarnya, tempat itu bukanlah istana, tepatnya adalah sebuah rumah besar dengan kamar dan ruangan yang banyak.

Ia merupakan rumah terbesar di Peneki dengan atap menjulang berjumlah tiga. Dua membujur di depan sebagai rumah utama, satunya lagi melintang di belakang. Terlihat juga di pojok halaman belakang beberapa rumah lawasoji mirip gazebo dengan halaman luas di samping belakang, persis di tepi sungai kecil yang mengalir lambat. Tempat inilah biasanya menjadi arena sabung ayam atau pertandingan silat pada momen-momen tertentu.

Tiang-tiang rumahnya besar bundar dari kayu pilihan. Atap besar utama dari kayu sirap terlihat hitam gelap dengan timpa’ laja (penutup bagian depan atap) bersusun tujuh melambangkan  bahwa ini bukanlah sembarang rumah. Dalam tradisi Bugis, hanya mereka yang berdarah biru penuh yang diperkenankan membangun rumah selevel itu.

Rumah besar sekaligus istana itu adalah kediaman Puengta (Baginda) La Mataesso To Adettia bersama istrinya We Tenri Angka Arung Singkang. Seorang bangsawan terkemuka Peneki yang dicintai rakyatnya. Mereka masih bersaudara dengan Arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua.

Pasangan  bangsawan inilah yang mengendalikan Peneki, memastikan kehidupan rakyat berjalan aman dan menjadi penghubung utama kerajaan Wajo yang saat itu berpusat di Tosora dengan negeri-negeri palili (negeri bawahan sepemakmuran Wajo) yang tersebar sepanjang Sungai Walennae sampai simpang Sungai Cenrana, Danau Tempe dan anak-anak sungai lainnya.

Peneki sendiri berada tak jauh di pesisir Teluk Bone. Memiliki pelabuhan sungai yang memungkinkannya terhubung dengan negeri lain. Kapal-kapal dari Luwu yang menuju Bone maupun Makassar sering singgah berlabuh sekadar beristirahat atau berdagang. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 8 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!