SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 52

TAK perlu tiga hari, keputusan itu datang besoknya. Raja memberikan perkenan untuk mereka membuka pemukiman di pinggir Mahakam. Namun Raja Kutai memberikan beberapa sabda petuah  sebelum keputusan itu.

“Kedatangan To Ugi (orang Bugis) ke Kutai sudah berlangsung lama. Hampir setua dengan orang-orang Cina dan hubungan kami dengan Jawa. Telah ada beberapa pendahulu kalian yang tidak patuh pada adat dan cenderung abai pada perintah kerajaan. Maka, sebelum keputusan kuambil sebagai Maharaja Kutai Kartanegara, kalian harus tahu bahwa ada ikrar yang wajib kalian ucapkan dan patuhi. Aku telah mendapat wangsit, bahwa kalian carilah tempat di mana air memutar di kedalaman sungai. Letaknya ke hulu dari istanaku ini tapi sebelum sampai pada Pemarangan.”

“Sabda baginda Raja kami dengar dan akan kami patuhi.” La Mohang menjawab takzim mewakili rombongannya.

Mereka lalu mencari tempat agak ke hulu dari Ibukota Tepian Batu. Tempat itu ditunjukkan oleh isyarat alam. Pada mulanya, mereka menamainya Sulili (Sulili, air yang berputar). Tapi kemudian arus air di tempat itu benar-benar berputar dan tak pernah tenang, sulit bagi perahu kapal untuk melakukan manuvernya.

Maka mereka bermohon lagi untuk berpindah ke wilayah seberangnya yang lebih tenang dan memiliki tanah yang datar. Raja sekali lagi mengabulkannya, maka setelahnya, upacara sederhana dibuat. Upacara pembacaan ikrar sumpah setia pada kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martapura. Di hadapan Raja dan para menteri kerajaan dan petinggi istana lainnya, mereka berikrar, bersumpah setia pada kerajaan.

“Kami La Mohang Daeng Mangkona  , beserta orang-orang Bugis menyampaikan ikrar kesetiaan kepada Kerajaan Kutai Ing Martadipura.

Kutai adalah angin bagi layar kami di perantauan ini, berhembus ke arah mana pun akan kami mengikut,

Kutai adalah tuan di tanah yang kami buka,

Musuh Kutai adalah musuh kami,

Saudara Kutai adalah saudara kami.

Dewata Seuwwae menjadi saksi

Kami adalah orang-orang yang memegang ikrar …..”

Ikrar telah disampaikan, tantangan disongsong dengan penuh antusiasme, kehidupan baru dimulai. Mereka kemudian menebas hutan, membangun pemukiman di pinggir sungai dalam rakit-rakit yang tinggi sejajar, kawasan pertanian, dan pelabuhan.

CERITA SEBELUMNYA :

Tutur pendahulu kemudian menyebutkan, dari 120 orang generasi pertama itu, kian hari kian berkembang pesat dan ramai. Dataran luas itu menjadi mekar, bunga-bunga kehidupan bergairah. Perkampungan yang mereka buka itu telah tersambung dengan beberapa kampung kecil tua yang telah ada tak jauh dari di tempat itu sebelumnya.

Sebuah kampung tua bernama Mangkupalas juga telah menyatu dalam asimilasi kehidupan. Mereka lalu membaur membangun peradaban baru. Penghuninya terus bertambah. Mayoritas adalah orang-orang Bugis dari Wajo dan pendatang-pendatang, baik orang Bugis maupun orang-orang yang telah berkawin mawin dengan mereka.

Tempat itu lalu menjadi daerah yang ramai, tempat orang-orang bertemu dengan berbagai komoditi perdagangan. Orang-orang yang berdatangan itu lalu menamai wilayah itu Samarendah, dari bahasa Melayu secara harfiah berarti sama rendah.

Beberapa rumah yang mereka dirikan memang sama rendah, pun rumah-rumah rakit juga terlihat memiliki ukuran ketinggian atap yang sama. Lama kelamaan, sama rendah itu secara filosofi diterjemahkan sebagai kesetaraan dalam kehidupan dan tak boleh lebih tinggi dari yang dijunjung, yakni Kerajaan Kutai Ing Martadipura.

Mereka juga membentuk laskar cadangan pembela kerajaan. Sebagai prajurit tempaan perang yang terlatih, mereka membangun angkatan khusus yang setiap saat siap membantu kerajaan dari musuh-musuh yang datang, baik dari dalam maupun dari luar. Keberadaan mereka di hilir membuat posisinya seperti pintu gerbang sebelum mencapai Pemarangan.

Mereka telah terdidik oleh adat Wajo sebagai kesatria yang memegang teguh ikrar. Pantang menjilat ludah, pantang berkhianat. Beberapa kali mereka berperan secara signifikan dalam menghalau perompak-perompak yang menyerang Kutai. Mereka juga membangun dewan adat internal.

Pimpinannya disebut Puang Ade’ (pemangku adat), sering disebut sebagai Pua Ado dalam aksen setempat. Pua Ado pertama kalinya adalah La Mohang Daeng Mangkona. Tempat itu dari Sama Rendah kemudian mengalami asimilasi penyebutan menjadi Samarinda yang kita kenal sampai hari ini.

Samarinda yang kian lama kian ramai. Gelombang pendatang dari segmen lain juga telah memenuhi tanah di seberangnya yang saat ini disebut Kota Samarinda. Tanah seberang itu sebelum kedatangan mereka sebenarnya telah ada kehidupan yang tua dari para penghuni yang lebih dulu datang, yakni orang-orang Cina, Banjar dan beberapa pendatang lain.

Namun kehadiran La Mohang dan rombongan telah menciptakan efek pertumbuhan yang sangat pesat, bahkan lebih pesat secara ekonomi dibanding Kotaraja. Maka nama Samarenda menjadi lebih terkenal dari nama-nama kampung tua yang ada di sekitar tempat itu. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 1 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!