SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 61

TERNYATA itu sebuah ruangan yang cukup luas dan hangat. Di pojok ia menemukan batu api yang kemudian coba dinyalakannya dengan ranting-ranting kering yang berserakan. Api menyala menerangi seisi ruangan. Ia berdebar, ini adalah seperti tempat tinggal. Di pojok lain ada batu besar yang beralaskan rumput-rumput kering dan tumpukan kain kasar, mungkin itu tempat tidur.

Di sampingnya membujur bengkulang (kulit kambing yang dikeringkan), semacam alas sejadah untuk shalat. Jelas sekali itu tempat shalat yang sudah lama digunakan seseorang, terlihat bekas tangan, lutut dan sujud di atasnya. Aji Imbut terus memeriksa sekitar, ada aura angker di udara seisi ruangan. Matanya melihat di dinding ada tombak pendek yang digantung.

Ia menyulut api pada pelita kuno yang ada di tempat itu, menyala. Suasana berganti cukup terang. Ia meraih tombak lalu perlahan mencabutnya. Sebuah besi tombak yang baik, aroma dan warna besinya mirip badik Sari Luwu di istana Peneki. Ia merasakan ada kekuatan gaib saat mencabutnya. Di sela-sela sarung terselip sebuah tulisan dari daun lontar,

Tombak pendek ini milik Karame’E Tompo Balease,

Peninggalan Petta La Patiroi

 Wasiatnya, tidak boleh dimiliki

kecuali turunan La Patiroi Petta Cinnotabi

 Aji Imbut mengembalikan tombak ke tempatnya. Dengan hati-hati ia duduk di pembaringan. Ia pernah mendengar kakeknya berbicara tentang seorang sakti manrapi yang bernama La Patiroi Petta Cinnotabi terakhir. Kakeknya memiliki darah yang tersambung padanya. Jelas, iapun memiliki garis dari manusia sakti itu.

CERITA SEBELUMNYA :

Namun, ia tidak akan membawa pulang tombak pendek itu. Ia hanyalah keturunan samping. Ia adalah keturunan langsung dari Aji Batara Agung Dewa Sakti, Maharaja Kutai Ing Martadipura, nasab laki-lakinya menuju ke sana.

Meski berpikir demikian, tombak pendek itu diraihnya lagi. Dikeluarkan dari sarungnya. Lalu ia mencoba memainkannya dengan sebuah jurus sulapa enneng. Terdengar bunyi seperti lebah yang berdengung. Ia terus memainkannya sampai jurus terakhir. Tombak itu ringan dan ganas. Ia merasakannya. Ia ulangi berkali-kali. Setelah berkeringat, ia lalu berhenti dan berkesimpulan, tombak pendek ini sangat baik dipakai buat latihan.

Ia tidak pernah tahu, bahwa tombak itu adalah senjata paling ditakuti di jamannya. Tiga orang Petta Cinnotabi terakhir, menjadikan tombak ini sebagai tombak panglima di medan perang. Pemegangnya adalah pemimpin perang sekaligus orang tersakti di Cinnotabi, cikal bakal kerajaan Wajo.

Melihat bekas-bekasnya, goa ini adalah tempat tinggal La Massagala yang menuliskan dirinya sebagai murid terakhir dari Karame’E Tompo Balease. Ia keluar goa kemudian kembali memeriksa semua tempat di puncak itu. Sejauh ini, ia yakin bisa bertahan hidup.

Seperti ia pernah mendengar wejangan Petta Kalie, guru spritualnya, semua masalah akan mudah jika menyandarkan diri pada kebesaran Allah dan berpasrah pada apa yang digariskanNYA. Berpikir begitu ia bersujud di puncak itu menghadap kiblat ke arah barat. Bersyukur atas hidup yang masih dipinjamkan dan berdoa untuk terus diberi kesabaran.

Begitulah, Aji Imbut sementara hidup menyendiri di ketinggian yang disebut Tompo Balease itu. Ia hidup dengan memakan daun-daun pohon raksasa yang terasa asam manis. Sesekali dengan kepandaian, ia juga memakan burung-burung yang berhasil disambitnya. Tidak terbilang berapa lama ia tinggal di puncak itu menunggu musim hujan berlalu, selama itu pula ia terus melatih diri memainkan seluruh ilmu bela diri yang diwarisi dari kakeknya.

Kebanyakan dengan tombak pendek peninggalan Petta Cinnotabi, atau dengan sebuah keris sapukala (keris berbentuk lurus) yang sering dibawanya sebagai pengganti Keris Buritkang yang ditinggal di istana Peneki. Secara hitungan, ia telah mahir memainkan silat sulapanya sampai tingkat delapan (Sulapa Arua). Sebuah capaian yang teramat tinggi untuk rata-rata pamencak saat itu. Ia juga rajin mandi di sumur panas maupun dingin.

Meski tanpa pembimbing, ia melakukannya dengan memakai naluri. Pertama ia berendam di sumur panas agak lama, lalu diteruskan masuk di kolam dingin dengan durasi lebih lama. Setiap ia selesai berlatih, ia rutin melakukan mandi atau berendam di dua sumur itu. Ia merasakan kesegaran luar biasa setiap kali selesai berendam. Tubuh terasa ringan segar dan napasnya lebih panjang.

Selebihnya ia masuk ke goa lalu melakukan aktifitas ibadah di sana. Salat, zikir, berdoa, dan melatih pernapasan. Setiap hari ia melakukan rutinitas itu dan tanpa disadarinya tubuhnya makin sehat dan tenaga lemmung di dalam tubuhnya bekerja makin menguat. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com) 

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 8 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!