SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 47

HANYA karena kekuatan militernya yang makin melemah membuatnya tidak melakukan konfrontasi langsung dengan sekutu-sekutu Belanda utamanya Bone yang berbatasan langsung dengan Peneki. Kelemahan paling dirasakan La Maddukkelleng ketika orang paling diandalkannya. La Banna To Assa mengundurkan diri dan pamit kembali ke Balanipa, daerah asalnya.

Ia tak kuasa menahannya. La Banna telah terlampau lama dalam pengabdian seorang kesatria sejati, panglima tangguh dan juga saudara seperguruan yang setia. Ia melepasnya dengan pelukan dan air mata berlinang. Kepadanya ia berikan Gecong Pangkajenne, badik bertuah miliknya yang paling diandalkan di setiap pertarungan jarak dekat.

La Banna awalnya menolak karena ia tahu itu adalah badik La Maddukkelleng paling berharga, selain badik kecil dari Paser yang berjuluk Cobo-cobona Pasere, Gecong Pangkajenne juga hampir tak pernah lepas di pinggangnya. Ia sering menyaksikan keampuhan badik panjang itu dalam pertempuran-pertempuran hebat. Tapi La Maddukkelleng berkeras.

“Banna, engkau adalah saudaraku yang paling setia mendampingiku selama ini. Gecong itu seperti halnya dirimu, tak pernah meninggalkanku dalam keadaan suka duka. Maka terimalah ia sebagai tandamata dariku. Sewaktu-waktu datanglah berkunjung ke sini. Karena aku yakin pasti akan merindukanmu.”

La Maddukkelleng memeluk sekali lagi panglima yang kini seluruh rambutnya telah memutih akibat penyembuhan luka-lukanya dari bertarung dengan I Banranga, manusia sakti dari Bawakaraeng. Ia juga memaksa La Banna menerima sekantum emas batangan sebagai bekal kepulangannya.

CERITA SEBELUMNYA :

La Maddukkelleng mencoba mengorganisir dan mendidik ulang beberapa pasukan-pasukannya yang tersisa. Ia juga tetap aktif terlibat dalam politik kawasan. Pengaruhnya sebagai mantan Arung Matoa dan aksesnya ke pasukan elit Wajo membuat daya tawar politiknya masih sangat diperhitungkan.

Satu ketika, ia mengirim surat kepada Arung Matoa ketika itu, La Passaung, untuk mewaspadai La Pallawa Gau yang saat itu masih menjadi salah satu panglima besar Wajo. La Passaung yang berusaha untuk lepas dari pengaruh politik La Maddukkelleng tak menghiraukannya sehingga terjadi perpecahan keduanya.

Tak bisa dipungkiri, retaknya hubungan Arung Matoa Wajo La Passaung dan Arung Peneki La Maddukkelleng membuat Wajo ikut melemah. Banyak daerah bawahan yang melepaskan diri dari Wajo. La Passaung dinilai tidak berkemampuan memimpin Wajo. Ia mengundurkan diri setelah dua tahun memerintah. Ia lalu digantikan oleh La Mappajung yang meneruskan beberapa kebijakan La Passaung namun dengan sikap yang lebih tegas. Hubungan dengan La Maddukkelleng juga tetap berjarak.

La Maddukkelleng tetap pada posisi politiknya sebagai seorang bekas raja besar yang memiliki kelas tersendiri. Ia terus membangun Peneki meski dalam keterbatasan. Ia tak lupa mendidik anak-anaknya menjadi kesatria berkepandaian, To Sibengngareng, To Rawe, To Siangka, dan beberapa yang lain.

CERITA SEBELUMNYA :

Dari beberapa anaknya itu, yang paling menonjol adalah To Sibengngareng dan To Rawe. Dua anaknya yang kini telah dewasa mewarisi jiwa kesatria petualang dari ayahandanya. Mereka telah memiliki kepandaian rata-rata, mewarisi silat Sulapa dan juga Sendeng Baruga. Pun mereka dengan sendirinya masuk dalam elit-elit pasukan Peneki.

Umur mereka berdua tidak terpaut jauh, tapi berbeda sepuluh tahunan dengan ibunda Aji Imbut. Maka saat berjalan bersama Aji Imbut, meski pun mereka adalah paman ponakan, mereka seperti tiga bersaudara. Terlihat hampir sebaya. Dalam berlatih silat pun, mereka lakukan secara bersama. Maka terlihat bahwa yang memiliki bakat besar adalah Aji Imbut, ia sebenarnya telah melampaui dua pamannya itu dalam tingkatan sulapa, hanya saja ia kalah tenaga.

To Sibengngareng dan To Rawe telah berumur dua puluhan kala ia oleh La Maddukkelleng ditugaskan sebagai pimpinan-pimpinan pasukan di perbatasan dengan Bone. To Sibengngareng memiliki watak keras dan berani. Acapkali ia melewati perbatasan yang sering menimbulkan konflik dengan orang Bone.

Hal itu mencapai puncaknya ketika ia bersama beberapa pengawalnya menyelinap masuk Ibukota Bone dan mencuri tiga ekor kuda milik Raja Bone. Kuda itu dibawa lari malam-malam yang oleh pasukan Bone ditelusuri jejaknya sampai menuju Peneki. Tak salah, ini adalah perbuatan orang Peneki.

(BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com) 

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 6 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!