Sidang PK Bos Komura Hadirkan Ahli Hukum Pidana

0 326

    * Putusan Hakim MA Dipertanyakan, Perkara Pidum Berubah Jadi Pidsus

DETAKKaltim.Com, SAMARINDA : Sidang lanjutan Peninjauan Kembali (PK) kasus Ketua Koperasi Samudera Sejahtera (Komura) Jafar Abdul Gaffar di Pengadilan Negeri Samarinda kembali digelar, Kamis (12/12/2019) sore.

Sidang Ke-4 tahap kesimpulan ini dimulai Pukul 15:20 Wita dengan menghadirkan 2 orang saksi, masing-masing mantan Kabid Koperasi Kota Samarinda Ali Mustofa dan ahli hukum Prof Dr Mudzakir,SH,MH dari Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.

Di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Agus Rahardjo SH didampingi Hakim Anggota Burhanuddin SH MH dan Henri Dunant Manuhua SH MHum, tim Penasehat Hukum Jafar Abudl Gaffar masing-masing Neshawaty Arsyad SH MH, Sutriyono SH, Kiky Saepudin SH MH MKn, dan Amirul Mu’minin SH CIL dari Law Office Arsyad Arsyad & Co, satu persatu mengajukan pertanyaan kepada ahli Prof Mudzakir.

Pertanyaan yang mereka ajukan itu cukup menarik untuk disimak, dimana perkara yang membelit bos Komura terkait dugaan pemerasan biaya tenaga kerja bongkar muat (TKBM) di Terminal Peti Kemas (TPK) Palaran, pada Pengadilan Tingkat Pertama PN Samarinda dengan spesifikasi pidana umum (Pidum) diputus bebas. Namun pada tingkat Kasasi Mahkamah Agung (MA) berubah menjadi  pidana khusus (Pidsus).

Putusan bebas Gaffar dianulir Mahkamah Agung atas Kasasi Jaksa. Gaffar dalam kasus ini dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi pidana penjara selama 12 tahun.

Menyikapi  hal tersebut, tim Penasehat Hukum Gaffar mengajukan beberapa pertanyaan. Mulai dari dakwaan JPU yang mengenakan Pasal 368 ayat (1) KUHP junto Pasal 55 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Pasal 4 tentang tindak pidana pencucian uang (TPPU), hingga putusan Hakim MA yang berbeda pendapat (Dissenting Opinion).

Menurut Prof Muzakir, bahwa dalam perkara tindak pidana pemerasan yang mengikutsertakan TPPU setidaknya harus lebih dulu dibuktikkan dakwaan pokoknya, Pasal 368 KUHP, baru kemudian Pasal TPPU.

“Kalau dakwaan pokoknya tidak bisa dibuktikkan, maka tidak bisa dikenakan Pasal TPPU,” terang Muzakir.

Muzakir menjelaskan, dalam teori hukum, tindak pidana pencucian uang itu termasuk tindak pidana berat, yang mana ancaman hukumannya 20 tahun penjara.

Dalam TPPU itu prinsipnya bahwa harus ada terpenuhi dulu salah satu tindak pidana yang dimuat dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Tipikor.

“Setidaknya harus ada harta kekayaan yang dapat dipastikan bersumber dari Pasal 2 Ayat (1). Nah, kalau di dalam dakwaan itu tidak ada, berarti tidak bisa dikenakan TPPU,” jelasnya.

“Ketika ada suatu dakwaan yang digabungkan dengan TPPU, apakah dakwaan tersebut bisa dikatakan kabur,” tanya PH Gaffar.

Ahli kemudian menerangkan bahwa harus dibuktikan dulu perbuatan melawan Hukumnya. Menurut Mudzakir, itu tidak benar dan dakwaan sebaiknya terpisah.

Terkait putusan MA Disetting Opinion yang dipertanyakan PH Gaffar, ahli secara keseluruhan menilai ada keragu-raguan Hakim di dalam mengambil keputusan.

Berita terkait : Sidang PK, Ketua Komura Samarinda Berpeluang Bebas

Menurutnya, Hakim yang mengambil keputusan Disentting Opinion adalah Hakim yang membaca putusan sebelumnya dengan cermat. Sebaliknya Hakim yang tidak membaca putusan dan tiba-tiba mengubah keputusan dari tindak pidana umum menjadi tindak pidana khusus, adalah sebuah kekeliruan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan ini dapat merugikan terdakwa.

“Saya pikir ini harus dikembalikan kepada habitatnya, yaitu tindak pidana umum,” sebut Muzakir.

Pada kesempatan ini pula, terpidana Gaffar mengungkapkan unek-uneknya tentang putusan MA yang dianggapnya tidak memiliki rasa keadilan. Gaffar merasa sampai detik ini dirinya tidak bersalah atas kasus dugaan pemerasan itu.

“Menyesalkan keluarnya putusan Kasasi yang terlalu cepat, hanya 16 hari setelah Kasasi Jaksa Ke Mahkamah Agung,” ungkapnya. (DK.Com)

Penulis : ib

Editor   : Lukman

(Visited 10 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!