SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 87

BANGUNAN kekuatan persaudaraan itu terus terkonsolidasi sampai kemudian datangnya panggilan dari Wajo. Adalah La Dalle Arung Ta’, pembawa pesan langsung yang disertai surat dari La Salewangeng Arung Matoa Wajo kepada La Maddukkelleng, Satria Tana Ugi yang kini memimpin Paser bersama istrinya. Pesan itu adalah panggilan perang dari tanah kelahiran:

“La Maddukkelleng Arung Sengkang dan Arung Peneki,

ponakanku dan harapan kemerdekaan Wajo,

 

Kita telah cukup kekuatan,

Cakar-taji telah tumbuh,

tanduk dan taring Wajo

sudah mulai tajam oleh batu asah jaman.

Sudah saatnya engkau pulang,

memimpin perlawanan terhadap Bone

dan sekutu-sekutunya terutama Belanda.

 

Wajo telah bersiap menunggu gong perang.

Segala apa yang menjadi kelemahan saat engkau pergi,

kini telah kokoh di atas semangat Yassiwajori.”

 

La Salewangeng

ARUNG MATOA WAJO

Kurang lebih seperti itu isi surat yang beraksara Bugis. La Maddukkelleng melipatnya dalam genggaman yang mengeras. Ia menerawang jauh, mengingat apa yang telah diarunginya sejauh ini, giginya mengatup keras. Itulah ciri saat ia sedang berteguh dalam pikiran dan emosi. Ia memperbaiki posisi songkok Melayu-nya, serta merta membaca Basmalah, dan menyatakan ke pembawa surat soal kesanggupannya. Ia menyampaikan ke Arung Ta’ dengan bahasa penuh emosional,

CERITA SEBELUMNYA :

“Jika telah dihidupkan nyala api keberanian di Tosora, maka aku akan segera menyusul pulang ke Wajo dengan tekad dan bekal yang maksimal. Sampaikan kepada Baginda Puengta La Salewangeng bahwa La Maddukkelleng beserta pasukan akan datang secara penuh dalam kondisi “sekke bulu makkepanni” (sempurna bulu dan telah bersayap). Bekalku selama ini telah lebih dari cukup. Saya telah lama menunggu panggilan tanah kelahiran ini. Narapini wettunna (telah tiba waktunya). Aku akan datang membawa amuk bagi Belanda.

Mendengar jawaban itu, Arung Ta’ segera berpamit pulang. Tak ada waktu berlama-lama.

“Kami mendengar kata-kata Yang Mulia Sultan Paser, segera kami berangkat bersamaan musim barat ini. Perkenankan kami mohon diri kembali ke Wajo.” Arung Ta’ dan beberapa orang utusan itu undur diri.

Tak berselang lama setelahnya, di ruang pertemuan para petinggi kerajaan, La Maddukkelleng mengumpulkan seluruh panglimanya beserta orang-orang penting. Baik dari pengikutnya mau pun dari elit-elit Paser. Misi ini adalah puncak dari pergulatan pengembaraannya selama ini. Kepada Ratu Andin, istrinya, ia menyampaikan keputusannya untuk meninggalkan Paser beserta orang-orang pilihannya.

“Jangan pernah ragukan kesetiaan dan abdiku padamu. Apalagi ini adalah perjalanan perjuangan yang mempertaruhkan semua yang engkau miliki. Sebagai istri dan pemimpin Paser, saya takkan hidup dengan sebutan istri yang tak mengabdi suami, Ratu yang kehilangan keberanian. Saya akan mengikut kemana pun engkau pergi, suamiku.” Sang Ratu berkata dengan lembut dan lugas didengarkan oleh para petinggi kerajaan yang hadir. Salah satu ciri melekat dari Ratu Paser ini adalah ketika berbicara, kalimat-kalimatnya jelas, teratur dan jernih. Semua menghormat.

CERITA SEBELUMNYA :

Kepada Kapitan La Banna To Assa beserta Panglima Ambo Pabbola dan Cambang Balolo, diperintahkan untuk membangun sebuah pasukan khusus yang dinamai Pasukan Inti Paser dan Kutai. Rekrutmen pasukan pilihan dilakukan selain dari Paser, Pulau Tuah, juga akan dilakukan dari Johor, Pagatan dan Kutai.

Di putuskan untuk membawa dua kapal perang paling besar dan kuat dengan personil setara satu batalion. Masing-masing kapal membawa meriam-meriam besar berdaya tembak jauh dan menengah. Selain dua kapal besar, juga dilengkapi perahu-perahu serbu berjenis Bintak yang mampu melaju kencang.

Bintak yang berukuran kecil diangkut di sisi kanan kiri kapal layaknya sekoci-sekoci. Tapi yang agak besar ditambatkan di kapal. Bintak-bintak itu berjumlah puluhan. Hanya dioperasikan saat darurat atau saat perang berkecamuk. Jadilah dua kapal itu berfungsi sebagai kapal induk yang diiring puluhan perahu-perahu Bintak.

Ini adalah pengerahan kekuatan maksimal. Untuk menambah daya gempur, didatangkan banyak peralatan tempur, amunisi dan bedil dari orang-orang Inggris yang telah lama bersahabat dengan Paser dan Pulau Tuah. La Maddukkelleng membelanjakan hampir seluruh anggaran perangnya untuk misi ini. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 8 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!