SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 577

MALAM perjamuan tiba. Meski sederhana namun cukup meriah untuk ukuran pulau. Suasana pun masih terasa diliputi sisa trauma kekalahan perang, tapi mereka tampak larut dalam senda gurau yang hangat. Raja Kecil terlihat senang diapit oleh dua istri dan beberapa keluarganya. Anak-anaknya, juga beberapa kerabat yang lain. Semua dalam busana yang cukup terang.

La Maddukkelleng sejak tadi menyapu ruangan dengan pandangan matanya. Posisinya berada di sebelah kanan Raja Kecil. Di antara rombongan tuan rumah, persis di belakang Raja Kecil, ia melihat puteri itu! Terlihat menonjol dengan busananya yang juga terang seperti yang lainnya. Beberapa kali ia melirik dengan ekor matanya. Pandangan mereka bertautan sekilas, sepersekian detik saja.

Ada senyum tipis membayang dan juga gelagat kecil yang kikuk. Entahlah, La Maddukkelleng merasa darahnya berdesir. Ah, inilah ujian salah satu cappa’ (ujung) yang menjadi bekal filosofisnya dalam perantauan ini. Ia tak boleh terlena sembarangan. Maka ia mencoba tak mengarahkan pandangan ke arah sebelah kiri.

Meski setiap kali ditekannya, pandangannya selalu saja seperti ditarik magnet tak terlihat. Setiap ekor matanya ke kiri, saat bersamaan pula Sang Puteri seperti memandang ke arahnya pula. Ia mencoba menggeser posisi duduk, mendengarkan sambutan Raja Kecil yang kini berdiri memberi isyarat kepada pemain biola yang sejak tadi memainkan banyak lagu-lagu Melayu. Semua lalu diam, hening sejenak.

“Saudaraku semua dari Wajo. Ijinkan saya beserta penghuni Gugusan Pulau Tujuh ini, atas nama Kerajaan Siak yang menjadi tempat tinggal kami saat ini, untuk memberikan sedikit penyambutan sambil makan malam. Hanya ini jamuan terbaik yang mampu dihidangkan di pulau ini. Pandanglah ini sebagai ketulusan hati kami yang telah lama menjalin persaudaraan dengan Wajo, dalam suka dan duka. Untuk itu kita memanjatkan doa khusus kepada saudara-saudara kita yang telah gugur dalam perjuangan. Khususnya saudara kita Daeng Matekko yang gagah berani dalam setiap medan laga. Malam ini kami sangat terhormat mendapatkan kunjungan dari seorang kesatria Bugis, Yang Mulia Saudaraku La Maddukkelleng, Arung Peneki dari Wajo, yang juga adalah adik kandung dari almarhum Daeng Matekko.” Raja Kecil sejenak berhenti.

“Bukan tanpa sebab kita dipertemukan di sini. Ini adalah anugerah Allah untuk sebuah kemenangan di masa yang akan datang.” Suara Raja Kecil terdengar khas dalam logat Melayunya.

CERITA SEBELUMNYA :

“Yang Mulia La Maddukkelleng, kami yang hadir di sini adalah sisa-sisa pejuang Johor. Separuh dari pasukan kita adalah orang-orang Bugis Makassar, separuhnya adalah orang Minangkabau. Maka tak ada yang bisa memisahkan antara kita dalam perjuangan ini. Meski Saudaraku La Maddukkelleng kelak akan melanjutkan perjalanan ke Selat Makassar. Ijinkan saya sekali lagi, sebagai Junjungan Pulau, pemimpin persaudaraan ini menghaturkan selamat datang. Kami sekeluarga lengkap ada di sini, kecuali seorang putera dan cucu saya yang saat ini sedang memimpin penyelidikan ke wilayah musuh. Saya ditemani permaisuri dan keluarga yang lain. Anak, cucu dan adik-adik saya. Demikian kata sambutan kami, harap saudara La Maddukkelleng bisa menyampaikan satu dua patah kata sebagai sekapur sirih sebelum kita menyantap malam.” Raja Kecil mengakhiri sambutannya.

Bagi La Maddukkelleng, Raja Kecil ini memiliki suara yang memukau. Meski kalimat-kalimatnya sederhana, tapi intonasi dan dialeknya terdengar mempesona. Ia mengingat Ranreng Bettengpola di Tosora juga memiliki suara seperti itu. Ia berdiri dan mencoba sedapat mungkin tak melihat ke sisi kiri di mana Sang Puteri pasti sedang memperhatikannya.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Ia memulai dengan salam yang dicontohkan oleh agama Islam. Agama semua orang yang hadir di tempat itu. Semuanya langsung bersamaan membalas salamnya. “Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh…”

“Yang Mulia, Baginda Raja Kecil yang saya hormati beserta keluarga Kerajaan Siak yang hadir di tempat yang menyenangkan hati ini. Ijinkan saya, La Maddukkelleng, seorang pengelana dari Tana Wajo menyampaiakan rasa terima kasih tak terhingga atas sambutan yang baik ini. Kami merasa sangat terhormat dan berbahagia bisa hadir di tengah-tengah saudaraku semua. Meski masih suasana dalam kedukaan atas perjuangan yang belum mampu kita menangkan saat ini. Tapi saya yakin, atas perkenan Allah Yang Maha Besar, semua akan kita tebus dengan kemenangan di hari-hari yang akan datang.” (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 38 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!