SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 126

MAKA kawanan bajak yang tak tahu berhadapan dengan siapa tak pernah menyangka bahwa tanpa kesukaran yang berarti penghuni kapal itu telah melumpuhannya. Pemimpinnya yang memegang senjata tewas di tangan Puanna Dekke hanya dalam tiga gebrakan.

Yang lain tumpang tindih dan kini dalam keadaan terikat. Mereka semakin ketakutan ketika mereka mendengar bahwa yang mereka hadang adalah penghuni Pulau Tuah. Orang-orang yang telah membunuh perompak legendaris Wa Kannaco dan merampas pulau beserta isinya.

Mereka dilucuti, senjatanya dirampas dan disuruh menaiki perahu mereka yang kini telah kosong tanpa peralatan dan senjata. Mereka hanyut ke arah gerbang muara, tempat bertemunya kekeruhan air dengan keluasan laut yang biru.

Kemenangan kecil ini menjadi pertanda baik bagi Puanna Dekke untuk menyusuri dan memeriksa muara itu dengan hati-hati. Saat mereka menyusur lebih jauh ke arah hulu, mereka melihat asap membumbung tak jauh dari daratan. Tanda-tanda kehidupan makin nampak. Puanna Dekke dan lima anak buahnya naik ke daratan bermaksud mencari informasi.

Namun saat sampai di sumber api, mereka dihadang orang-orang yang dari pakaiannya terlihat sebagai rakyat kebanyakan. Mereka memperlihatkan sikap siap menyerang. Menghunus mandau (parang panjang khas kalimantan) dan mengambil kuda-kuda siap tempur. Puanna Dekke mengenali gerakan pembuka itu sebagai ciri silat orang daratan besar Borneo.

CERITA SEBELUMNYA :

Gerakan pembuka dengan senjata itu adalah silat Kuntau, sempat ia pelajari saat di Muara Kandilo. Namun ia mengangkat dua tangan ke atas lalu berseru, “Saudara-saudara, kami ini bukan orang jahat. Kami hanya ingin bertanya jika tidak mengganggu..!”

Orang-orang itu lalu saling pandang, menurunkan senjata lalu tersenyum lega. Dari mereka Puanna Dekke tahu bahwa mereka memasuki wilayah kesultanan Banjar. Tempat itu sangat jauh dari pemukiman. Mereka adalah petani-petani yang sering bentrok dengan banyak penyamun-penyamun Sulu yang berkeliaran di sana.

Muara itu menjadi tempat persembunyian para perompak-perompak yang sering membuat onar kampung terdekat dan perahu-perahu yang melintas. Mereka sedang mengambil rotan yang melimpah di tempat itu.

“Tempat ini namanya Pamagatan (Banjar: tempat pembersihan rotan). Tak ada rumah dan ini jauh dari pemukiman. Dengan perahu dayung, kita perlu setengah hari untuk sampai ke kampung terdekat”. Orang tertua di antara mereka menambahkan penjelasan.

Dari keterangan mereka, Puanna Dekke mengetahui bahwa mereka telah berada di wilayah Kerajaan Banjar yang saat itu dipimpin Sultan Kuning bergelar Panembahan Batu yang tidak lain adalah Nataalam atau Panembahan Kaharuddin Halilullah. Mereka terus menyusuri sungai menuju arah hulu. Mereka bertanya arah menuju Ibukota ke setiap perkampungan kecil yang mereka temui.

Pesan Baginda La Maddukkelleng kepada mereka sebelum berangkat adalah temui junjungan bumi di tanah yang engkau pijak. Menetaplah atas perkenan mereka dan hindari bentrok kecuali dengan keadaan memaksa. Ujung lidahmu jauh lebih tajam dari badikmu. Maka jadikanlah kefasihan bicaramu sebagai senjata utama. Tebarkan kemanfaatan, rawat dan bangunlah kehidupan di mana pun kalian berada.

Dengan semangat itu, Puanna Dekke langsung menuju istana saat tiba di Ibukota. Ia mengenalkan diri sebagai perantau dari Wajo. Mencari kehidupan baru atas situasi perang yang terus berlangsung di Celebes Selatan. Banjar kala itu adalah sekutu utama VOC di Kalimantan.

Maka Puanna Dekke tak menyebutkan kalau mereka adalah pengikut La Maddukkelleng, musuh utama mereka di Selat Makassar. Ia lalu menyampaikan maksud mohon izin menempati dan bermukim di daerah tak jauh dari muara yang disebut daerah Pamagatan.

Setelah sembah dan tutur disampaikan, Panembahan menanggapi, “Daerah tersebut adalah hutan belantara dan pangkalan tempat persinggahan orang-orang jahat atau bajak laut (lanun). Apakah kalian cukup bekal untuk membabat hutan dan menghadapi para perompak itu?”

“Ampun Baginda Sultan, kami adalah orang-orang yang tak memiliki negeri. Pilihan hidup kami tidak banyak. Rintangan, tantangan atau bahkan pertarungan telah banyak kami lakoni di laut maupun darat. Atas perkenan Allah Yang Maha Kuasa, semua telah kami perhitungkan. ” Puanna Dekke menjawab tangkas.

Sejenak Sultan memandangi orang-orang yang menghadap itu. Tutur kata teratur, tegas namun wajar. Juga fisik mereka rata-rata tegap dan kekar. Ini adalah orang-orang terdidik, sultan membatin. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 27 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!