SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 77

“SAYA putuskan Pamanda Daeng Mangkana beserta seratusan orang terbaik untuk menyebar ke Kutai, yakni ke wilayah Samarinda yang saat ini berdiam bekas panglima Wajo La Mohang Daeng Mangkona. Mereka telah menjadi bagian dari Kerajaan Kutai. Ini sejalan dengan kebijakan kita untuk mengendalikan seluruh akses muara ke Mahakam,”  kata La Maddukkelleng.

“Armada kita tanpa kesulitan telah memegang situasi penuh di semua pintu-pintu menuju Pemarangan, Ibukota Kutai. Saya akan menyurat ke Raja Kutai untuk menyampaikan kedatangan kalian di wilayah Samarinda di bawah Matoa Samarinda, La Mohang. Mudah-mudahan kedatangan seratus orang makin menguatkan Samarinda sebagai salah satu basis kekuatan orang-orang Wajo di Kutai Kartanegara,” lanjut La Maddukkelleng.

“Kalian mengabdilah bersama orang-orang Samarinda pada kerajaan Kutai layaknya mengabdi pada tanah sendiri. Utusan tak resmi kita telah menjalin komunikasi yang sangat baik dengan pihak keraton Kutai. Alhamdulillah, semua berjalan sesuai skenario. Lagi pula, paman La Mohang sebagai Matoa (Pua Ado) Samarinda telah bermukim di sana lima puluh tahunan bersama pengikut-pengikutnya sebagai salah satu benteng pertahanan kerajaan.  Segeralah atur keberangkatan, tegakkan kepala dan jangan ragu mengarungi kehidupan. Tetaplah dalam semangat ikrar sisumpung sipakatuo, sisumpung lolo sisumpung peru. Rebba sipatokkong mali siparappe. Bertahanlah hingga satu waktu sejarah akan mempertemukan semua kepentingan dan misi kita memerdekakan Wajo dari penjajahan.” La Maddukkelleng berhenti sejenak, memandangi satu persatu wajah pejuang-pejuangnya yang diam namun dalam isyarat tunduk dan patuh.

CERITA SEBELUMNYA :

“Selanjutnya engkau, Puanna Dekke, ambillah satu perahu layar, penuhi perlengkapanmu, cobalah mencari kehidupan di arah selatan Paser. Bukalah kehidupan di wilayah tak jauh antara Paser dan Banjar. Prajurit-prajurit kita melaporkan tentang berbagai muara yang dihuni para perompak-perompak kecil. Taklukkan mereka dan jalinlah persahabatan dengan kerajaan di mana engkau berada. Junjunglah langit di mana pun bumi engkau pijak. Lalu tetaplah mengirim kabar setiap ada kesempatan, jadikan bendera Wajo sebagai panji kebesaran.” La Maddukkelleng telah memutuskan dua hal besar. Tak ada yang bertanya, semua seperti sudah tahu bahwa itu adalah keputusan terbaik, final dan mengikat semua orang. Mereka mengangguk dalam bahasa keteguhan seorang abdi sejati.

Maka tak lama setelahnya, di sebuah hari yang dianggap baik menurut lontara Bilang Taung, berangkatlah La Sellang Daeng Mangkana. Ia membawa perahu yang cukup besar. Bermuatan 120 orang. Dengan gulungan surat bertali kuning sebagai bekal utama. Ia menuju Kutai tak lama setelah pertemuan itu. Tak pernah singgah, angin selatan membawa perjalanan mereka lebih cepat dari biasanya. Mereka sampai di pelabuhan Samarenda, langsung menuju kediaman Matoa (Pua Ado) Samarinda La Mohang Daeng Mangkona.

Kapal berbendera Peneki yang sandar di pelabuhan Samarinda itu cukup menarik perhatian orang-orang.  Mereka langsung menuju ke kediaman Matoa La Mohang. Rumah-rumah di tempat itu berjejer khas sepanjang pinggiran sungai. Memiliki ketinggian yang rata-rata sama kecuali sebuah rumah yang cukup besar dengan teras luas yang berfungsi sebagai tempat pertemuan dan menerima tamu.

Mereka disambut beberapa penjaga rumah yang terlihat tegap layaknya pengawal. Badik besar yang menyembul di depan dan juga juga tombak panjang yang berfungsi sebagai tongkat dari penerima tamu itu menambah kesan bahwa mereka sedang memasuki rumah orang paling penting di perkampungan ramai itu. Mereka dipersilakan menunggu setelah menyampaikan maksud dalam Bahasa Bugis.

Tak lama, muncul orang tua tinggi besar dengan pakaian cukup menonjol. Daeng Mangkana dan beberapa orang itu berdiri menyambut. Tak salah lagi mereka sedang berhadapan dengan Pua Ado Samarinda, La Mohang Daeng Mangkona. Mereka menghatur sembah layaknya adat Wajo. La Mohang mempersilakan mereka duduk. Tak ada kursi di tempat itu, mereka duduk bersila di atas tikar. Suara Matoa Samarinda yang sudah sangat sepuh itu  terdengar parau ketika berbicara.

Mereka berbincang dengan bahasa Melayu tetapi lebih banyak dalam Bahasa Bugis. Berbasa basi cukup panjang sebelum menyampaikan maksud. La Mohang Daeng Mangkona, mantan panglima Wajo itu menerima surat dari La Maddukkelleng. Ia menngangkat surat di atas ubun-ubun sebelum membacanya. Orang tua Samarinda itu tidak kehilangan penghormatan pada adat Wajo. Ia sadar siapa siapa yang empunya surat. Perlahan ia membuka surat dari La Maddukkelleng itu. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 15 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!