SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 84

PROLOG (SAMBUNGAN-4)

DALAM naskah perjanjian Bungaya itu pula, Laksamana Cornelius Speelman yang memimpin armada perang Belanda, membagi dua kelompok kerajaan.

Kelompok pertama adalah kerajaan yang berada di bawah kepemimpinan Arung Palakka yakni Bone, Soppeng, Binamu, Bangkala dan Laikang. Mereka tersebut adalah merupakan sekutu utama Arung Palakka pada saat perang terjadi.

Sementara kelompok kedua adalah kerajaan-kerajaan yang membantu Gowa pada waktu Perang Makassar, antara lain Mandar, Luwu, Wajo, Sidenreng, Ajatappareng, Mallusetasi, Suppa, Sawitto, Enrekang dan Toraja.

Pembagian dua kelompok ini adalah pemetaan awal kekuasaan politik adu domba oleh Belanda.

Perjanjian Bungaya adalah titik nadir kejatuhan Makassar, sejarah mencatat dalam waktu yang lama, Makassar tak pernah lagi mampu melepaskan diri dari bayang-bayang Belanda.

Seluruh kehidupan kemaritiman rakyat dihentikan, berganti pertanian dan perkebunan. Maritim dikuasai penuh oleh Belanda, diambil alih sepenuhnya. Laut termasuk seluruh pelabuhan adalah wilayah Belanda.

Tak ayal, ini adalah sebuah revolusi yang mencabut karakter perekonomian masyarakat Sulawesi Selatan, dari perdagangan, pelayaran, dan perantauan berubah menjadi petani dan pekebun bagi seluruhnya.

Keberagaman penghidupan seolah lenyap berganti kesuraman. Sementara konflik terus terjadi yang tak pernah berbuah kemenangan apa-apa bagi pribumi, selain saling bunuh di antara bangsa sendiri.

Inilah sejarah tentang pelajaran perlunya selalu mewaspadai kehadiran bangsa asing, ini pesan tentang persatuan yang harus ditempatkan di atas ego masing-masing. Kalau tidak, keseharian kita akan penuh onak dan duri perang, saling cakar dan menepuk dulang sendiri secara ramai-ramai.

Keruntuhan Makassar yang dicatat secara dramatis oleh banyak sejarah, juga berimbas terhadap negeri-negeri sekutu terdekat Gowa. Salah satunya adalah Wajo. Sebagai pihak yang berada dalam koalisi yang kalah, Wajo menjadi bagian dari keterpurukan tersebut.

Kemenangan Bone dan VOC membuat Wajo berada di bawah pengaruh kuat Bone, semacam negeri bawahan. Meskipun secara pemerintahan tetap dikendalikan sendiri, mengingat semangat perjanjian Tellumpoccoe.

Tapi secara de facto, Wajo berada di bawah kendali Bone, hal itu terlihat saat Raja Bone merangkap menjadi Ranreng Tua di Wajo, sebuah posisi menentukan dalam pengambilan keputusan strategis kerajaan.

Wajo adalah sekutu paling militan Gowa. Menjelang saat menyerahnya Sultan Hasanuddin di Perang Makassar, Wajo sempat menyampaikan usulan perang habis-habisan. Raja Wajo La Tenri Lai menegaskan dengan lantang di hadapan Raja Gowa bahwa Wajo masih memiliki 10.000 pasukan yang telah bersumpah untuk bertempur sampai mati.

Namun Sultan Hasanuddin Daeng Mattawang berkata,  “Pulanglah ke Wajo. Gowa sudah berhutang 100.000 nyawa orang Wajo yang gugur dalam perang ini. Jika yang 10.000 lagi tewas, tak ada penerus generasi unggul di Wajo.”

La Tenri Lai tidak berkata-kata lagi. Ia mundur ke Wajo dengan api yang tak pernah padam di dadanya.

Bone lalu berkata kepada Gowa, “Perang kita sudah berakhir, Karaeng. Namun perang saya dengan saudara saya Wajo belumlah selesai.”

BERITA TERKAIT :

Kalimat orang Bone ini kemudian terbukti dengan lanjutan peperangan yang terus berkobar di Wajo. La Tenri Lai membuktikan diri tak pernah menyerah sampai perang dahsyat yang terjadi di Tosora.

Ibukota Wajo itu dihancurkan oleh Bone bersama sekutunya. Namun La Tenri Lai tak pernah menyerah dan gagal ditaklukkan oleh Belanda dan Bone sampai kemudian ia meninggal dunia.

Setelah wafatnya La Tenri Lai, Wajo berangsur takluk. Pada masa kemenangan Bone itu, Wajo diperintah secara bergantian dalam masa pemerintahan yang singkat di penghujung abad 18.

Dinamika politik makin menguat terjadi dalam era kepemimpinan Arung Matoa La Salewangeng To Tenriruwa (1713 – 1737).

Di hamparan alur sejarah dan konflik berkepanjangan selama kurang lebih delapan puluh tahun itulah, latar belakang kisah ini membentang.

Ia mengisnpirasi banyak cerita pelarian, intrik antar koalisi dan persekutuan-persekutuan yang terus terbangun namun kembali diruntuhkan sendiri oleh pembuatnya.

Euforia kemenangan besar Bone terhadap Makassar berikut sekutu-sekutunya, menghasilkan bendera kekuasaan Bone yang berkibar-kibar di atas seluruh langit Tana Ugi dengan gempitanya.

La Tenri Tatta Arung Palakka sebagai pemangku puncak tertinggi dari piramida kemenangan itu, mengukuhkan diri sebagai Datu Tungke’na Tana Ugi (Raja tunggal negeri-negeri Bugis). (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 12 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!