SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 169

SULTAN Johor, Mahmud Syah II wafat pada tahun 1699 tanpa meninggalkan harta warisan. Melihat ini, Bendahara Abdul Jalil melantik dirinya sebagai sultan baru yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV.

Selama masa peperangan antara Johor-Jambi itu, terdapat dua kelompok eksternal yang memainkan peran yang sangat signifikan, yakni orang-orang Bugis dan Minangkabau. Mereka mempunyai jasa dan pengaruh yang sangat kuat di Johor.

Orang Bugis dan Minangkabau membaca bahwa dengan kematian Sultan Mahmud II, mereka dapat mengembangkan pengaruh mereka lebih kuat di Negeri Johor. Sebuah visi yang sejalan dengan situasi politik yang berkembang saat itu. Krisis kepemimpinan pasca wafatnya Sultan Mahmud II menjadi momok kian melemahnya Johor yang membutuhkan hegemoni kepemimpinan yang baru.

Dalam masa krisis itu, dari kalangan orang Minangkabau terdapat seorang putra dari Siak, Riau, yaitu Raja Kecil yang ambisius dan mengaku dirinya sebagai pewaris tunggal Sultan Mahmud II. Ia melihat peluang itu dan mencoba menggalang kekuatan orang-orang Bugis sebagai sekutu dalam memuluskan rencananya.

Ia menjanjikan kepada orang Bugis posisi politik kuat apabila mereka menolongnya menaiki tahta kerajaan, dia akan memberi prioritas ketua orang-orang Bugis sebagai Tuan Muda Johor. Orang-orang Bugis yang terbiasa dalam perang dan konflik politik kekuasaan itu pun melihat ini sebagai peluang eksistensi akses kekuasaan. Mereka menyanggupi, menandatangani pakta integritas dan segera ke Selangor untuk mengumpulkan kekuatan sebelum melancarkan serangan.

Namun pada tahun 1717, Raja Kecil yang tak sabaran bersama pasukan Minangkabau dari Siak langsung menyerang Johor. Kepergian orang-orang Bugis yang terlalu lama memberi ketakpastian pada skenario yang telah disusun. Gempuran mereka terhadap Johor efektif. Pada 21 Maret 1718, Raja Kecil telah menawan Panchor. Dia langsung melantik dirinya sebagai Yang Dipertuan Johor bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I.

Setelah peristiwa itu, barulah orang-orang Bugis datang dengan armada besar menuntut janji untuk dilantik sebagai Tuan Muda. Permintaan ini sontak tidak dipenuh karena orang-orang Bugis tidak memberikan bantuan sebagaimana yang diminta oleh Raja Kecil. Orang-orang Bugis dianggap tak memberi kontribusi apa-apa. Orang-orang Bugis itu kecewa dan menganggapnya sebagai sebuah pengkhianatan.

Raja Kecil sukses dilantik. Namun beberapa klan lain tak puas atas hal itu. Bekas Bendahara Abdul Jalil yang kelak terkenal sebagai Sultan Sulaiman membuat perhitungan sendiri. Ia pun cermat membaca situasi dan peluang. Ia menghubungi Daeng Parani, pemimpin orang Bugis, melakukan negosiasi untuk menolongnya mendapatkan tahta dengan dispensasi akses kekuasaan besar. Permintaan ini disetujui orang-orang Bugis.

Sikap Raja Kecil yang dinilai wanprestasi membuat mereka menemukan cara membalaskan amarah. Meski sebelumnya kekecewaan itu tak ditampakkan dengan tak terlalu berambisi menuntut jabatan Yang Mulia Tuan Muda. Tawaran dari Sultan Sulaiman menjadi pucuk dicita ulam tiba. Menjadi alibi yang kuat untuk membalaskan kekecewaan. Koalisi Bendahara Abdul Jalil dan orang-orang Bugis yang dipimpin oleh Daeng Parani beserta saudaranya terbentuk.

CERITA SEBELUMNYA :

Bendahara Abdul Jalil atau Raja Sulaiman  kemudian mengundang  Lima Opu, yakni kelima Putera Opu Tenri Borong Daeng ri Lekke’ untuk mendesain perang dengan target mengusir Raja Kecil yang menduduki Negeri Johor. Opu Daeng Parani  (dikenal juga sebagai Dahing Parni) yang memimpin keempat saudaranya yang lain yakni Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Manambung, Opu Daeng Cella’ dan Opu Daeng Kamase.

Opu Daeng Parani bersaudara lalu menghimpun para pelaut Bugis dan Makassar di Selat Malaka, lalu dikerahkan untuk memerangi Raja Kecil beserta pasukannya. Termasuk dalam tokoh-tokoh yang direkrutnya adalah La Sigajang To Passarai berikut dua puluh anak buahnya. Namun salah seorang tokoh Bugis di Johor yang merupakan Pangeran Wajo, Daeng Matekko, yang kita kenal sebagai saudara tua La Maddukkelleng tidak bersedia ikut dalam persekutuan itu.

Bahkan sebaliknya, beliau beserta pengikutnya memilih bersekutu dengan Raja Kecil untuk melawan Opu Daeng Parani bersaudara. Ketidakbersediaan Daeng Matekko  bekerjasama dengan Opu Lima Bersaudara disebabkan oleh sebuah dendam sejarah lama. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 1 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!