SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 83

PROLOG (SAMBUNGAN-3)

PERSIS pada peralihan abad itulah situasi konflik berlangsung dengan dahsyat. Amuk perang melibatkan hampir semua negeri di kawasan Sulawesi khususnya semenanjung selatan.

Bala tentara berbagai kerajaan terkadang bertemu dalam perang segi tiga tiada habis. Saling serang, saling bantai dan saling kejar sudah menjadi keseharian para prajurit-prajurit kerajaan.

Seluruh energi kerajaan terkuras dalam perang. Idiom sianre bale (saling memangsa laksana ikan yang memakan bangkai sesamanya) sudah menjadi istilah umum untuk menggambarkan kedahsyatan peperangan dan porak porandanya ekonomi rakyat.

Barisan pengungsi dan kelompok-kelompok pelarian terlihat berlalu lalang di sungai-sungai, maupun jalan-jalan penghubung yang membelah hutan dan pegunungan.

Lebih kurang dua puluh tahun Tellumpoccoe berhasil mengimbangi kedahsyatan angkatan perang Gowa. Kekompakan persekutuan Tellumpoccoe banyak teruji di berbagai pertempuran.

Baik langsung maupun tak langsung dengan Gowa-Tallo. Perang perlawanan Soppeng, perlawanan Wajo dan berbagai peperangan-peperangan di perbatasan kerajaan.

Pada sebuah perang besar antara Gowa-Tallo melawan Wajo. Pasukan Gowa-Tallo di bawah pimpinan Karaeng Matoaya berhasil dipukul mundur. Ini menegaskan betapa persekutuan Tellumpoccoe telah menjadi hegemoni baru di tanah Suawesi bagian selatan ketika itu.

Namun itu tak berlangsung lama. Peta politik berubah ketika pada 1605 Karaeng Matoaya, masuk Islam, mengikuti Datu (Raja) Kerajaan Luwu La Patiware’ Daeng Parabbung yang telah lebih dahulu masuk Islam.

Hal tersebut membawa warna baru dalam hubungan antara Gowa-Tallo dengan kerajaan-kerajaan Bugis selanjutnya. Peperangan kemudian berubah menjadi perang pengislaman kawasan negeri-negeri Bugis Makassar oleh Gowa.

Hal itu didasari satu warisan tua perjanjian leluhur (ulu ada) yang menyebutkan bahwa, “siapa saja kelak yang mendapatkan petunjuk dan jalan hidup yang lebih baik, maka yang satu harus memberitahukan yang lain“.

Raja Gowa (Karaeng Gowa) menganggap bahwa ulu ada yang telah ada jauh di kesilaman itu melampaui Tellumpoccoe, memiliki harafiah yang berarti jalan kebenaran. Berarti pula kesepakatan perjanjian harus diberlakukan dan ditaati, dan jalan hidup yang lebih baik itu adalah Islam.

Gowa kemudian melancarkan ekspedisi perang Bundu Kasallangang, atau dalam bahasa Bugis disebut Musu Asellengeng, Perang Pengislaman.

BERITA TERKAIT :

Persekutuan Tellumpoccoe terlihat mulai goyah setelah Datu Soppeng Beowe masuk Islam tahun 1609 mengikuti ajakan Gowa. Kemudian Gowa dan Soppeng bersama-sama menghadapi kerajaan-kerajaan Bugis lainnya.

Ujungnya, Arung Matoa Wajo La Sangkuru Patau antara tahun 1609-1610 juga masuk Islam, dan akhirnya Raja Bone La Tenripale juga dapat dikalahkan dan memeluk agama tersebut tahun 1611.

Di saat satu demi satu kerajaan-kerajaan Bugis tersebut menyerah, Karaeng Matoaya dari Gowa-Tallo tidak menuntut denda perang, melainkan hanya meminta agar mereka mengucapkan syahadat saja. Ini adalah warisan kebijaksanaan historik tiada duanya dari Karaeng Matoaya.

Ia mengesampingkan hukum perang yang menempatkan pemenang sebagai pelucut harta kekayaan bagi yang kalah. Ia menempatkan misi pengislaman di atas semuanya.

Bahkan Gowa-Tallo kemudian menyarankan agar Persekutuan Tellumpoccoe dipelihara kembali oleh Bone, Wajo, dan Soppeng untuk menghadapi musuh yang merugikan agama, sedangkan musuh dari seberang lautan akan dihadapi oleh Gowa-Tallo.

Perspektif yang dibangun oleh Karaeng Matoaya dari Gowa ini secara tak langsung menempatkan dirinya sebagai kakak tertua yang sebenarnya. Tellumpoccoe adalah adik-adik yang akan diayominya setelah Islam resmi menjadi agama kerajaan.

Namun, saat Karaeng Matoaya yang alim dalam beragama itu wafat, lambat laun, seperti halnya pasang surutnya lautan, perseteruan Bone dan Gowa kembali timbul. Persaingan politik yang memperebutkan hegemoni politik Tana Ugi dan Mangkasara berujung pada perang yang berlarut-larut di antara kedua kerajaan.

Bone dan Gowa silih berganti berupaya menguasai kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Tellumpoccoe juga kehilangan soliditasnya. Bone dan Soppeng tetap menjadi sekutu, namun kemudian menjadi bawahan Gowa setelah takluk dalam perang terakhir.

Sementara Wajo dan Gowa telah berada dalam satu ikatan yang kuat. Hingga akhirnya pada 1666 Gowa berhasil dikalahkan oleh Bone melalui peperangan besar yang dikenal sebagai Perang Makassar.

Perang ini melibatkan armada VOC dan juga gabungan pasukan Ambon dan Buton. Gowa dipaksa menandatangani Perjanjian Bungaya. Di satu sisi, ini ihwal pembebasan Bone dari penjajahan Gowa namun sekaligus juga awal kemenangan Belanda VOC di timur Nusantara.

Peta politik kawasan berubah drastis. Kekalahan itu membuat Gowa jatuh pada kerugian besar. Perjanjian Bungaya melemparkan Gowa pada posisi buruk. Pelabuhan-pelabuhan, perdagangan, perijinan perlintasan, jalur pelayaran maupun strategi hubungan politik semua diatur oleh Belanda VOC. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 7 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!