SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 56

KEPERGIAN kakeknya sungguh menjadi pukulan berat bagi Aji Imbut. Ia tidak hanya merasa kehilangan seorang kakek yang sangat dihormati dan disayangnya, tapi ia juga merasa kehilangan seorang ayah dan terutama guru yang luar biasa.

Baginya, kakeknya lebih dari semua itu. Sejak kecil ia dididik, ditempa dan dibekali dengan berbagai pesan-pesan kehidupan dan keilmuan. Ia bahkan merasa lebih dekat kepada kakeknya dibanding paman-pamannya yang merupakan putera-puteri dari kakeknya sendiri. Pernah ia mencuri dengar bagaimana kakeknya menyuruh paman-pamannya untuk menyayanginya bersama adiknya Aji Dayang.

Salah satunya karena ia bersama adiknya itu tak lagi memiliki ayah. Ibunya pun telah diperistri oleh Aji Kado, orang yang dianggapnya telah merampas haknya sebagai sultan. Jadi, pada dasarnya ia dan adiknya dianggap telah yatim piatu. Ia adalah pangeran dari Kutai dan kelak harus membuat perhitungan dengan Aji Kado, perampas haknya dan juga adalah orang yang berada di balik pembunuhan ayahnya, Sultan Aji Muhammad Idris.

Mengingat itu semua, ia tersentak. Ia tak boleh larut dalam kesedihan ini. Ia harus menyusun langkah kembali ke Pemarangan menuntut hak. Ia lalu ingat petuah terakhir kakeknya. Tapi sebelum menyusun langkah, ia harus ke Tompo Balease, menyampaikan pesan kakeknya ke Karame’E, seorang manusia yang disetarakan dengan manusia manurung yang didengarnya mirip pau-pau ri kadong (dongeng).

Maka setelah 40 hari kematian kakeknya, ia pamit ke neneknya Andin Anjang untuk mengunjungi Tompo Balease. Neneknya yang masih terlihat sembab matanya itu hanya mengusap ramputnya seraya menyuruhnya hati-hati. Neneknya itu terlihat sangat berduka. Wajahnya pucat dan rambutnya makin memutih.

CERITA SEBELUMNYA :

Ia memeluknya, mencium tangannya lalu berpamit. Beberapa pengawal menawarkan diri untuk ikut menemani tapi ditolaknya.  Ia berangkat berperahu menuju tempat di mana ia bisa membeli kuda dan menungganginya sampai ke pegunungan Karoue, tempat paling utara di Tana Luwu.

Sebelum kakeknya meninggal, ia telah sering bepergian sampai jauh ke mana-mana. Berbekal ilmu kepandaian tinggi membuatnya tak pernah khawatir di perjalanan jauh. Seorang diri ia berjalan kaki, berkuda atau terkadang memakai perahu melintasi danau dan sungai-sungai. Wajo memilki beberapa danau, salah satu yang paling luas adalah Danau Tempe yang memungkinkannya berperahu sampai Sidenreng atau Batubatu.

Ia menjadi seorang pangeran pendiam yang menyukai kesendirian. Meski beberapa kali kerajaan Peneki menawarkannya pengawalan, tapi ia lebih banyak memilih berjalan sendiri menikmati kebebasan di alam terbuka. Dalam perjalanan ia tak pernah mengenalkan diri sebagai cucu Puengta La Maddukkelleng.

Tapi hampir seluruh rakyat Peneki dan Wajo mengenalnya sebagai putera mendiang Petta La Darise’ Sultan Aji Muhammad Idris. Ia kadang berjalan jauh berminggu-minggu bahkan bulan berperahu melalui danau atau menyusuri sungai-sungai yang panjang. WalennaE, Salo Unynyi, Cenrana dan sungai-sungai kecil lainnya.

Maka perjalanannya kali ini bukanlah hal baru baginya. Meski wilayah yang ditujunya baru baginya, namun semua ditempuhnya dengan semangat tinggi. Apa lagi ini adalah membawa amanah untuk Karame’E Tompo Balease dengan membawa pesan dari kakeknya La Maddukkelleng untuk kesempurnaan ilmu-ilmunya.

Kakeknya itu banyak bercerita tentang Tompo Balease, yang bukan hanya tinggi secara letak, tapi juga memiliki tuah besar karena didiami seorang manusia sakti setara manurung. Seperti kita ketahui Tompo Balease adalah sebuah puncak gunung yang dikeramatkan di ujung utara Tana Luwu. Ia satu dari dua puncak tertinggi di jajaran pegunungan Karoue. Satunya lagi adalah puncak atau tompo Toelangi. Tempat tinggal Karame’E ri Tompo Balease yang menjadi guru terakhir La Maddukkelleng, tepatnya guru dari gurunya yang bernama Bissu Tungke’.

Tompo Balease adalah salah satu puncak tertinggi di antara beberapa puncak di deretan pegunungan yang membentang jauh di utara. Beberapa legenda lontara menyebut pegunungan itu sebagai tempat turunnya to manurung. Maka ada juga yang menyebutnya buting langi (atap langit).  (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com) 

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 3 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!