SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 91

SEMENTARA waktu berjalan, dalam bulan Desember tahun 1740, berselang kurang lebih setahun setelah peperangan di makassar, seperti yang diperkirakan oleh La Maddukkelleng, maka tibalah armada Belanda di Muara Cenrana mengangkut balatentara dan persenjataan lengkap untuk menyerang Wajo.

Mereka mengangkut puluhan meriam dan mortil pelontar geranat. Dipimpin Admiral Adriaan Smout, mereka langsung masuk ke Sungai Cenrana menuju Walennae dan Tosora. La Maddukkelleng memerintahkan kepada seluruh rakyat yang telah direkrut dalam wajib militer untuk menyerang pasukan itu sepanjang sungai dengan peralatan seadanya. Terjadi perang permulaan yang tidak seimbang.

Pasukan-pasukan yang berjaga di sepanjang sungai dalam pos-pos pertahanan belumlah memiliki kekuatan cukup untuk melawan mesin perang sebesar itu. Bedil-bedil yang mereka pakai adalah bedil-bedil tua, bahkan sebagian besar hanya bersenjata tombak, badik yang diikat di ujung kayu panjang, panah atau ketapel pelontar batu. Meriam hanya dipasang satu di setiap pos. Sementara Belanda datang dengan senjata-senjata berat.

Maka, dalam bulan Maret 1741, Belanda berhasil merebut Lagosi Pammana. Dari sana mereka melancarkan serangan ke Tosora. Mirip dalam perang Tosora I, bombardir mereka arahkan maksimal ke Ibukota Wajo itu. Tosora kembali membara. Pasukan La Maddukkelleng membalas serangan itu dengan tembakan meriam pula. Perang artileri meletus.

Perlu diketahui, meriam-meriam La Maddukkelleng sebagian besarnya adalah meriam buatan Inggris. Daya ledaknya lebih besar dan jauh. Salah satu meriam andalannya yang dinamai Bolong Kamase adalah meriam terbesar yang dimiliki La Maddukkelleng. Jika ditembakkan, suara dentumannya lebih besar dan menggetarkan tanah.

Meriam ini saat perang di Makassar hanya diparkir di kapal, tidak diturunkan ke darat karena berat dan membutuhkan banyak tenaga untuk menyeretnya dalam kereta. Kini, Bolong Kamase ini terus memuntahkan peluru ke arah penyerang.

CERITA SEBELUMNYA :

Perang dahsyat kembali terjadi. Jika VOC Belanda dan aliansinya menang persenjataan, maka Wajo menang dalam strategi dan jumlah. Petta La Maddukkelleng melalui Panglima La Banna To Assa dan Pallawa Gau Petta Pillae menerapkan pertahanan gerilya rakyat semesta. Seluruh rakyat Wajo, termasuk daerah-daerah kecil melibatkan diri secara total dalam pertempuran. Anak-anak dan wanita diungsikan atau ditempatkan di bunker-bunker bawah tanah.

Perang berlangsung berbulan-bulan. Ribuan korban berjatuhan. Dengan kekompakan dan kegigihan yang tak pernah surut, La Maddukkelleng mencatat sejarah kemenangan atas VOC dan aliansinya. Ia berhasil mengusir pergi Belanda berikut pasukan-pasukan yang membantunya seperti Bone, Buton, Ambon dan lainnya.

Namun harga yang harus dibayarnya cukup mahal. Selain menantunya Aji Muhammad Idris, telah gugur pula salah satu panglima andalannya yakni Ambo Pabbola atau ada juga yang menyebutnya Puanna Pabbola. Ia terkena tembakan meriam. La Banna To Assa yang masih belum pulih sepenuhnya dari luka akibat perkelahian dengan I Banranga Anreguru Bawakaraeng juga mengalami luka baru di bagian dalam dadanya.

Ketika berhadapan dengan La Cella’ Bangkeng, seorang pendekar Buton yang kesohor sebagai Pannigara Timurung, kembali ia mengalami luka dalam yang parah. Meski ia berhasil memenangkan pertarungan dan membunuh La Cella’ Bangkeng, tapi ia memuntahkan darah yang banyak. Maka oleh La Maddukkelleng, ia disuruh ke Ale’ Labuaja untuk berobat ke Tunreng Talaga, gurunya.

Namun, hutan itu telah sepi penghuni. Hanya tinggal satu dua orang yang menunggu hutan. Tunreng Talaga ternyata sudah lama meninggal dunia. Ia dikuburkan persis di samping tangga rumah bertiang satu. Sejak meninggalnya, tak seorang pun muridnya yang berani menaiki rumah angker itu. Beberapa penghuni yang datang ke tempat itu sebagai murid-murid penghayat dikabarkan telah pergi semua. Entah kemana.

CERITA SEBELUMNYA :

Namun La Banna adalah murid utama manusia sakti itu. Ia menaiki rumah ditemani empat pengawal, beristirahat di sana untuk waktu yang lama. Posisinya sebagai panglima utama diambil alih oleh Cambang Balolo.

La Maddukkelleng kembali mencoba membangun Wajo yang porak poranda. Secara darurat ia menata ulang angkatan perangnya. Pasukan Inti Paser dan Kutai yang kehilangan Raja Muhammad Idris diberi personil tambahan dan diintegrasikan dengan pasukan elit kerajaan. Kemenangan barusan yang diraih telah menguras banyak tenaga dan logistik perang. Ia tak puas dengan kemenangan itu.

Beberapa negeri tetangga yang sebelum perang telah menyatakan takkan terlibat dan membantu VOC ditengarai membantu musuh secara diam-diam. Salah satunya adalah Sidenreng. Dalam pikiran La Maddukkelleng, Sidenreng harus membayar kematian menantunya, Aji Muhammad Idris yang gugur dalam rangka membangun kerjasama Wajo – Sidenreng. Alih-alih mengirim bantuan, malah ia sangat yakin secara diam-diam mereka membantu VOC Belanda dan Bone. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com) 

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 1 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!