Kasus Tipikor e-PNBP, Saksi Ungkap CV JAR Tidak Punya RKAB

Jual Batubara 14 Kali dari Agustus – Oktober 2019

0 213

DETAKKaltim.Com, SAMARINDA : Kasus Tindak Pidana Korupsi Pembayaran Royalti sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam penjualan Batubara, yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp4.503.087.964,29,- dilakukan Terdakwa Hartono Bin Ahsan Direktur Cabang Tenggarong CV Jasa Andhika Raya (CV JAR), sebagaimana disebutkan dalam Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Menurut saksi sekaligus pelapor kasus tersebut Irwan Santoso seharusnya tidak terjadi, jika semua pihak terkait dalam penjualan Batubara melaksanakan fungsinya masing-masing dengan baik.

Sejumlah institusi dinilainya tidak melaksanakan fungsinya dengan baik, seperti Dinas ESDM, PBM, Surveyor, dan KSOP.

“Mempunyai kewenangan untuk melakukan kontrol, tapi tidak dilakukan hingga terjadilah kerugian negara dan memperkaya orang lain,” jelas Irwan saat dikonfirmasi di Kantin Pengadilan Negeri Samarinda, Selasa (30/11/2021) sore.

Dalam keterangannya kepada DETAKKaltim.Com, Irwan dari PT Cahaya Ramadhan mengatakan, melaporkan kasus tersebut ke Kejaksaan Tinggi 18 Desember 2019 lantaran telah dirugikan CV JAR.

Kerugian itu timbul setelah melaksanakan kewajibannya sebagai investor dengan mengerjakan pekerjaan infrastruktur pembuatan jalan hauling, stockpile, satling pond, menguruk pelabuhan, mengurus dan mengajukan RKAB Tahun 2019 ke Dinas Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kaltim namun tidak keluar-keluar.

“Investasi habis Rp2 Milyar (M),” kata Irwan.

Yang membuatnya bertanya-tanya ada terjadi sejumlah penjualan Batubara menggunakan dokumen CV JAR, padahal ada surat dari Dinas ESDM Provinsi Kaltim nomor 540/1009/1a-MINERBA tertanggal 14 Maret 2019 yang ditandatangani Baihaqi Hazami selaku Plh Kepala.

Perihal surat itu, kata Irwan, Penyampaian Informasi menindak lanjuti surat Direktur CV JAR Nomor 01/Jar-SPRP/II/2019 tanggal 19 Februari 2019.

Pada angka 4 menyebutkan tidak bisa melakukan stock opname dan menerbitkan Surat Keterangan untuk Pengapalan, sebelum adanya progres pemenuhan kewajiban perusahaan.

Menurutnya, tidak mungkin Batubara itu bisa sampai ke tangan pembeli (buyer) jika kelengkapan dokumen tidak terpenuhi. Tapi nyatanya ada penjualan, yang dilihat dari pembayaran e-PNBP.

Iapun menjelaskan bagaimana alur penjualan Batubara. Setelah terjadi kesepakatan pembelian dan penjualan antara pembeli dengan penjual, maka pembeli akan mengeluarkan Shipping Insruction (SI) kepada pemilik IUP.

Pemilik IUP menyiapkan dokumen berupa Surat Keterangan Asal Barang (SKAB), Rekom Dinas ESDM, RKAB.

Kemudian dokumen Rencana Kerja Bongkar Muat (RKBM) disiapkan Perusahaan Bongkar Muat (PBM), yang disepakati buyer dengan penjual.

Selanjutnya Laporan Hasil Verifikasi (LHV) sampel Batubara dikeluarkan Surveyor, yang menentukan berapa e-PNBP harus dibayar.

Setelah itu lengkap baru dibawa ke Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP), untuk mendapatkan Izin Gerak Kapal/Tongkang.

“Kalau Dinas Pertambangan prosedural, dia punya kewenangan menerbitkan Surat Keterangan Pengapalan. Artinya tanpa Surat Keterangan Pengapalan tidak boleh terjadi adanya Pengapalan Batubara,” jelas Irwan.

Salah satu syarat terbitanya Surat Pengapalan itu, kata dia, harus ada Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RAKB).

“Dinas Pertambangan ini tahu, CV JAR belum terbit RKABnya walaupun sudah bermohon. Dan itu dibuktikan dengan menerbitkan surat 14 Maret 2019 yang ditujukan ke Direktur CV JAR. Jadi dia tidak bisa mengatakan kami nggak tahu,” kata Irwan lebih lanjut.

Kenyataannya, lanjut Irwan, sejak awal Juni 2019 sudah terjadi pengapalan. Pada saat itu, kewenangan tidak ada di Minerba Pusat adanya di Provinsi.

“Bagi Terdakwa (Hartono), seandainya dinas prosedural tidak akan terjadi tindak pidana korupsi ini. Karena tidak akan terjadi pengapalan, karena nggak dapat Rekom,” tegasnya.

Menurutnya, setelah mengetahui adanya pengapalan sekitar bulan Oktober 2019 harusnya distop sampai keluar RKABnya. Tapi kenyataannya, kata Irwan, ini masih jalan hingga bulan Desember 2019 sebanyak 10 kali pengapalan sebagaimana data yang ia dapatkan.

Tugas Dinas itu, lanjutnya, melakukan kontrol, pengawasan terhadap aktivitas penambangan dan pengapalan Batubara. Sehingga menurutnya, Dinas Pertambangan dalam hal ini ESDM Kaltim tidak melaksanakan tanggungjawabnya.

“Jadi jatuhnya ke pembiaran, dia punya kewenangan menjaga tindak pidana korupsi tapi dia biarkan. Di situlah Pasal 2 Pasal 3 Undang-Undang korupsinya kena,” jelas Irwan.

Selanjuntya, pada tahap di PBM dokumen yang harus disiapkan IUP Tambang, Izin Pelabuhan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS), Shipping Insruction (SI).

“Dengan surat itu, dia masuk ke KSOP untuk mendapatkan Surat RKBM. Dari tiga itu, pemilik IUP harus membuat Surat Pernyataan kebenaran bahwa Batubara itu berasal dari IUPnya. Dan Surat Pernyataan dari pemilik pelabuhan, jika pemilik IUP dan pelabuhan berbeda,” jelas Irwan.

Selain itu, juga ada Surat Pernyataan tentang kebenaran dokumen-dokumen dan Pelabuhan yang dikeluarkan PBM.

“Setelah itu semua ada, barulah KSOP keluarkan RKBM baru PBM memuat ke Tongkang,” jelas Irwan.

Terkait tindak pidana yang dakwakan kepada Hartono, Irwan mengatakan jika SI sebanyak 7 yang ditandatanganinya hingga 19 Agustus 2021 itu bisa benar. Karena posisinya, masih di Samarinda.

Namun setelah itu, hingga April 2020 tidak mungkin. Karena Terdakwa Hartono saat itu berada di Jakarta, dalam penjara.

Kunci dari kasus Terdakwa Hartono, menurut Irwan itu ada di Surveyor. Pembayaran royalti muncul dari LHV terkait kalori dan jumlah Batubara di atas Tongkang.

“Itu tanggung jawab surveyor itu. Kalau kalori, itu nggak kurang bayar. Kalori di Desa Ulung itu nggak ada di bawah 6000,” ungkap Irwan.

BERITA TERKAIT :

Sebagaimana disebukan JPU dalam Dakwaannya, 14 kali pembayaran royalti provisional oleh CV JAR atas nama Terdakwa Hartono selama tahun 2019.

10 di antaranya terjadi antara 22 Agutus 2019 hingga 17 Oktober 2019, dimana seperti yang disebutkan Irwan saat itu Terdakwa Hartono sudah berada di dalam penjara atas kasus lain.

Baca Juga :

Yang menjadi pertanyaan, siapa yang menggunakan akun CV JAR yang belum memilik RKAB untuk melakukan pembayaran e-PNBP selama Terdakwa Hartono dalam penjara.

Hartono didakwa melakukan Tindak Pidana Korupsi Pembayaran Royalti, sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam penjualan Batubara, yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp4.503.087.964,29,-.

Rinciannnya, jumlah PNBP yang seharusnya dibayar CV JAR selama tahun 2019 sebesar Rp5.282.605.201,29,-, namun yang dibayar hanya sebesar Rp779.517.237,00,-.

Kerugian tersebut berdasarkan hasil perhitungan dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Provinsi Kalimantan Timur Nomor : SR-290/PW17/5/2020 tanggal 6 Oktober 2020.

Timbulnya kerugian tersebut akibat perbuatan Terdakwa Hartono mengatas namakan CV JAR membayar royalti provisional kualitas Batubara, dengan tingkat Kalori (Kkal/kg, airdried basis (adb) < 5.100 tarif 3% dari harga jual.

Namun pada kenyataannya, sesuai kalori yang tercantum dalam Report of Analysis (ROA) Batubara CV JAR memiliki tingkat kalori (Kkal/kg, airdried basis) ≥ 6.100 atau 6.668 kcal/kg adb, sehingga terdakwa seharusnya membayar kewajiban PNBP dengan tarif  7% dari harga jual. (DETAKKaltim.Com)

Penulis : LVL

(Visited 1 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!