BATAL DEMI HUKUMNYA PERKAWINAN ANTARA WANITA DENGAN WANITA

OPINI

0 88
  • Penulis : Fiony Tri Rachma & Fitrah Nur Fadhilah
  • Mahasiswi KKN FH UNMUL

 PERKAWINAN merupakan salah satu hal penting dalam kehidupan manusia, baik perseorangan maupun kelompok. Dengan terciptanya suatu perkawinan yang sah antara laki-laki dan perempuan, diharapkan dapat menciptakan pergaulan hidup rumah tangga yang damai, tentram, dan mewujudkan rasa kasih sayang diantara suami istri.

Perkawinan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ialah, ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pada dasarnya ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan yang terkandung dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut adalah mendasarkan pada ajaran-ajaran agama. Sehingga sah atau tidaknya perkawinan, ditentukan menurut hukum masing-masing agamanya. Apabila dalam melaksanakan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat sahnya perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Dalam Undang-Undang Perkawinan, perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pembatalan perkawinan secara etimologi berarti merusak. Jika dihubungkan dengan perkawinan berarti membatalkan perkawinan atau merusak perkawinan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa pembatalan perkawinan adalah pembatalah ikatan perkawinan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena perkawinan yang terlanjur menyalahi hukum perkawinan.

Baca Juga :

Hal yang dapat menjadi permasalahan dalam perkawinan adalah adanya penipuan identitas salah satu pasangan suami istri. Hal ini dilakukan agar dapat melangsungkan pernikahan. Mereka yang melakukan penipuan terhadap identitas takut apabila pengungkapan identitas asli mereka, akan mengakibatkan gagalnya perkawinan yang telah direncanakan oleh keduanya.

Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu terdapat pasangan yang telah melakukan pernikahan siri di Jambi yang dimana ternyata mempelai laki-lakinya adalah seorang wanita. Pelaku tersebut mengaku bahwa ia adalah seorang lelaki selama 10 bulan lamanya, juga ia mengaku berprofesi sebagai seorang dokter. Artinya, dalam kasus ini korban telah memenuhi syarat-syarat untuk dapat mengajukan pembatalan perkawinan ke Pengadilan.

Adapun alasan-alasan yang dapat diajukan untuk pembatalan perkawinan salah satunya ialah, Pasal 27 (2) berbunyi bahwa “seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlansungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.”

Sementara menurut Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan dapat dibatalkan apabila:

  1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
  1. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud (hilang);
  2. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain;
  3. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974;
  4. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
  5. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan;

Adapun pihak-pihak yang berhak untuk mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:

  1. Para keluarga dalam garis lurus ke atas dari suami atau dari istri;
  2. Suami atau istri itu;
  3. Pejabat yang berwenang;
  4. Pejabat yang ditunjuk;
  5. Jaksa;
  6. Suami atau istri yang melangsungkan perkawinan;
  7. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Namun hal lainnya, mengingat tidak seharusnya suatu perkawinan itu dibatalkan, karena suatu perkawinan merupakan suatu hal yang bersifat religius dan tidak boleh dipermainkan. Dan karena dalam suatu perkawinan tidak hanya mengikat hubungan satu laki-laki dengan satu perempuan, melainkan mengikat semua keluarga besar yang ada dalam nasab keluarga dan perkawinan yang terjadi tidak hanya hubungan antara manusia dengan manusia (hablu minan nas), melainkan melibatkan hubungan antara manusia dengan Allah SWT, sehingga perkawinan tidak mudah dibatalkan.

Tetapi dalam kasus ini, dengan diketemukan penyimpangan terhadap syarat sahnya perkawinan yang mengenai identitas dirinya, maka perkawinan tersebut tentu dapat dibatalkan. Batalnya perkawinan menjadikan ikatan perkawinan yang telah ada menjadi putus. Ini berarti bahwa perkawinan tersebut dianggap tidak ada bahkan tidak pernah ada, dan suami isteri yang perkawinannya dibatalkan dianggap tidak pernah kawin sebagai suami isteri.

Dengan adanya pembatalan perkawinan yang dilakukan oleh salah satu pihak yang dirugikan, maka peristiwa tersebut dapat menimbulkan suatu akibat hukum yaitu putusnya hubungan antara suami dan istri, maupun terhadap anak-anak yang lahir dan pembagian harta bersama dari perkawinan tersebut.

Melalui pembatalan perkawinan ini, maka perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada. Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menegaskan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannnya, dengan demikian untuk orang yang beragama Islam, sahnya perkawinan dilaksanakan berdasarkan Hukum Islam.

Oleh karena itu, apabila perkawinan dilaksanakan dengan melanggar Hukum Islam, maka perkawinannya dianggap tidak sah. Juga hal lainnya, ialah bahwa berdasarkan kasus di atas, maka dapat dipastikan telah terjadi kekeliruan terhadap identitas diri salah satu pasangan tersebut. (DETAKKaltim.Com)

Editor  : Lukman

(Visited 1 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!