Nason Nadeak Minta Upaya Hukum PK Dalam PHI Dikembalikan

Sorot Dua Putusan Mahkamah Agung Yang Bertentangan

0 1,642

DETAKKaltim.Com, SAMARINDA: Keluarnya Surat Edaran (SE) Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2018, yang meniadakan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Hal itu disampaikan Praktisi Hukum Nason Nadeak SH MH, kepada DETAKKaltim.Com saat menyampaikan Rilis Persnya yang pada intinya meminta agar upaya hukum PK dikembalikan dalam Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), Senin (12/6/2023).

“Oleh karenanya Surat Edaran ini tidak layak atau tidak beralasan untuk digunakan, sebagai dasar hukum menolak permohonan pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali,” kata Nason di Media Center Pengadilan Negeri Samarinda.

Nason menjelaskan lebih lanjut, alasan SE Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2018 tidak sah atau tidak mempunyai kekutan hukum adalah, karena SE Nomor 3 tahun 2018 bertentangan dengan Undang-Undang, yang secara hukum merupakan peraturan yang lebih tinggi kedudukannya dari SE Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2018.

Sebagaimana diatur pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yakni :

  1. Pasal 21 UU Nomor 14 tahun 1970, yang sudah diubah menjadi UU Nomor 35 tahun 1999.
  2. Pasal 34, 66 UU Nomor 14 tahun 1985, yang sudah diubah menjadi UU Nomor 5 tahun 2004.
  3. Pasal 57 UU Nomor 2 tahun 2004. Dimana ketiga Undang-Undang tersebut di atas, memberi hak kepada para pihak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sepanjang alasan mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sesuai dengan alasan hukum yang diatur Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985, yang sudah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 yaitu :

 a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.

 b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut.

d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.

e. Apabila antara pihak-pihak yang sama, mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.

f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kehilapan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Akibat penerapan hukum SE Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2018, kata Nason, telah banyak memakan korban. Seperti yang terjadi pada Suyono, bekerja pada PT Sarana Raya Kalimatan lebih kurang selama 19 tahun.

Namun Mahkamah Agung dalam Putusannya No. 970 K/Pdt. Sus-PHI/2020, tanggal 28 Juni 2022, mengatakan, “antara Penggugat dengan Tergugat  tidak terdapat hubungan kerja“, sehingga memperkuat Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Samarinda, No. 74/Pdt. Sus-PHI/2021/PN. Smr, yang secara jelas telah terdapat kekeliruan dalam pertimbangan hukumnya.

Menurut Nason, kekeliruan Mahkamah Agung tersebut terdapat pada terdapatnya pertentangan Putusan antara Putusan Mahkamah Agung No. 970 K/Pdt. Sus-PHI/2020, tanggal 28 Juni 2022 dengan 2 Putusan Mahkamah Agung sebelumnya yakni, Putusan Mahkamah Agung No. 24 K/Pdt. Sus-PHI/2016 tanggal 26 Mei 2016 dan Putusan Mahkamah Agung No. 1050 K/Pdt. Sus-PHI/2021, tanggal 7 Oktober 2021.

“Padahal Putusan Mahkamah Agung No. 24 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 26 Mei 2016 dan Putusan Mahkamah Agung No. 1050 K/Pdt. Sus-PHI/2021, tanggal 7 Oktober 2021, Mahkamah Agung menghukum PT Sarana Raya Kalimantan, membayar uang pesangon dan penghargaan masa kerja terhadap Suryono dan (Alm.)  Muhyar,” jelas Nason.

Namun pada Putusan Mahkamah Agung No. 970 K/Pdt. Sus-PHI/2020, tanggal 28 Juni 2022, Mahkamah Agung memutus, dengan pertimbangan hukum antara PT Sarana Raya Kalimantan dengan Suyono tidak terdapat hubungan kerja, sehingga Suyono tidak berhak atas Uang Pensiun dan Penghargaan Masa Kerja.

Padahal Suryono, Muhyar dan Suyono, masih kata Nason, sama-sama karyawan PT Sarana Raya Kalimantan. sama-sama sebagai sopir truk, sama-sama diikutkan sebagai peserta Jamsostek/BPJS, serta dengan penggajian yang sama, system kerja yang sama, yaitu penggajian yang sama-sama yang didasarkan kepada keberangkatan pengantaran barang (retase).

“Oleh karenanya menurut Pasal 67 huruf (e) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 yang sudah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004, Suyono berhak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali,” tegas Nason.

Menurutnya, Mahkamah Agung sama sekali tidak mempertimbangkan  bukti P. 2 dan T. 2, dalam perkara ini. Padahal menurut  Pasal 102 huruf (d) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004, Putusan Pengadilan harus memuat pertimbangan setiap bukti dan data dalam persidangan.

Bukti P. 2 berupa Kartu BPJS, dan bukti T. 2, berupa bukti lapor ketenagakerjaan yang diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1981, dimana PT Sarana Raya Kalimantan telah mengakui dalam laporannya pada bukti T. 2, bahwa Suyono adalah karyawannya dengan status karyawan harian lepas.

“Dengan demikian berdasarkan bukti, P. 2 dan bukti T. 2, sesungguhnya antara PT Sarana Raya Kalimantan (Tergugat) dengan Suyono (Penggugat), telah terdapat hubungan kerja,” tegas Nason.

Oleh karenanya, berdasarkan Pasal 67 huruf (f) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 yang sudah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004, Nason mengatakan, Mahkamah Agung telah dengan keliru memutus perkara incasu, sehingga dengan kekeliruan Mahkamah Agung tersebut, Suyono berhak mengajukan upaya hukum PK.

Dari kekeliruan Mahkamah Agung sebagaimana pada huruf (a) dan huruf (b) di atas, berdasarkan pasal 67 huruf (e) dan huruf (f) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 yang sudah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004, saudara Suyono berhak mengajukan PK.

“Kami juga sangat merasa aneh terhadap sikap Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Samarinda, sebab pada awalnya Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Samarinda, telah menerima Permohonan Peninjauan Kembali kami tertanggal 09 Maret 2023,” kata Nason lebih lanjut.

Namun tiba-tiba Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Samarinda membatalkannya melalui penetapannya No. 970/K/2022/Pdt. Sus-PHI/2022 Jo. No. 74/Pdt. Sus-PHI/2021/PN. Smr, tangal 16 Maret 2023.

Padahal Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2018, secara hukum merupakan peraturan yang tidak mempunyai kekuatan hukum, maka Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Samarinda, tidak sepatutnya membatalkan permohonan Peninjauan Kembali Suyono.

Dengan demikian, lanjut Nason, tindakan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Samarinda membatalkan Permohonan Peninjauan Kembali Suyono, yang didasarkan SE Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2018, merupakan tindakan sewenang-wenang Mahkamah Agung dan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Samarinda, karena tidak didasarkan kepada aturan hukum yang benar.

Berangkat dari Putusan Mahkamah Agung No. 970 K/Pdt. Sus-PHI/2020, tanggal 28 Juni 2022, melalui press realease ini kami meminta kepada Bapak Ketua Mahkamah Agung yang kami hormati, agar tetap menerima permohonan Peninjauan yang sudah kami mohonkan sekaligus memeriksa Majelis Hakim yang menangani perkara ini. baik Majelis Hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Samarinda, maupun Majelis Hakim pada Mahkamah Agung, sehingga tidak terdapat Putusan yang aneh-aneh dengan mengorbankan kebenaran dan keadilan.” tandas Nason. (DETAKKaltim.Com)

Sumber : Rilis

Editor : Lukman

(Visited 228 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!