PHK 193 Karyawan DLJ Ditanggapi Akademisi dan Praktisi Hukum

Nason: Boleh Dilihat Pasal 157 a UU Nomor 6 tahun 2023

0 2,014

DETAKKaltim.Com, SAMARINDA: Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 193 Karyawan tetap PT Dwiwira Lestari Jaya (DLJ) Site Lempake Berau, yang disebut pihak perusahaan Perkebunan Sawit itu tidak melanggar aturan ditanggapi Nason Nadeak, Kamis (22/6/2023).

Nason Nadeak, Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Awang Long Samarinda yang juga berprofesi sebagai Advokat ini mengatakan, jika perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PH) sebelum ada Putusan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) yang berkekuatan hukum tetap itu tidak diperbolehkan.

“Berdasarkan Pasal 157 a Undang-Undang (UU) Nomor 6 tahun 2023, PHK itu dilakukan apa bila telah mendapat Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,” jelas Nason.

Jika perusahaan melakukan PHK sebelum mendapat Penetapan dari Pengadilan itu tidak diperkenankan, meski faktanya sekarang ini, kata Nason, hampir rata-rata begitu. Melakukan PHK sebelum ada Penetapan Pengadilan.

Ia menilai, masalahnya saat ini adalah penerapan aturan pelaksanaan PHK itu. Seharusnya Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) yang paling bertanggung jawab terhadap implementasi aturan PHK yang dilakukan perusahaan, yang tidak sesuai dengan UU Nomor 6 tahun 2023 Junto Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2021.

“Untuk menguji apakah benar apa yang dilakukan oleh PT DLJ, boleh dilihat pada Pasal 157 a Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023. Di situ menyebutkan, selama penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial, pengusaha dan pekerja harus tetap melaksanakan kewajibannya. Artinya, jika ini kita terjemahkan. Proses PHK boleh dilakukan, tapi karyawan harus tetap bekerja sampai mendapatkan Putusan,” jelas Nason.

Kenapa harus seperti itu, jelas Nason lebih lanjut, agar ketika nanti karyawan dinyatakan tidak bersalah maka tidak ada masalah karena memang dia tetap bekerja.

“Tetapi kalau dia langsung diberhentikan, tidak diperkenankan bekerja padahal Putusan Pengadilan Hubungan Industrial belum ada. Jika nanti dia dinyatakan tidak bersalah sedangkan posisinya sudah diisi orang, bagaimana mengembalikan dia ke tempat semula. Itu filosofinya,” jelas Nason lebih lanjut.

Ia kembali menegaskan Pasal 157 a Ayat (1) UU Nomor 6 tahun 2023. Kecuali perusahaan melakukan skorsing tidak masalah, tetapi karyawan tetap mendapat upah sampai Putusan PHI keluar atau skorsing dicabut.

“Itu membuktikan, perusahaan itu (DLJ) telah melanggar Pasal 157 a,” tegas Nason.

Selanjutnya Nason mengutip Pasal 154 UU Nomor 6 tahun 2023, menurut Nason, di sana sudah disebutkan alasan-alasan untuk melakukan PHK. Salah satunya pada Ayat (1) huruf k menyebutkan, PHK itu karena melakukan pelanggaran terhadap peraturan perusahaan, perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama, atau Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

“Untuk perusahaan yang melakukan PHK 193 orang ini, dilihat dulu. Apakah ada pelanggaran yang dilakukan oleh karyawan itu, sehingga dia harus diPHK. Kalaupun karyawan itu melakukan pelanggaran, maka seharusnya berdasarkan aturan ini, perusahaan harus memberikan Surat Peringatan terlebih dahulu. Surat Peringatan Pertama, Kedua, dan Ketiga. Apakah perusahaan telah memberikan Surat Peringatan atau belum. Beda Surat Peringatan dan Surat Panggilan ya, beda itu. Kalau Surat Peringatan, berarti ada kesalahan terlebih dahulu,” jelas Nason.

BERITA TERKAIT:

Kembali soal pelanggaran yang dilakukan, kata Nason, berdasarkan Pasal 154 Ayat (1) huruf k, kalau alasan PHK dilakukan karena melakukan pemogokan maka harus dilihat apakah pemogokan dilakukan tanpa pemberitahuan lebih dulu. Dan apakah alasan pemogokan itu dilakukan, sudah benar atau tidak.

“Setahu saya, alasan pemogokan itu dilakukan apa bila telah dilakukan perundingan tapi tidak membuahkan hasil, itu namanya dead lock,” jelas Nason lebih lanjut.

Alasan lainnya, lanjutnya, jika perusahaan diminta untuk melakukan perundingan bepartit tapi tidak mau. Maka itu disebut telah gagal melakukan perundingan.

“Gagalnya perundingan itu ada dua. Pertama dilakukan perundingan tapi tidak membuahkan hasil, Kedua diminta untuk berunding tapi perusahaan tidak mau berunding. Kalau ternyata pemogokan itu dilakukan karena gagal beruding atau gagalnya perundingan, dan pemberitahuan sudah dilakukan ke Disnaker maka sudah jelas pemogokan itu adalah pemogokan yang sah,” sebut Nason.

Jika pemogokan yang dilakukan itu pemogokan yang sah, maka upah selama mogok harus dibayar. Sehingga tindakan perusahaan yang melakukan PHK karena gagalnya perundingan, menurut Nason, itu adalah alasan yang tidak benar.

“Seharusnya Disnaker memberikan masukan kepada perusahaan supaya alasan itu tidak diulang-ulang. Dan menurut saya, jika perusahaan berani mengatakan telah melakukan seluruh ketentuan peraturan dan tidak bersalah padahal bersalah. Artinya perusahaan itu telah sangat dekat dengan unsur-unsur Disnaker.” tandasnya.

Nason berharap pihak Disnaker turun ke lapangan untuk memeriksa, apakah pemogokan yang dilakukan karyawan itu dibenarkan Undang-Undang atau tidak. (DETAKKaltim.Com)

Penulis: LVL

(Visited 504 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!