SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 70

PAGI besoknya, La Maddukkelleng merapatkan kapal di daratan Doping. Ia bersama ratusan pasukan dan keluarganya turun dalam seragam lengkap. Ada 300 orang yang dilengkapi senjata api berupa bedil panjang khas buatan Inggris. Puluhan lainnya menurunkan meriam-meriam yang diderek dengan pedati.

Puengta La Maddukkelleng sendiri turun dengan pakaian kebesaran seorang raja. Keris panjang yang dinamai Lawo-Lawona Peneki di pasang di depan dada, lengkap dengan pistol dan sebilah badik gecong pangkajenne di pinggang. Masih ada seratusan lebih pasukan menunggu di kapal. Saat turun ke darat, pasukan gabungan Tellumpoccoe tak satu pun yang bergerak. Mereka terpaku dengan pagelaran pasukan bersenjata lengkap itu.

Orang-orang itu terlihat terlatih dan memiliki otot kaki dan tangan kekar. Mereka berjalan tegap dan kokoh. Mereka, para pasukan gabungan Bone, Soppeng, dan Wajo itu setengah terpesona, sebagian lagi merasa ciut nyali menyaksikan barisan itu. Tak salah kabar burung yang telah sampai ke mereka bahwa pasukan La Maddukkelleng adalah pasukan tak terkalahkan di laut maupun darat.

CERITA SEBELUMNYA :

La Maddukelleng bergerak menuju Sengkang lewat Penrang. Orang-orang antusias menyambut kehadiran kesatria yang namanya seperti dongeng dari tanah rantau ini. Beberapa dusun kecil yang dilalui bahkan telah bersiap untuk bergabung menjadi pengikutnya.

Di hutan La Wesso misalnya, telah datang 100 orang memohon bergabung. Mereka mengaku memiliki hubungan perguruan dengan Tunreng Talaga dari hutan Labuaja. Mereka tadinya prajurit-prajurit Tosora yang mengundurkan diri setelah kerajaan lebih didominasi oleh orang Bone dan Belanda.

Mereka datang dengan senjata tombak dan perisai, khas pasukan kerajaan. Di Penrang, negeri bibinya yang memangku kekuasaan, ia mampir bermalam di Salassa pertemuan. Di sana pun minta bergabung orang-orang yang bersimpati padanya. Mereka terus berjalan saat subuh selesai.

Rombongan itu telah mencapai seribuan orang. Seperti kawanan banteng besar, mereka memotong hutan melalui Cinnottabi, memutar ke arah selatan menghindari Tosora, CacaE dan sampai di Sengkang.

Mereka tiba di Singkang dengan kekuatan penuh, 1000 lebih personil. Kapitan La Banna to Assa lalu membagi tiga pasukan menjadi tiga batalyon. Masing-masing dipimpin oleh tiga panglima. Cambang Balolo, Ambo Pabbola dan Aji Muhammad Idris. Masing-masing batalyon beranggotakan 340 personil. La Banna To Assa menjadi Panglima tertinggi di bawah Puengta La Maddukkelleng.

Sesuai kesepakatan dengan Tellumpoccoe, La Maddukkelleng mempersiapkan diri menuju pengadilan di Tosora. Ini perang pertama di Tana Wajo, seperti wangsit tentang filosofi tiga cappa di mana cappa lila adalah tentang diplomasi, tutur dan kefasihan.

CERITA SEBELUMNYA :

Sebelum berangkat, di tengah tanah lapang luas di Singkang, La Banna menggelar pasukan. Seribu personil berbaris rapi dalam tiga kelompok. La Maddukkelleng menerima laporan kesiapan seluruh personil untuk mengawal persidangan. Mereka berangkat tak lama kemudian.

Ini adalah hormat terhadap adat, kepatuhan pada apa yang disebut ade’ napopuang. Adat yang dijunjung tinggi. La Maddukkelleng dengan kepala tegak dalam pakaian kebesaran memasuki ruang sidang didampingi La Banna To Assa. Seluruh pasukan bersiap sempurna di luar persidangan.

Yang dihadapi La Maddukkelleng ini adalah hukum adat tertinggi di tiga bocco kekuasaan negeri Ugi yakni Bone, Wajo, dan Soppeng. Majelis hakim adalah Arung Matoa Wajo, Mangkubumi Bone (Makkeddangnge Tana ri Bone) dan Sulle Datu Soppeng.

Arung Matoa Wajo atas nama Tellumpoccoe membacakan tujuh dakwaan Bone terhadap kejahatan yang disangkakan pada La Maddukkelleng. Kesemua tuduhan itu dibantah dengan argumentasi yang rasional.

“Semua peristiwa yang disebut sebagai kejahatan yang saya lakukan sesungguhnya hanyalah pembelaan diri. Sejak awal meninggalkan Wajo sampai perjalanan pulang ke Makassar tak satu pun bentrok dilakukan atas prakarsa kami.” La Maddukkelleng memulai pembelaannya dengan kalimat fasih, terdengar mantap penuh percaya diri.

“Kecuali apa yang terjadi dengan perampasan kapal terhadap To Pasarai kerabat Ratu Bone di Tobonio. Merekalah sesungguhnya yang telah merampas harta benda Kakanda Daeng Matekko yang gugur dalam perang membantu Raja Kecil dari Siak. Di lautan, hukum berlaku adalah yang kuat memangsa yang lemah. Maka saya memberi mereka pelajaran bahwa jika berani mengambil milik orang tanpa hak, maka yang bersangkutan harus memastikan kalau ia mampu pula mempertahankan dengan kepandaian dan kekuatan pula.”   (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 5 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!