SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 86

ORANG itu menjawab dengan dialek Melayu yang kental. Tidak terkesan ada keraguan. Menunjukkan kalau dia bukan orang sembarangan.

“Saya Kapitan Ancak Baedah dari Riau. Membantu pasukan Belanda di sini atas permintaan Bone. Kalau tidak salah duga, saya sedang berhadapan dengan Baginda Raja La Maddukkelleng Sultan Paser Penguasa Selat Makassar?”

La Maddukkelleng hanya mengangguk menunggu kalimat selanjutnya.

“Kami telah kalah, tapi saya berpantang menyerah sebelum dikalahkan lewat pertarungan secara terbuka. Hamba mohon diberi petunjuk satu dua pukulan sebelum hukuman dijatuhkan kepada hamba sebagai orang kalah.”

La Maddukkelleng terkesan dengan orang ini. Selain berilmu tinggi dia juga kesatria yang jujur dan berani. Maka dia berkata singkat,

CERITA SEBELUMNYA :

“Baik, kalau itu keinginanmu, majulah. Keluarkan pukulan terampuh yang kamu miliki!” Berkata begitu, La Maddukkelleng berdiri dengan kaki terpentang agak lebar, tidak bisa disebut kuda-kuda, hanya berdiri biasa. La Banna ingin menghadapinya sendiri sebagai sama-sama orang berpangkat kapitan, tapi dicegah dengan isyarat oleh La Maddukkelleng. Orang-orang yang ada di tempat itu mundur menjauh. Menonton dengan hati berdebar. Hanya La Banna yang sangat yakin dengan kesaktian tuannya.

Ancak Baedah sadar berhadapan dengan siapa. Raja muda di depannya ini adalah petarung laut yang namanya kesohor sampai Johor sebagai pendekar pilih tanding. Maka ia tak mau main-main, langsung mengeluarkan pukulan silat tertingginya. Ia menyerang dengan jurus pamungkas pilihan. Diawali dengan pekikan nyaring ia mengirim pukulan berupa sodokan tangan kiri ke arah ulu hati dengan pengerahan penuh tenaga sakti. Tangan kanan yang memegang keris menyusul sebagai serangan mematikan.

“Hiyaaaatt…..“ Pukulan itu mengeluarkan suara bergemuruh. Pasir-pasir di sekitar itu beterbangan terdorong kuda-kuda puncak yang bergeser ke sana ke mari . Inilah serangan maut.

La Maddukkelleng mengetahui pukulan berbahaya. Ia menarik kaki belakang ke kanan dengan tubuh merendah disertai dorongan tenaga Lemmung Manurung ke arah tubuh sebelah kanan musuh yang memegang keris.

Ini adalah salah satu jurus pertahanan dari silat Sulapa Arua yang telah dikuasainya dengan sempurna. Serangan Ancak Baedah luput dan dia merasa didorong oleh tenaga raksasa dari samping, ia menyampok dengan tangan yang memegang keris,

“Dukk…!” Benturan tenaga itu cukup keras, akibatnya Ancak Baedah seperti diamuk badai. Ia terlempar cukup jauh, bergulingan lalu berdiri dengan mata terbelalak. Tak disangkanya begitu mudah ia terjungkal. Di negerinya, jarang ia bertemu tanding apa lagi sekali gebrak terjungkal.

CERITA SEBELUMNYA :

Ancak Baedah kini menyerang tanpa sungkan dan mengerahkan semua kepandaiannya. Ia mengeluarkan jurus paling pamungkas dari ilmu-ilmunya. Hal yang sangat jarang dilakukannya. Melihat ini La Maddukkelleng tak lagi main-main. Dalam hati ia akui kehebatan kapitan Melayu ini, tidak berselisih jauh dengan La Banna.

Pada bentrok ke sekian kalinya, ia melakukan gerakan memutar yang cepat. Ia kerahkan unru terdahsyat dari Sulapa Seppulo miliknya. Ancak Baedah merasa seolah diserang empat orang dari empat penjuru, angin yang menderu seolah mengangkat tubuhnya tak berpijak tanah.

Dalam kebingungan, tiba-tiba sebuah tamparan keras mengenai belakang telinganya. Ia seperti melihat nyala api berkerlip lalu gelap… Ia terjengkang pingsan beberapa saat.

Setelah siuman, ia segera berdiri dan memberi hormat sambil setengah berlutut.

“Ampun baginda, hamba mengaku kalah dan kini siap menerima hukuman.”

La Maddukkelleng memungut keris Ancak Baedah, ditimangnya lalu dimasukkan dalam sarungnya.

“Kamu saya bebaskan, saya hanya mengambil kerismu ini dan juga pendengaranmu sebelah kanan. Mulai kini engkau hanya bisa mendengar dengan telinga sebelah kiri. Biar engkau terus mengingat bahwa kita pernah berjumpa dan menerima pelajaran dari saya. Sampaikan ke orang-orang Bone khususnya Belanda bahwa peperangan takkan berhenti sebelum orang-orang Wajo merdeka dan orang-orang Belanda pergi meninggalkan tanah Bugis Makassar.”

Ancak Baedah hanya mengangguk lalu menghatur sembah. Berbalik badan, mengambil salah satu perahu lalu pergi terpincang. La Banna menghitung korban dari pasukannya, dua puluh lebih orangnya terbunuh dan puluhan lainnya yang terluka.

Sementara dari pihak musuh hampir seratusan yang mati, bergelimpangan di sepanjang pulau. Mereka lalu membuat banyak lubang di tengah pulau, menguburkan semua mayat-mayat itu. Mereka baru saja saling membunuh dan kini saling menguburkan. Sungguh aneh perilaku manusia.

(BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 3 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!