SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 61

MENGINGAT istrinya, La Maddukkelleng sesunggukan dalam kamar, ia tak mungkin menitikkan air mata di depan orang lain, namun di dalam kamar tertutup ia tak kuasa membendung kesedihan. Ia yang dikenal sebagai kesatria tangguh dari Peneki, murid Karame’E Tompo Balease, Majikan Pulau Tuah dan penguasa Selat Makassar; kini harus menyadari betapa dahsyat kegoncangan hatinya menghadapi peristiwa ini.

Ia merasakan dadanya kosong, api telah padam di sana, tak ada semangat membuncah seperti hari-hari yang ia lalui selama ini. Ia mengambil wudhu dan shalat sambil menangis, sujud lama sekali di kamar itu. Hingga akhirnya ia tertidur dalam sujud. Saat bangun ia menemukan dirinya menyebut nama istrinya, Hindun Jamilah.

Ia membayangkan semua yang mereka lalui sejak pertemuan pertama di Pulau Tujuh sampai mereka dalam petaka perjalanan ini. Mengingat itu semua, ia kembali menelungkup di lantai kamar. Ia tertidur, atau mungkin pingsan. Ia tak tahu persis. Ketika terbangun, ia mengambil wudhu lagi dan shalat memohon kekuatan dari Yang Maha Kuasa. Ia juga terus melantunkan zikir sampai ia tertidur dalam sedu sedan batinnya.

Berhari-hari ia seperti itu, tak pernah keluar kamar. Ia hanya membuka pintu jika diantarkan makanan atau minuman. Tubuhnya terlihat kurus, matanya yang dulu terlihat bersinar-sinar kini seperti redup kehilangan cahaya. Ia terlihat lebih tua dari umurnya. Dan tanpa disadarinya, rambut kepalanya di sisi sebelah kanan memutih.

Pusaran rambut di kepala bagian depannya juga terlihat berbeda dari biasanya. Pusaran rambut itu (Bugis: palesu), atau dalam bahasa Jawa disebut unyeng-unyeng menjadi ciri khasnya sejak kecil yang terletak di bagian depan. Ia berbeda dengan kebanyakan orang yang hanya punya dua di bagian belakang.

Kini, pusaran rambut itu makin membesar membuat rambut La Maddukkelleng tumbuh berdiri seperti jambul di depan. Peristiwa yang tidak disangka-sangka ini berpengaruh pada penampilan fisiknya. Bahkan sampai pada kepribadiannya.

CERITA SEBELUMNYA :

Sejak itu, La Maddukkelleng berubah jadi pendiam, jarang bicara namun lebih tegas dalam setiap perbuatan dan kata-kata. Ia tumbuh menjadi lebih angker dari biasanya. Rambutnya juga makin memutih di bagian sebelah kanan dengan unyeng-unyeng atau palesu yang berpusaran di bagian depan kepalanya.

Pagi habis subuh ketika terdengar ketukan pelan di pintu.

Tabe Pueng, kita sudah mendekati Pulau. Mohon ijin menghadap. Ada yang hendak hamba laporkan..” Lama tak ada jawaban. Namun perlahan pintu terbuka.

“Masuklah, Banna.” La Maddukkelleng menjawab dengan parau.

Kentara sekali suara itu lama tidak dipakai berbicara. La Banna hati-hati membuka pintu lalu menutupkannya kembali. Laut sangat tenang tak bergelombang. Terasa benar sudah mendekati pulau.

“Tabe, Pueng, kita sudah di pulau pertama, tak terlihat penjaga yang menyambut. Dari teropong kelihatannya pos itu kosong. Kami curiga sesuatu telah melanda kawasan Pulau Tuah”

“Terus saja bergerak. Tingkatkan kewaspadaan.” La Maddukkelleng menjawab singkat.

“Iyye Pueng. Jika tidak keberatan, hamba akan menyuruh mengantarkan air hangat untuk Puengku mandi. Sebentar lagi kita akan memasuki gerbang Pulau, mungkin Puengku perlu mandi untuk bertemu dengan warga pulau yang pasti merindukan Puengku setelah lama pergi.

“Baiklah, Banna. Antarkan saya air, sebelum masuk gerbang, berlabuh dulu agak jauh untuk memastikan keadaan pulau. Turunkan perahu kecil untuk merapat dan mencari tahu keadaan pulau.” La Maddukkelleng memberi perintah dengan suara datar namun terdengar jelas.(BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 1 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!