SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 79

PROLOG (SAMBUNGAN-5)

MAKASSAR diduduki dengan kokoh bersama-sama dengan Belanda. Di sana ia mengendalikan penuh seluruh kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Ia membuat perwakilan-perwakilan kerajaan di Kota Makassar.

Sehingga raja-raja di semua kerajaan yang ada hanyalah perpanjangan tangan kepentingan Bone dan VOC Belanda di Makassar. Kerajaan yang dinilai memiliki potensi melawan diberi hukuman. Diganti rajanya atau dihancurkan.

Demikianlah. Beberapa dari mereka yang tidak puas dan merasa terpuruk oleh kekalahan memilih meninggalkan kampung halaman menuju tanah pengharapan. Menyebar ke seluruh dunia laksana ikan-ikan rawa yang meluap saat banjir datang.

Mereka mencari tempat untuk membangun peradaban baru atau setidaknya tempat berpijak sementara tapi tetap dengan satu tujuan pasti: satu waktu saat sayap telah utuh dan bulu-bulu telah bertumbuh sempurna (ungkapan Bugis: sekke bulu makkepanni), akan kembali ke kampung guna membuat perhitungan-perhitungan baru.

Maka tradisi kesejarahan yang disebut sompe’ (merantau), yang sebelumnya memang telah dianut dan mengalir di darah hampir seluruh generasi orang Bugis, kembali bergelora sesudah Perang Makassar tersebut. Bahkan lebih antusias dibanding generasi-generasi sebelumnya.

Sebutan orang Bugis dalam asimilasi ini tidak lagi merujuk pada suku, tetapi bercondong menurut pengertian lebih khusus yang disematkan sebagai nama sebuah bangsa di Sulawesi Selatan, yang membentang dari Luwu dan Mandar di utara sampai Gowa – Tallo di ujung selatan.

Tradisi sompe’ bagi masyarakat Bugis sudah menjadi budaya dari generasi ke generasi. Tradisi itu terwariskan sebagai sekolah kaderisasi lelaki Bugis.

Setiap anak laki-laki yang beranjak remaja, mata pelajaran Character Building-nya adalah merantau meninggalkan kampung halaman dan mengambilnya sebagai pengalaman kesuksesan untuk dibawa pulang pada saatnya nanti.

BERITA TERKAIT :

Maka kisah-kisah para passompe’ banyak memenuhi Lontara tutur yang terwariskan secara turun temurun.

Sejarah tentang sompe’ sudah ada sejak kisah-kisah awal yang bermula dari kedatangan para To Manurung, dengan gambaran sebagai manusia yang datang dari langit, atau setidaknya dari asal muasal rahasia, hadir memimpin dunia dengan kelebihan menonjol dari buting langi, sebuah tempat yang tidak dikenal.

Ini menggambarkan bahwa manusia Bugis sejak pertama kali kehadirannya adalah masyarakat yang tumbuh dari spirit penjelajahan, melintasi samudera dan bahkan turun dari tempat yang tidak teridentifikasi oleh daya nalar generasi ketika itu.

Sompe’ yang secara filosofis bicara tentang kedatangan dan kepergian adalah irama kehidupan sebagai anugerah langit bagi keberkahan bumi.

Dari sejak itulah muncul istilah Passompe’ (perantau yang bepergian dengan kapal layar). Melekat sebagai salah satu sisi kuat dari karakter manusia Bugis.

Di generasi pertama, tutur tentang sejarah sompe’ diwariskan oleh kisah Sawerigading yang merantau dari Luwu ke Tana Cina Pammana (diperkirakan pada abad Ke-7).

Ia menaklukkan Cina dan kemudian memperistri We Cudai Punna Bolae, Puteri La Sattumpugi, penghulu awal orang-orang yang menyebut dirinya To Ugi (pengikut La Sattumpugi).

Proses asimilasi dan akulturasi dua negeri yang sebenarnya masih berkerabat ini dianggap peletak peradaban awal. Pada generasi ini, sompe’ banyak dipengaruhi oleh motif-motif penaklukan, petualangan, dan pencarian daerah baru.

Dalam Lontara, term sompe’ kemudian diteruskan oleh generasi pertama dari Sawerigading yang bernama La Galigo yang banyak merangkai jalinan sejarah permulaan silsilah dan nasab puncak.

Dari namanya ini kemudian menjadi judul sakral sebuah epos besar yang kita kenal sebagai I La Galigo. Fase sompe’ ini ditandai dengan berkembangnya budaya tutur, sastra dan sistim kecendekiaan manusia Bugis.

Misi penaklukan tak lagi menjadi faktor dominan, meskipun pada beberapa dinamika peristiwa, infasi dan penaklukan silih berganti tetap berlangsung.

Namun paradigmanya bergeser pada upaya akulturasi pertukaran budaya melalui kawin mawin antar trah masing-masing negeri.

Sompereng (perantauan) pada generasi ini, membentang panjang berabad-abad lamanya sebagai perilaku budaya pergaulan sampai menjelang kedatangan Islam.

Setiap anak lelaki diharuskan merantau meski hanya sampai kampung sebelah. Sompe’ menjadi syarat untuk menjadi kesatria. Semakin jauh ia merantau, semakin tinggi apresiasi dan prestise yang didapatkannya.

Ukuran kesuksesan passompe’, tidak melulu soal keberhasilan harta kekayaan yang banyak, tapi terutama kemampuan mengukir sejarah dari sisi keberanian dan kemanfaatan di tempat rantauan. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 4 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!