SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 205

“BAIK, saudaraku Maddukkelleng. Engkau menetaplah di sini berapa lama pun engkau inginkan. Kami sangat berterima kasih engkau akan membantu kami khususnya untuk menggembleng pasukan Bugis Makassar. Kami memiliki rumah peristirahatan di ujung pulau. Di sana adalah tempat terindah di pulau ini. Biarkan kami memberikan jamuan selama engkau dan orang-orangmu berada di pulau. Nanti orang-orang kami akan memberikan seluruh keperluan pasukan kalian selama berada di pulau ini.”

“Baik, Baginda. Kalau begitu ijinkan kami bergeser ke sana.” Raja Kecil mengangguk dengan senyuman lebar. Sekali lagi ia menjabat tangan La Maddukkelleng, mengantarnya sampai ke teras rumah yang luas, sembari memberi perintah ke seorang prajurit untuk menyediakan segala sesuatu yang diperlukan.

La Maddukkelleng lalu diantarkan oleh beberapa pasukan khusus menuju tempat peristirahatan. Benar saja, rumah asri di ujung pulau itu sangat indah dengan pemandangan menuju lepas pantai. Pohon-pohon kelapanya menjulang tinggi, pasirnya putih sejauh mata memandang. Ini laut yang sangat indah, lebih kurang dengan Pulau Tuah. Hanya saja, eksotisme Pulau Tuah lebih lengkap.

Namun rumah itu tetaplah tempat yang pantas buat seorang pangeran muda yang terlihat makin matang dengan kekuatan dan juga pengalaman yang dimilikinya. Sampai di sini, La Maddukkelleng menerawang. Sebagai lelaki muda yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi, pengalaman panjang dan status sebagai raja kecil di Selat Makassar; dia merasa hidupnya belum lengkap.

Dia sudah sepantasnya memiliki pendamping hidup. Dia termangu sendiri dalam bilik yang cukup mewah itu. Benaknya dipenuhi wajah-wajah gadis bangsawan di Istana Tosoro Wajo dulu. Seperti apa mereka kini? Beberapa di antaranya terbayang dengan wajahnya yang cantik.

Juga, I Wale puteri Raja Bone yang acara pestanya mengantarkan dirinya dan pengikutnya harus menjadi pelarian kerajaan hingga kini. Ah, dia tak boleh mengingat puteri hitam manis pembawa prahara itu. Terbayang pula beberapa gadis pulau. Dia sering memergoki beberapa di antara mereka memandang lekat kepadanya.

Mereka cantik khas wanita utara, mata agak sipit, kulit kekuningan dengan rambut lurus panjang. Tapi tak ada yang memikat hatinya. La Sellang Daeng Mangkana, salah satu perwiranya yang paling tua dan bijaksana pernah satu waktu membicarakan tentang saatnya bagi La Maddukkelleng mencari pendamping hidup.

CERITA SEBELUMNYA :

“Melihat apa yang telah Puengku raih dalam sompereng ini, mungkin saatnya Puengku mencari pendamping hidup. Banyak gadis pulau yang cantik, kita juga bisa mencari di kerajaan-kerajaan pesisir Kalimantan. Mereka telah menjadi sahabat-sahabat diplomatik kita. Nanti kita kirim tim khusus mencari informasi ke semua kerajaan-kerajaan yang bisa kita jangkau, karena tidaklah pantas Puengta La Maddukkelleng, bangsawan terkemuka Peneki Wajo, menikah sembarangan. Kita harus mencari yang sitongkoreng (sepadan) dengan kedudukan Puengta.” Daeng Mangkana mengucap ini dengan sangat hati-hati.

“Betul kata pamanda, tapi saya belum tahu kemana arah suratan totoku (takdirku). Maka, kita mengalir saja. Jodoh takkan kemana. Semua sudah digariskan oleh Allah Ta’ala Puang Seuwwae. Pamanda tolong selalu memberikan nasehat-nasehat kepadaku soal ini khususnya menyangkut hubungan-hubungan kita dengan kerajaan-kerajaan sekitar.” Demikian pembicaraan ketika itu.

Daeng Mangkana adalah jajaran perwira pengawalnya yang paling fasih dalam memberi nasehat. Beberapa kali bangsawan menengah yang perpenampilan kalem itu diberi tugas membangun hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan pesisir pulau besar. Selalu tak ada kendala.

La Sellang Daeng Mangkana dalam pandangan La Maddukkelleng sudah seperti orang tua baginya. Di samping umurnya yang lebih tua, juga pengetahuan sejarah dan silsilah yang dimilikinya selevel resi di mata La Maddukkelleng. Bahkan beberapa kali dalam pertemuan terbatas, dia memberi wejangan yang sangat bijaksana. Bisa disebut dia adalah guru bijaksana Istana Pulau Tuah.

Daeng Mangkana memahami dengan sangat baik pesan-pesan filsafat Puang Ri Maggalatung, La Mellong Kajao Laliddo dari Bone atau pun cendekiawan-cendekiawan kesohor waktu itu. Di ruang kerjanya di Pulau Tuah, terdapat banyak kitab-kitab kuno yang dibawanya serta sejak meninggalkan Wajo. Rata-rata bertulisan Bugis tapi tak sedikit dalam tulisan Arab. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 11 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!