SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 75

KECUALI La Maddukkelleng dan tiga orang pengawalnya, semua memakai baju perang atau perisai dan tombak. Mereka mengitari sebuah rumah panggung besar di ketinggian pulau.

“Sepertinya malam tadi mereka habis berpesta Pueng”, Congkeng yang terlihat agak gugup berbisik ke La Banna.

“Saya bertiga La Banna dan Cambang Balolo menyerbu dari depan, kalian bagi dua kekuatan dari sisi kiri kanan.” Berkata begitu La Maddukkelleng dengan langkah lebar dan mantap menuju halaman terbuka depan rumah besar itu. Pagi sudah terang.

“Kannacoo.. keluar kau..!!! Kami datang untuk menghukummu…!!” Saat berteriak, La Maddukkelleng mengerahkan tenaga menghentak kaki ke bumi.

Seluruh pasukan menjadi takjub bukan main merasakan getaran tanah yang mengguncang tempat itu. Rumah rompak bajak laut bahkan terlihat ikut bergoyang. La Maddukkelleng memang sengaja melakukan demonstrasi ilmu. Selain untuk menambah semangat pasukannya, itu juga untuk menggentarkan Wak Kannaco dan anak buahnya.

Dia telah mengerahkan tenaga Tuddu Paguttu, sebuah kekuatan tenaga lemmung yang bertumpu pada kedua kaki. Bisa digunakan sebagai pertahanan bisa juga sebagai serangan. La Maddukkelleng hanya mengerahkan setengah dari kekuatannya.

Itu salah satu tenaga sakti yang dipelajarinya dari Tunreng Talaga di hutan Labuaja. Dalam latihannya, dengan mengerahkan seluruh tenaga hentakan, ia mampu membuat berjatuhan anak monyet yang mengantung di pohon-pohon tengah hutan.

Terdengar suara bergaduh. Teriakan melengking La Maddukkelleng dan getaran tanah yang dahsyat membuat seluruh penghuni rumah terbangun kaget dan berhamburan keluar melihat siapa adanya pagi-pagi membuat pulau bergetar. Rumah besar itu rupanya memiliki banyak kamar dan penghuni.

Lebih kurang empat puluh orang laki-laki yang rara-rata bertampang sangar berlarian keluar dan melompat turun ke halaman luas dengan senjata terhunus di tangan. Selain itu dari rumah yang lain juga sudah berhamburan keluar puluhan penghuni lain.

CERITA SEBELUMNYA :

“Siapa engkau pagi-pagi datang mengantar nyawa? Sebutkan namamu sebelum kami menyembelih kalian semua!” Yang bertanya adalah lelaki tinggi besar, berkumis panjang berbentuk tanduk dengan tompel di dagu yang ditumbuhi rambut keras mirip ijuk. Perkiraan lelaki itu telah lima puluh tahun.

La Maddukkelleng menduga inilah Wak Kannaco itu. Ia maju setindak.

“Saya datang untuk menghukummu, Kannaco! Saya La Maddukkelleng Arung Peneki dari Wajo. Saya memberi kamu dua pilihan, menyerah dan menjadi anak buahku yang patuh atau mati untuk menebus dosa-dosamu menyerang kapal saya dan perkampungan di Majene!”

“Huahahaaaa… kau cacing kecil ingin menggertak menakuti naga? Engkau mencari mati!” Berkata begitu Wak Kannaco tanpa menunggu jawaban maju merentangkan kedua tangannya yang besar dan menghantamkan ke arah La Maddukkelleng dengan maksud untuk meringkusnya.

Gerakan ini mirip gorilla yang menyergap kelinci. Tak main-main, serangan itu membuat angin berdesir menyapu wajah La Maddukkelleng. Wak Kannaco sudah merasa akan mudah menangkap dan membanting pemuda itu ketika La Maddukkelleng menggeser kaki ke samping menghindar dengan mudah seraya mengangkat dua tangan menahan.

“Tahan dulu. Engkau telah memilih untuk dihukum. Baiklah, tetapi hukuman ini hanya untuk kamu dan anak buahmu yang membangkang. Mereka yang tunduk akan menjadi anak buahku. Tempat ini akan kurampas. Aku akan menjadi ketua baru pulau ini!” La Maddukkelleng sengaja mengeluarkan propaganda awal ke anak buah bajak laut itu untuk nanti mudah menyerah dengan iming-iming diampuni dan menjadi pasukan.

“Kau sombong sekali.. Rasakan ini!” Bersamaan dengan itu Wak Kannaco mengirim sabetan tangan kanan yang dimiringkan mengarah leher. Satu kedipan mata berikutnya ia memutar tubuh dan melakukan sapuan kaki mengarah ke lutut. Ini pembukaan serangan yang dahsyat.

La Maddukkelleng menerimanya dengan tenang. Menarik kaki depan selangkah membiarkan tangan penyerang mengenai angin. Lalu dengan kuda-kuda rendah ia mendahului serangan sebelum sapuan itu tiba. Gerakan ini cepat bukan main dan detik berikutnya, sebuah sodokan maut hampir mengenai telak rusuk bawah Wak Kannaco jika saja ia tidak membuang diri ke samping lalu bergulingan. Dengan mata melotot ia berdiri.

Gebrakan pertama ini membuatnya kaget dan sadar ia bertemu musuh yang hebat. Tanpa sungkan, ia menghunus pedang besarnya yang berkilau tajam. Terdengar suara mendesing saat pedang lepas dari sarung. Punggung pedang itu bergergaji, gagangnya berwarna putih, panjang. Pangkalnya berhias akar-akar batu berwarna warni. Jelas sebuah senjata yang bagus.

Dalam kemarahannya Wak Kannaco mengirim serangan berikutnya yang lebih ganas. Ia berpikir akan meraih kemenangan cepat dengan mengeluarkan jurus paling ganas yang langsung menargetkan nyawa. Sebelum bergerak, dengan suara besar ia juga berteriak menyuruh serang. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 3 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!