SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 89

TELAH tiga hari keramaian itu berlangsung. Para penghulu tabib dan orang-orang pintar sekitar istana, setelah menghitung masa kehamilan We Tenri Angka, istri La Mataesso diperkirakan melahirkan beberapa hari lagi.

Menurut wangsit dari Sanro Wanua (penghulu dukun kerajaan), kelahiran Sang Putera Peneki yang ditunggu-tunggu ini berkisar di hari Ketujuh atau Kedelapan Sya’ban, hari ini adalah hari Keempat. Berbeda dari biasanya, ini adalah penantian kelahiran seorang anak yang istimewa, beberapa bissu yang kesurupan saat kalimat-kalimat Galigo dibacakan mendapat wangsit akan lahirnya seorang putera pembebas.

Bissu adalah pendeta keagamaan Bugis pra Islam, penghulu agama, seorang perantara kepentingan spiritual bumi dan langit. Seorang pendeta sakti yang tetap bertahan dalam masa peralihan Islam. Biasanya laki-laki, tidak kawin demi menjaga kesucian, maka kadang berperilaku mirip waria.

Bissu istana menyebutkan bahwa yang akan lahir ini adalah seorang laki-laki kesatria. Bersambung dalam silsilah ketiga puluh Maharaja Sawerigading dengan istrinya We Cudai Punna Bolae dari negeri Cina Pammana melalui La Paukke, Raja pertama Cinnotabi, cikal bakal Kerajaan Wajo.

Dari sinilah mengalir darah yang terus bertemurun sampai penguasa Cinnotabi terakhir yang kesohor, Puengta La Patiroi. Dari sanalah garis nasab tersambung sampai Puengta La Mataesso. Kepada sang bayi telah dipersiapkan nama yang diambil dari nama kelahiran asli Sawerigading yakni La Maddukkelleng. Sebuah nama yang jarang disematkan kepada pangeran mana pun karena dianggap bertuah dan milik Maharaja Sawerigading.

BERITA TERKAIT :

Maka pada penantian itu, istana Peneki hampir tak pernah tidur. Ikan-ikan hasil laut, buah dan sayur terus mengalir dari rakyat masuk ke dapur istana untuk menjamu para tetamu dari berbagai kalangan. Utusan-utusan arung (bangsawan) Palili, para pannigara (pendekar silat), ketua-ketua perkumpulan, para pallapi aro (pengawal istimewa) dan lain-lainnya. Makanan minuman terus disuguhkan dalam ramai pesta penantian itu.

Bahkan beberapa pangeran-pangeran lokal telah melakukan perburuan rusa khusus untuk dijadikan santapan pesta. Sarabba (minuman penghangat tubuh) dari jahe dan gula merah, tuak manis sampai arak lontar terbaik disuguhkan sepanjang malam.

***

Malam itu, di bibir sungai kecil sudut belakang istana, terlihat sebuah perahu perlahan mendekat. Pojok belakang rumah itu memang persis di pinggir sungai yang menikung sehingga menjadi bagian sungai yang lebih luas dibanding lainnya, berfungsi untuk tambatan perahu-perahu. Semacam gerbang akses laut ke istana lewat sungai kecil dari arah belakang.

Pos gazebo yang dihuni beberapa joa (pasukan dalam) di gerbangnya tak pernah kosong dari penjagaan. Perahu kecil itu meluncur tenang. Penumpangnya satu orang, berdiri dengan satu kaki di atas perahu, kaki satunya lagi berfungsi sebagai dayung yang menyibak air. Tanpa suara lain kecuali desir air yang pecah oleh laju perahu yang kencang. Ini sudah menandakan bahwa orang di atas perahu itu bukanlah orang sembarangan.

Saat mendekati daratan, tiba-tiba perahu meluncur cepat seolah anak panah yang melesat terbang dan mendarat jauh di atas gundukan tanah persis dekat pos penjagaan. Para penjaga kelabakan. Sebelum mereka bertanya, orang yang memakai jubah hitam berpenutup kepala itu sudah di dekat mereka, berbicara dengan suara lirih namun jelas.

“Sampaikan ke Puengta (Baginda), Bissu Tungke’ datang berkunjung. Mohon waktu menghadap.”

Penjaga yang terlihat muda itu mempersilakan si tamu untuk menunggu sejenak dan duduk di bangku pos, sambil setengah berlari memasuki istana. Tapi beberapa penjaga tua terlihat kaget luar biasa mendengar nama itu. Mereka menundukkan kepala dalam posisi diam tak bergerak.

Siapa yang tidak kenal Bissu Tungke’? Bissu sakti pelarian dari Kerajaan Siang yang pernah menggegerkan dunia dengan skandal melanggar sumpah bissu yang tak boleh menikah sampai mati. Namun diam-diam ia menjalin kasih dengan salah satu puteri bangsawan kerajaan Gowa. Saat ketahuan, dia melarikan diri bersama sang puteri. Aib yang dikenal dengan istilah silariang ini menjadi rahasia umum.

Perburuan dilakukan secara diam-diam tapi juga besar-besaran bukan hanya oleh Kerajaan Siang, tapi juga Gowa, Soppeng dan Tanete. Apa yang dilakukan oleh Bissu Tungke’ adalah pemberontakan terhadap adat. Bertahun perburuan itu dilakukan, tapi Bissu Tungke’ tak tersentuh. Ultimatum tiga Kerajaan terhadap Bissu Tungke’ untuk menyerahkan diri atau ditumpas mati tak dihiraukan.

Bahkan telah banyak pasukan khusus maupun para pannigara atau guru pamencak (pendekar petarung, guru-guru silat) yang menemui ajal saat bertemu dan bertarung dengannya. Bissu Tungke’ teramat sakti untuk rata-rata pannigara di jaman itu.

Terakhir, dalam sebuah penyergapan di Bulu (Gunung) Orai, Bissu Tungke’ bertarung dengan seratusan gabungan pasukan khusus dan pannigara Soppeng. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 9 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!