SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 83

TAK tergambarkan betapa sedih dan marahnya para pengawal Sultan Muhammad Idris. Tangisan pecah di mulut lubang besar itu. Belantara sunyi itu menjadi saksi kematian seorang raja pejuang. Suara tangis pilu dan sesunggukan lirih terdengar memurungkan isi hutan. Seolah ada awan kelabu menjelma pekat menghentikan segala kehidupan yang ada.

Aung Labih terduduk seperti orang putus asa. Ia memukul permukaan tanah hingga tangannya tenggelam sampai ke siku. Matanya memerah, namun ia tak bersuara. Beberapa pengawal lain turun ke dalam lubang dan membantu evakuasi jasad Sultan Muhammad Idris. Perlahan mereka meloloskan bambu runcing, membersihkan bekas-bekas darah yang menggenang lalu membuat tandu.

Dengan kesedihan yang dalam mereka menggotong jenazah Sultan Aji muhammad Idris. Sebagai tanda penghormatan, mereka tidak menaikkannya ke kuda, tapi menggotong beramai-ramai sambil jalan kaki menuju Tosora. Pasukan berkuda yang mengejar orang-orang yang dicurigai sebagai komplotan penjebak belum kembali. Biarlah mereka bertemu di Ibukota.

Sepanjang jalan warga dusun bertanya, siapa gerangan yang digotong penuh hikmat itu. Para pengawal berkuda yang berada agak jauh di belakang menjawab kalau yang meninggal adalah Sultan La Darise dari Tana Kute, pahlawan Wajo, menantu dari Arung Matoa Puengta La Maddukkelleng.

CERITA SEBELUMNYA :

Maka warga-warga dusun itu mengikut dari belakang mengiring berjalan kaki menuju Tosora. Makin lama iring-iringan itu makin panjang membentuk barisan manusia-manusia bertelanjang kaki yang berjalan tanpa suara. Hanya derap langkah seret yang terdengar bagai irama dalam nada acak yang saling berlomba dalam suara tangis tercekak sedu.

Istana Tosora geger. Ini kejadian yang sangat memilukan. Jenazah Aji Muhammad Idris ditempatkan di ruang balairung tengah istana yang luas. Wajahnya terlihat damai bagai orang yang tertidur pulas. Dibaringkan di atas kasur yang ditumpuk tujuh lapis. Ditutup kain sutera terbaik berlapis-lapis pula.

Semua bersedih terutama pengikut-pengikutnya dari Kutai yang terdiri dari orang Kutai, Bugis dan juga Paser. Mereka membentuk lingkaran memenuhi ruangan yang lengang, duduk bersila dengan kepala menunduk. Dari ruang sebelah luar orang-orang membaca al Qur’an, mengaji dalam koor yang riuh, mendengung bagai lebah yang menangis.

Suasana duka memeluk istana. Orang-orang bergerombol dari ruang disemayamkannya mayat, ruang para tetamu, sekeliling teras sampai ke kolong istana. Yang lain bergerombol di pekarangan sambil membuat tandu besar dari pohon pinang dan bambu lawasuji yang banyak. Semua bekerja dengan suara kecil, lirih dan sesekali hanya berbisik. Hari itu juga jenazah Sultan Kutai Aji Muhammad Idris dimandikan, dikafani lalu disalatkan di masjid samping istana.

Ia dimakamkan di Sengkang, di sebuah tempat yang agak tinggi, yang ketika berdiri di atasnya lalu memandang ke arah kiblat, terhampar di kejauhan hamparan permadani Danau Tempe yang keruh kekuningan berikut sungai-sungainya yang meliuk jauh. Seolah menyampaikan pesan bahwa Puengta Sultan Aji Muhammad Idris telah bersemayam dalam keabadian Walennae yang terus mengalir jauh sampai ke laut, tempat yang menghubungkannya dengan Kutai Kartanegara.

Pandangannya sejauh dan seluas itu pula, melampaui jamannya dan akan terus mengalir dalam denyut nadi kehidupan masyarakat Wajo. Kerajaan memberi gelar Anumerta Ladarise’ Daenna Parisi Arung Kute Petta Matinroe ri Kawanne. Tempat di mana ia gugur diabadikan sebagai kampung Teteaji yang berarti kampung titian Sang Aji.

Hari itu, Tosora berduka. La Maddukkelleng sebagai Raja Wajo menyerukan tak melakukan kegiatan apa pun selama tiga hari. Dari penuturan pasukan pengejar, mereka melaporkan para penghadang melarikan diri ke arah Bone, mereka kehilangan jejak di perbatasan. Hari keempat, La Maddukkelleng segera memerintahkan pengejaran dan meminta bantuan I Denrawali Ratu Bone tentang siapa orang-orang pengecut itu.

CERITA SEBELUMNYA :

Namun situasi tak menentu dan tensi politik kawasan yang tinggi, mengakibatkan pengungkapan konspirasi pembunuhan itu tidak menemukan titik terang dalam waktu singkat. Tapi dari penuturan para pengejar yang sempat memperpendek jarak dengan buruan itu menyebutkan, bahwa pemimpinnya memiliki kepandaian tinggi. Ia berbaju kuning dan mampu menghentikan lari kuda hanya dengan bentakan-bentakan.

La Maddukkelleng kaget. Tak ada tokoh yang memiliki kesaktian khas seperti itu selain La Sigajang To Passarai. Apakah ia telah sampai ke Bone? Apa kepentingannya membunuh Muhammad Idris? Berbagai dugaan dalam benaknya tentang motif konspirasi ini.

La Maddukkelleng segera membentuk tim pembawa kabar ke Pemarangan Kutai yang dipimpin oleh La Barru Daeng Manrapi dan Aung Labih. Mereka membawa Keris Pusaka Buritkang dan pesan bertuah dari Sang Sultan. Mereka hanya beranggotakan 20 orang, membawa kapal paling cepat yang dimiliki Wajo. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com) 

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 7 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!