Optik Mahasiswa Dalam Memandang Persiapan Pemilu 2024 di DOB Papua

0 117
  • Penulis : Try Ana Suryani
  • Peserta Mata Kuliah Hukum Pers Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

“Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

KANDUNGAN dasar pemikiran dalam jiwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) telah menentukan bentuk Bangsa kita sebagai suatu Negara Kesatuan yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai dasar pelaksanaan prinsip demokrasi.

Kemudian dalam praktiknya, sebagai salah satu upaya aktualisasi prinsip demokrasi tersebut Negara memberikan penjaminan konstitusional kepada rakyat untuk dapat memilih sendiri siapa Pemimpin Negara beserta wakil mereka di ranah politik melalui ajang Pemilihan Umum. Dengan mengingat bahwa esensi demokrasi ialah ruang partisipasi rakyat, maka terselenggaranya Pemilu merupakan bukti nyata dari suatu hal yang disebut perwujudan.

Selaku prosedur pengamanatan kedaulatan rakyat kepada pejabat publik, Pemilu dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dimaknai sebagai sarana kedaulatan rakyat untuk dapat memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD secara “luber jurdil” (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil).

Dengan pelaksanaan yang kini mengusung desain keserentakan, momentum pesta demokrasi ini terselenggara 5 (lima) tahun sekali sembari diiringi oleh bermacam warna problematika di setiap penyelenggaraannya.

Dalam momentum penantian Pemilu yang diagendakan terlaksana pada Februari 2024 mendatang, secarik problematika yang mencuat berkaitan erat dengan konsekuensi terbentuknya 3 (tiga) Daerah Otonomi Baru (DOB) di wilayah “Kepulauan Cenderawasih”.

Terdiri atas Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan, ketiga daerah yang dilegitimasi kedudukannya melalui masing-masing UU Nomor 14/15/16 Tahun 2022 ini, diketahui belum terakomodir dalam UU Pemilu yang merupakan kunci gerbang penyelenggaraan Pemilu secara konstitusional.

Sebagaimana diketahui, UU Pemilu melalui Pasal 186 telah menetapkan terkait jumlah kursi anggota DPR dengan total 575 kursi. Sedangkan dengan keikutsertaan 3 DOB Papua dalam momentum konstestasi politik ini, maka artinya Papua yang semula hanya 1 daerah berkembang menjadi 4 daerah hingga mempengaruhi ke perolehan kursi.

Dengan melihat pada Pasal 187 UU Pemilu, dikatakan bahwa jumlah kursi DPR paling sedikit ialah 3 kursi dan paling banyak 10 kursi. Implikasinya, apabila 3 DOB tersebut mengambil jumlah minimumpun total keseluruhanya ialah 12 kursi, melebihi 2 kursi dari volume yang disediakan.

Kemudian melalui Lampiran III dan IV, telah dikunci pula terkait penataan Daerah Pemilihan (Dapil) berikut dengan alokasi kursi di setiap daerah (termasuk Provinsi Papua sebelum pemekaran) untuk DPR-RI dan DPRD Provinsi. Sehingga di bilik konsekuensi, partisipasi DOB Papua di ajang Pemilu baru memungkinkan terselenggara di ranah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Dengan memandang hal ini saja, kita bersama-sama dapat dengan tegas mengatakan bahwa ketika 3 DOB Papua akan berpartisipasi dalam penyelenggaraan Pemilu 2024, maka perlu dilakukan rekonstruksi kebijakan atas dasar relevansi. Ditambah lagi, dengan menyelami setiap ketentuan yang terpatri pada UU DOB, tercatut amanat keikutsertaan 3 DOB Papua dalam Pasal 12 masing-masing UU DOB yang menyebutkan bahwa, DPR di ketiga Provinsi tersebut akan ditetapkan berdasarkan hasil Pemilu 2024.

Atas problema yang pada poinnya berputar di poros kerumpangan regulasi ini, dengan menggunakan optik negara hukum maka rekomendasi solusi dalam konteks ini akan dimuarakan pada 2 kemungkinan, yakni: 1) Rekonstruksi UU Pemilu melalui jalur revisi; atau 2) Menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) dengan lingkup revisi yang terbatas.

Baca Juga :

Dalam hal ini, Pemerintah bersama Komisi II DPR dan Penyelenggara Pemilu bersepakat mengarahkan solusi pada jalur ke-dua, yakni penerbitan Perppu dengan merevisi hal-hal yang dianggap urgent untuk segera dipayungi oleh hukum.

Menurut Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia, poin-poin yang nantinya akan diakomodir oleh Perppu tersebut meliputi penambahan jumlah anggota DPR akibat pertambahan jumlah Provinsi; pengubahan jumlah Dapil; masa jabatan KPU Daerah; serta lamanya penetapan daftar Calon Legislatif (Caleg) Tetap (DCT) dengan masa kampanye. Selain itu, terdapat juga pembahasan terkait perubahan nomor urut Parpol.

Namun rupanya, beberapa poin pembahasan dalam Perppu Pemilu tersebut dapat dipandang sebagai  poin-poin yang kontradiktif, terhadap esensi dari pembentukan Perppu itu sendiri. Jika Perppu Pemilu ditujukan untuk mengakomodir pelaksanaan Pemilu di DOB Papua, maka sejatinya poin-poin urgent yang perlu dibahas dari penyampaian Ketua Komisi II DPR tadi, hanya terkait dengan penambahan jumlah kursi dan jumlah Dapil. Adapun pembahasan lainnya, bukan merupakan hal genting yang harus segera dimuat demi keikutsertaan DOB Papua di ajang Pemilu.

Konstitusi kita telah secara gamblang menyebutkan dalam Pasal 22 ayat (1), bahwa Presiden dapat membentuk Perppu ketika dihadapkan dengan hal ihwal kegentingan memaksa. Pun ketika tidak ada definisi pasti terkait batasan kegentingan memaksa dalam peraturan Perundangan-Undangan, namun menurut Putusan MKRI No. 138/PUU-VII/2009 esensi kegentingan memaksa dikategorikan menjadi 3 faktor.

Pertama, adanya kebutuhan mendesak dalam penyelesaian masalah hukum secara cepat menurut Undang-undang. Kedua, terjadi kekosongan hukum akibat ketiadaan Undang-Undang yang dibutukan; atau Undang-Undang sudah ada namun tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum yang terjadi tidak dapat diselesaikan dengan membuat Undang-Undang di bilik prosedur biasa, karena memakan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang terjadi mendesak adanya kepastian untuk segera diselesaikan.

Dengan dimuatnya sejumlah ketentuan selain agar DOB Papua dapat turut serta dalam Pemilu, hal ini justru mengindikasikan bahwa Perppu Pemilu yang dalam kerangka idealitas dibangun atas hal ihwal kegentingan memaksa justru dihiasi oleh nuansa politis. Dalam hal ini, seharusnya pemerintah dapat membangun Perppu Pemilu dengan mengedepankan kepentingan masyarakat serta hak-hak konstitusional yang dimiliknya.

Pun ketika ingin memasukkan pembahasan lain, selama pembahasan tersebut tidak genting dimuat untuk mengakomodir pelaksanaan Pemilu di DOB ada baiknya dimasukkan dalam agenda terpisah (Revisi UU Pemilu) saja. Karena tujuan utama dari pembentukan Perppu Pemilu ini sendiri ialah untuk memberikan kepastian partisipasi masyarakat DOB Papua pada Pemilu 2024.

Diketahui, tahapan Pemilu yang dipaku melalui PKPU Nomor 3 Tahun 2022 kini telah berjalan sejak Juni lalu, dan pelaksanaan pencalonan anggota DPD diselenggarakan pada 6 Desember 2022.

Sebagaimana jalur Perppu dipilih karena prosesnya lebih cepat dibandingkan dengan harus merevisi UU Pemilu, ditaruh harapan yang besar kepada Pemerintah agar dapat segera mengesahkan Perppu Pemilu dalam rangka menjamin kepastian hukum dan merealisasikan hak konstitusional warga negara di DOB Papua.

Sebagaimana dijamin melalui UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, keikutsertaan dalam ajang Pemilu merupakan hak setiap warga negara yang terpatri dalam Pasal 44. Disebutkan bahwa “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan“. (DETAKKaltim.Com)

Editor  : Lukman

(Visited 10 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!