Masjid Shiratal Mustaqiem, Tradisi Buka Puasa Bubur Peca 2 Tahun Tiada

 Sopian : Mulai Zaman Dahulu Sudah Ada

0 336
Sopian, pengurus Masjid Shiratal Mustaqiem. (foto : Setyo)

DETAKKaltim.Com, SAMARINDA : Masjid Shiratal Mustaqiem yang terletak di Jalan Bung Tomo, Kelurahan Mesjid, Kecamatan Samarinda Seberang, Kaltim, mempunyai tradisi unik saat Bulan Ramadhan yakni selalu menyiapkan hidangan Bubur Peca untuk berbuka puasa, namun sudah 2 tahun lamanya tradisi tersebut tidak dapat dilaksanakan lantaran Pandemi Covid-19.

Selama Ramadhan, tradisi tersebut selalu dilaksanakan oleh warga yang tinggal di sekitar masjid tertua Samarinda, Shiratal Mustaqiem. Namun sejak Ramadhan tahun 2019 tradisi tersebut harus ditiadakan, lantaran tidak diperkenankan untuk berkumpul di suatu titik dalam waktu yang cukup lama. Hal ini dilakukan guna memutus mata rantai penyebaran Covid-19.

“Sebelum ada Virus Corona tradisi itu selalu rutin kami lakukan setiap Bulan Ramadhan, pasti ramai sekali saat waktu berbuka puasa. Bahkan ada orang yang dari luar Kota Samarinda yang ikut berbuka puasa di sini, karena penasaran dengan rasa Bubur Peca. Tradisi itu sudah sejak lama dilakukan secara turun temurun. Bubur Peca dibuat bersama secara swadaya oleh warga sekitar masjid dengan biaya pembuatannyapun bersama-sama, semua dilakukan secara bergiliran,” ucap Sopian, pengurus Masjid Shiratal Mustaqiem kepada DETAKKaltim.Com, Sabtu (17/4/2021).

Bubur Peca sama persis dengan bubur lainnya yang terbuat dari Beras. Yang membedakan ialah bumbu dan rempah-rempah yang menjadi campuran Bubur, hal ini yang membuat banyak pengunjung, baik dari Kota Samarinda, maupun luar kota sengaja datang untuk berbuka di masjid ini menikmati kelezatan Bubur Peca.

“Tradisi Bubur Peca saat berbuka puasa memang harus dilestarikan, karena mulai zaman dahulu sudah ada Bubur Peca ini. Bubur Peca ini dilestarikan karena selain sudah tradisi, memang manfaatnya mudah dicerna oleh lambung sangat baik untuk berbuka puasa. Dulu untuk membuat Bubur Peca bisa menghabiskan Beras 37 Kilogram sampai 40 Kilogram Beras, untuk memenuhi kebutuhan jamaah yang berbuka puasa di sini. Bubur Peca ini berasal dari kata Peca, bahasa Bugis yang artinya lembut,” lanjut Sopian.

Walaupun pada tahun 2021 ini masih belum bisa melaksanakan buka puasa bersama dengan sajian Bubur Peca, namun masyarakat sedikit terobati karena pada tahun ini sudah bisa melaksanakan sholat berjamaah, walaupun masih harus menjaga jarak.

“Semoga saja Ramadhan mendatang Covid-19 sudah berakhir dan kita bisa berkumpul untuk berbuka puasa bersama dengan Bubur Peca, setidaknya tahun ini kita bisa sholat berjamaah walaupun harus tetap memperhatikan Protokol Kesehatan dengan menjaga jarak saat sholat.” tutup Sopian.

Bubur Peca merupakan makanan khas orang Bugis, bisa dipahami jika makanan ini menjadi tradisi turun temurun di Masjid yang diprakarsai pembangunannya oleh seorang pedagang muslim dari Pontianak, Kalimantan Barat, bernama Said Abdurrahman Assegaf tahun 1881 yang diberi gelar oleh Raja Kutai Kartanegara sebagai Pangeran Bendahara, karena ia seorang yang kaya.

Mengingat sebelum kedatangannya, Raja Kutai Kartanegara Pangeran Dipati Mojo Kesumo (1650-1686) pada  tahun 1672  menanugerahi La Mohan Daeng Mangkona, tanah di Samarinda Seberang dengan hak otonom untuk memerintah daerahnya sendiri dengan gelar Pua’ Ado yang diberikan oleh Raja Kutai Kartanegara, setelah bersama pengikutnya mengusir Bajak Laut dari  Solok  Pilipina.

La Mohan Daeng Mangkona, seorang Bangsawan Wajo yang datang pada tahun 1668 bersama pengikutnya datang ke Kerajaan Kutai Kartanegara dan meminta izin bertempat tinggal. Permintaan ini dikabulkan dengan syarat bersedia membantu Kerajaan Kutai Kartanegara, terutama dalam menghadapi musuh. (DK.Com).

Penulis : Setyo Wahyu Aditya

Editor : Lukman

(Visited 37 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!