SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 75

SABUTUNG dan Lae Lae menjadi gerbang perang kepulangan La Maddukkelleng. Ini adalah penanda bahwa perang yang mereka lakoni akan terus membesar. Mukaddimahnya bertensi tinggi. Padahal jarak tempuh pelayaran ke Wajo masih beberapa hari.

Saat meninggalkan Lae Lae yang porak poranda sehabis perang seharian, La Maddukkelleng memandangi pulau itu yang dalam remang senja terlihat mirip nisan mengapung. Beberapa pulau kecil di sekitarnya dibakar sebagai penanda kemenangan. Apinya membumbung tinggi dan terlihat seperti obor besar dari arah Rotterdam.

Ada seratusan lebih mayat yang mereka kubur di sana, aroma maut masih terasa ketika kapal menjauh memunggungi Makassar. Tak ada dentuman meriam setelahnya. Pun pesan telah tersampaikan oleh Ancak Baedah ke daratan Rotterdam. Petinggi Belanda dan penguasa negeri Tana Ugi yang bermukim di Makassar sangat berang dengan peristiwa itu.

Tapi pelajaran penting tentang kabar angin yang menyebutkan kehebatan La Maddukkelleng dan pasukannya telah mereka saksikan. Sejak itu mereka tak boleh menyepelekan musuh besar ini. Mereka lebih dari bajak laut. Bahkan lebih dari sekadar pelarian perang. Gubernur Makassar segera mengirim pesan ke Batavia untuk menambah personil dan persenjataan. Boleh jadi, perang kali ini lebih dahsyat dibanding Perang Makassar 70 tahun lalu.

CERITA SEBELUMNYA :

Dua kapal La Maddukkelleng beriringan terus menuju ke timur. Mangkubumi I Mappasempek Karaeng Bonto Langkasa telah menunggu di Gowa. Utusan pembawa kabar telah tiba sejak dua hari lalu. Jarak Makassar – Gowa cukup dekat. Maka tak lama sesudahnya, malam belum gulita saat mereka bersandar di Pelabuhan Gowa.

Mereka diterima langsung oleh Sang Mangkubumi Butta Gowa (Tomabbicara Butta) Karaeng Bonto Langkasak. Pembesar patriotik ini memeluk lama La Maddukkelleng, ia menaruh harapan besar padanya bahwa Makassar akan menebus kekalahan puluhan tahun lalu dari Belanda. Raja muda di depannya ini memiliki reputasi yang kesohor. Bekal itu cukup untuk bersama Gowa menggempur kesombongan orang asing bernama Belanda.

Tak ada waktu berlama-lama, bentrok Lae Lae siang tadi telah menimbulkan kegoncangan Gowa Makassar. Basa-basi pelepas kangen itu hanya sebentar dilakukan. Mereka segera menggelar rapat membahas rencana strategi dan taktik menghadapi Belanda dan sekutu-sekutunya.

Gowa saat itu dipimpin oleh Sultan Sirajuddin yang sangat akrab dengan Belanda. Konsekuensi Perjanjian Bongaya pasca jatuhnya Makassar, secara politik Gowa – Tallo telah dilucuti oleh Belanda dan Bone. Raja-raja yang diangkat haruslah atas restu Gubernur Hindia Belanda. Maka, Sultan Sirajuddin ini menjadi sosok yang tak disenangi oleh patriot-patriot kerajaan terutama dari kalangan anak-anak bangsawan dan mayoritas Bate Salapang.

Bate Salapang adalah sembilan negeri kasuwiyang penopang Gowa. Mereka adalah Tombolo, Samata, Lakiung, Data, Agang Je’ne, Parang Parang, Bisei, Kalling dan Sero. Sembilan negeri ini adalah pendiri kerajaan Gowa di masa silam. Maka suara mereka tetap didengar oleh pemangku kerajaan dalam menetapkan keputusan-keputusan besar.

Setiap bate memiliki raja kecil sendiri tapi di bawah kendali Gowa sebagai negara persatuan. Sultan Sirajuddin dianggap banyak melakukan langkah-langkah politik yang merugikan Butta Gowa dan terlalu dekat dengan Belanda. Mangkubumi Karaeng Bonto Langkasak termasuk yang tidak menyukainya.

CERITA SEBELUMNYA : 

Dalam pertemuan itu, turut hadir Arung Kaju (suami Batari Toja, Ratu Bone) yang memiliki ambisi sendiri atas Bone dan beberapa bangsawan-bangsawan Gowa yang mendampingi Mangkubuni Bonto Langkasa. Arung Kaju ini berbeda pandangan politik dengan istrinya soal orang-orang Belanda.

Istrinya mewarisi langkah politik pendahulunya yang tak lain ayahandanya sendiri La Patau Matanna Tikka untuk terus menjaga aliansi dengan Belanda, sementara Arung Kaju memandang bahwa keberadaan Belanda sudah melampaui batas, bukan lagi sebatas sekutu politik, tetapi sudah menjadi tuan baru di Tana Ugi.

Maka diambil kesepakatan besar, yakni menghimpun kekuatan untuk memerangi Belanda. Sesegera mungkin mengontak seluruh kerajaan yang akan bersama dalam aliansi persekutuan melawan Belanda dan Bone. Tapi sebelum itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menurunkan Sultan Sirajuddin dan juga Batari Toja dari singgasana kekuasaannya.

Dua orang ini sudah sangat dekat dengan Belanda. Kesepakatan kudeta besar ini menjadi poin paling krusial dalam pertemuan itu. Dan mesti disegerakan, dalam keadaan kalah atau menang. Belum tahu caranya, tapi harus dilakukan.  (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 10 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!