SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 75

KAPITAN La Banna membagi armada ke beberapa target. Dua puluh satu armada di bawah komando kapal terbesar ke Muara Kandilo Paser. Muara Bolongan sepuluh dan Muara Kutai Mahakam juga sepuluh. Selebihnya menyebar di antara tempat-tempat itu sebagai pemukim, sebagian lainnya tetap di Pulau Tuah.

Puluhan armada-armada laut dalam berbagai ukuran itu, dikerahkan semua untuk terus bergerak menyebar untuk menghindari deteksi dari VOC yang terus berusaha menghancurkan La Maddukkelleng. Persebaran ke berbagai tempat itu menjadikan Muara Kandilo dan Pulau Tuah sebagai titik koordinasi.

Seperti disepakati, seluruh kapal meninggalkan pulau secara bertahap. Lima armada mendahului ke Muara Kandilo dipimpin oleh Cambang Balolo. Berturut yang lainnya menyusul dan terakhir adalah armada terbesar yang ditumpangi tiga elit Peneki beserta pasukan-pasukan marinir yang tangguh, Petta La Maddukkelleng, Kapitan La Banna dan Punggawa Ambo Pabbola.

Kapal besar itu tidak merapat ke pelabuhan, melainkan hanya membuang jangkar beberapa mil dari daratan. Dari kejauhan, kapal-kapal itu terlihat seperti rumah apung yang memenuhi sepanjang laut lepas Muara Kandilo. Saat pagi tiba, bayang-bayang yang terbentuk dari kapal-kapal besar itu menjelma garis panjang hitam laksana jembatan yang menghubungkannya dengan daratan. Beberapa penduduk muara melihat ini dengan takjub.

Puengta La Maddukkelleng segera mengutus Ambo Pabbola untuk menghadap Sultan di Paser. Memohon perkenan untuk menerima kunjungan rombongan La Maddukkelleng di istana Paser. Bekal filosofis  pertama adalah “cappa lila”, itulah yang akan jadi jembatan adab memasuki kehidupan di daratan Muara Paser.

CERITA SEBELUMNYA :

Meskipun telah banyak pemukim-pemukim dari Bugis berdiam di sana, tapi adalah penting memberikan hak sesembahan kepada sultan penguasa Paser tentang kehadiran rombongan yang pada saat itu memiliki reputasi sensitif dalam politik kawasan selat. Ada resiko sendiri untuk bergaul dengan La Maddukkelleng dan pengikut-pengikutnya.

Apa yang mereka telah ukir selama ini lewat konflik dan perampasan-perampasan adalah harga mahal secara politik bagi siapa pun yang bersahabat dengannya. Apa lagi musuh diametralnya adalah Belanda VOC dan sekutunya, pemilik kekuatan senjata dan hegemoni paling dominan saat itu.

Maka menghadaplah Ambo Pabbola ditemani tujuh pengawal ke istana Paser. Kepada Sultan Paser Aji Geger bin Aji Anom Singa Maulana atau dikenal sebagai Sultan Aji Muhammad Alamsyah, mereka menyampaikan sembah dan hormat sekaligus meminta perkenan untuk menerima La Maddukkelleng, Arung Peneki, merapat ke istana sebagai tamu dari seberang sekaligus penguasa tak tertulis Selat Makassar.

Sang Raja bijaksana yang memiliki kuping di mana-mana itu tentu telah mengenal sepak terjang La Maddukkelleng dengan pasukannya. Ia dengan senang hati menerimanya di istana sebagai tamu kehormatan. Paser membutuhkan sahabat yang kuat di laut. Hubungan perpolitikan dengan kerajaan-kerajaan sekitar saat itu terkadang labil.

Diserahkannya Kutai kepada Banjar oleh Belanda menempatkan Paser pada tekanan politik VOC lewat sekutunya itu. Ini adalah pundi kekuatan baru bagi Paser. Sang Sultan dengan senang hati menyambut kedatangan itu dan berharap persahabatan bisa terjalin, saling memberi dan menerima.

La Maddukkelleng diterima dengan baik. Sultan tak menyangka bahwa Arung Peneki itu seorang yang masih muda. Ia pantas menjadi anaknya. Lewat perbincangan dengan memakai bahasa Melayu, Sultan menemukan pribadi yang kuat dari pemuda ini. Namun Paser adalah negara berdaulat, maka sebelum ijin menetap diberikan terlebih dahulu upacara persahabatan dengan ikrar untuk saling menjaga satu sama lain.

Bahwa Muara Paser tetaplah mutlak menjadi wilayah di bawah kekuasaan Paser. La Maddukkelleng juga memberi kesanggupan untuk menjaga perairan Kandilo sampai selat yang terjangkau untuk tetap aman di bawah kendali Kapitan La Banna To Assa atas nama Paser.

Tak terlalu lama, muara itu telah berkembang menjadi pemukiman yang kian ramai. Seluruh kegiatan lalu lintas sungai sampai ke laut di bawah kendali penuh La Maddukkelleng berbendera Paser. Mereka sudah seperti angkatan laut Kerajaan Paser.

Kalau selama ini mereka hanyalah perompak besar yang menjelma raja laut di pulau Tuah yang terpencil jauh ke utara, kini mereka mendapatan legitimasi sebagai pasukan yang bukan hanya menguasai selat tapi juga menjadi angkatan perang yang memiliki daratan, meski dengan status di bawah Paser.

Persahabatan ini semakin kental dan akrab. Hingga akhirnya atas saran dua penasehatnya Daeng Mangkana  dan juga Ambo Pabbola, La Maddukkelleng meminang puteri Paser, Andin Anjang sebagai istri. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 12 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!