SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 129

SEMENTARA ia terus membelanjakan hampir seluruh anggarannya untuk membangun armada. Membeli dari orang-orang Inggris amunisi, senapan dan meriam, sementara kapal-kapal itu sebagian dibeli sebagian lagi dirampas dari VOC yang melintas di selat.

Beberapa waktu kemudian, dalam hitungan enam sampai tujuh tahun, La Maddukkelleng telah memiliki armada laut berjumlah 60 buah, beberapa di antaranya adalah kapal perang yang besar. Semua dilengkapi meriam, dengan dinding-dinding berlapis tebal yang tahan peluru bedil di sekelilingnya.

Setelah kehidupan terus menemukan kekuatan di Pulau Tuah, dan menempatkan La Maddukkelleng sebagai raja muda Selat Makassar yang namanya semakin mendongeng menyaingi kekuatan VOC, tiba saatnya kini La Maddukkelleng melanjutkan ekspedisi semula yang diembannya; menuju Negeri Johor bertemu saudara tuanya yang bernama Daeng Matekko.

Kepergian Daeng Matekko lebih sepuluh tahun lewat juga karena konflik politik dengan Raja Bone. Ia dimurkai karena sikap kerasnya dalam Perang Makassar yang tak mau mengalah. Ia pun dikejar sebagai pelarian politik dari VOC dan Kerajaan Bone.

La Maddukkelleng membentuk satu tim ekspedisi dengan satu kapal paling kuat yang memiliki empat meriam besar dan empat perahu bintak di sisi kanan kiri lambungnya. Ia menunjuk Cambang Balolo beserta Daeng Mangkana sebagai pemangku majikan pulau sementara. La Banna sebagai pengawal utama, Ambo Pabbola dan pasukan elit dari Peneki ikut serta dalam perjalanan.

Kekuatan ekspedisi itu setara hampir tiga peleton. Ada tujuh puluh lima orang. Kekuatan dibagi dua peleton masing-masing dua puluh enam personil. Selebihnya logistik, dan pasukan cadangan.

“Saudaraku semua, aku akan melanjutkan perjalanan ke Johor,” demikian Puengta La Maddukkelleng berkata.

“Perjalanan ini mungkin memakan waktu bulanan atau bahkan tahunan. Selama kepergianku, Cambang Balolo dan Daeng Mangkana akan menjadi pemangku ketua pulau. Ia akan menjadi sullewatang (pengganti raja, semacam waliraja). Kalian semua harus taat sebagaimana ketaatan yang kalian berikan padaku!”

“Iyya, Pueng..!!” Serempak terdengar koor dari peserta pertemuan di salassa pulau.

Yang hadir adalah para petinggi, nahkoda, seluruh pasukan dan perwira, pengurus pulau besar dari semua tingkatan dan juga kepala-kepala sektor yang mewakili pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Tuah. Puncak ketinggian pulau itu terlihat sesak dipenuhi para penghuni utama pulau. Hanya mereka yang berjaga di gerbang-gerbang pulau, sedang di ladang, rutinitas melaut dan sebagian rakyat awam tidak ikut dalam pertemuan besar itu.

CERITA SEBELUMNYA :

Ketika fajar dari ufuk timur, dalam istilah Bugis disebut wajeng pajeng menyingsing dan memekarkan warna kehidupan di pulau yang indah itu, La Maddukkelleng beserta rombongan bersiap meninggalkan pulau. Sehabis subuh persiapan telah dilakukan. Setelah sebelumnya briefing di pelabuhan tersembunyi yang dari arah laut lepas tak terlihat.

Semua mengantar dengan tangan melambai dan sebagian lagi berlutut. Kapal besar dengan tiga tiang layar utama itu meninggalkan Pulau Tuah. Layarnya yang berlapis-lapis mengembang anggun. Itu adalah kapal perang utama dan terbesar yang dimiliki Pulau Tuah. Mampu mengangkut enam sekoci berupa perahu bintak yang bisa melaju dengan cepat.

Dalam keadaan normal, kapal itu juga mampu mengangkut tiga ratus lebih penumpang dengan kamar-kamar perwira ABK yang lengkap. Deknya bertingkat tiga untuk memuat meriam, kamar-kamar dan ruang dayung. Dari kiri kanan lambungnya terlihat delapan moncong meriam besar dan kecil dalam posisi kokoh. Dinding-dindingnya dibuat tebal berlapis plat timah yang tahan benturan.

Di haluan dan buritannya dilengkapi semacam castle atau benteng yang terbuat dari dinding kayu tebal yang juga berlapis lempengan timah. Di sana biasanya menjadi pos pengintai serangan senapan dan pelontar api. Selain layarnya yang bersusun dan juga bisa digerakkan dengan dayung dari sisi kiri kanannya, kapal ini juga memiliki jembatan pengait dan haluan pendobrak sebagai perusak.

Ini adalah gambaran kapal perang yang besar dan mewah untuk ukuran waktu itu. Saat angin menguntungkan, maka layar difungsikan dengan maksimal, tapi ketika melawan arah angin, maka diperbantukan dengan tenaga pendayung sebanyak empat puluh orang di dua sisi kapal. Untuk ukuran abad 18 waktu itu, ini adalah kapal perang yang canggih. Mereka membelinya dengan sangat mahal dari Inggris.

Perlahan namun pasti ia menyeruak ombak menuju lautan lepas. Sampai kapal itu tak lagi terlihat di tikungan pulau, barulah orang-orang itu bubar. Kembali ke formasi kehidupan pulau yang mengalir. Pulau sejenak seperti sunyi yang diam. Angin seolah malas berhembus. Pucuk-pucuk pohon dan nyiur yang meliuk tinggi terlihat gemulai bergoyang. Seolah melambai kepada tuannya yang sedang melanjutkan takdir dan jejak kaki petualangan.  (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 1 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!