SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 94

Iyye, Pueng..!” Serentak terdengar jawaban bersama.

La Maddukkelleng melanjutkan, “Makanya, sengaja kalian saya kumpulkan untuk mengecek kesiapan pasukan dan orang-orang yang sudah kita latih.”

“Tabe, Puengku,” La Banna berbicara. “Kesiapan pasukan sudah matang. Latihan fisik dan kedisiplinan sudah selesai. Kita hanya kekurangan perahu bintak dan peralatan tempur.”

“Itu bisa diatasi nanti. Kita sudah harus memetakan posisi kita. Pulau ini sangat strategis sebagai markas. La Congkeng dan Wak Simpurung jadi navigator utama. Kita mulai operasi hari Senin depan. Target kita adalah kapal-kapal dagang VOC Belanda dengan radius sehari pelayaran dari sini. Kita rampas kapalnya atau kita tenggelamkan..”

“Iyye, Pueng!!” Serempak terdengar seperti aba-apa siap pasukan perang. Dan memang itu adalah gong perang yang sudah bergema dari puncak pulau Tuah. Sebuah titik awal dari kecamuk Selat Makassar yang sebentar lagi berguncang.

Elang laut yang mengitari pesisir pulau menukik ke arah buih ombak yang meghempas karang. Terdengar pekikannya yang panjang seolah sirene tanda kehidupan baru sedang terlakoni oleh para kesatria passompe yang kini mendesain takdir dari titik kecil sebuah pojok terjauh Selat Makassar.

”Kapitang Banna, gelar pasukan siang ini. Saya ingin memeriksa mereka setelah sekian lama ini engkau latih!”

“Iyye Pueng, siap!”

CERITA SEBELUMNYA :

Tak lama setelah pertemuan itu, La Banna menggelar pasukan yang selama ini telah dilatihnya. Baik latihan fisik, keterampilan di air atau di darat, baris berbaris maupun gerakan-gerakan ketangkasan lainnya. Di depan La Maddukkelleng yang berdiri di atas sebuah batu yang cukup tinggi, pasukan-pasukan itu memperagakan cara baris berbaris, ketangkasan mainkan tombak dan pedang, bergulat maupun bertempur dengan tangan kosong.

La Maddukkelleng cukup puas, apalagi disaksikannya rata-rata pasukan itu kini telah menguasai pukulan-pukulan Sulapa Dua dari ilmu silatnya. Ia memberikan pidato sebagaimana layaknya Inspektur Upacara. Ia yakin bahwa pasukan ini adalah modal awal utama baginya memulai perjuangan.

Mulai saat itu, Selat Makassar telah menjadi medan perang bagi kapal-kapal asing yang melintas. Jarang yang lolos dari cukai tak tertulis itu. La Maddukkelleng memasang jaring mata-mata dan kuping informasi seantero laut, menetapkan standar bayaran bagi kapal pribumi dan perampasan bagi kapal asing khususnya VOC.

Tak sedikit pertempuran, perang dengan meriam telah dilakoni demi menghimpun kekuatan, logistik, mesiu dan armada kapal. Dalam setahun kecamuk itu La Maddukkelleng telah memiliki tiga puluh kapal besar, dua puluh di antaranya memiliki meriam di lambungnya.

Kapal-kapal itu sebagian diparkir di dermaga alam Pulau Tuah sebagai armada siap tempur dan sebagiannya ditugaskan berlayar dan berlabuh di muara-muara sungai terdekat di pesisir Kalimantan dan Sulawesi. Mereka menyaru sebagai kapal penangkap ikan atau kapal-kapal pedagang.

Hubungannya dengan pedagang-pedagang Inggris memuluskan upayanya terus membangun persenjataan lengkap dengan amunisi-amunisinya. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 7 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!