SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 143

SELEPAS dari perairan Peneki, perahu Pinisi yang membawa La Maddukkelleng melesat agak ke timur menghindari jarak dengan Muara Lapallime Cenrana. Perahu layar milik Peneki itu selanjutnya memutar ke selatan menuju arah Makassar. Mereka merapat ke Tanjung Bira Tana Kajang, Bulukumba.

Selain menunggu angin muson timur berhembus ke barat, mereka sekaligus mampir berlabuh untuk melengkapi beberapa peralatan kapal seperti perahu kecil mirip sekoci untuk ditambatkan di kedua sisi kapal. Beberapa bagian kapal juga dikuatkan sebagai persiapan pelayaran ke negeri jauh. Dinding-dindingnya dipertebal dan layar utama dipasang lebih besar dengan tambahan satu tiang layar baru. Ruang dayung juga ditambah dan dikuatkan di sana sini.

Bulukumba sejak dulu terkenal sebagai pembuat perahu yang handal. Mereka adalah pewaris tuah Welanreng, perahu legenda milik Sawerigading yang diyakini telah mengelilingi dunia untuk kemudian berhenti di Bira sebagai monumen waktu untuk anak cucu laut para passompe’.

La Maddukkelleng menyempatkan diri bertemu Ammatoa Kajang menyampaikan pesan Tunreng Talaga. Ada hubungan khusus antara keduanya. Namun tak lama, setelah beberapa bagian kapal dikuatkan, dibarengi ritual khusus dari para panrita, sauh segera diangkat dan haluan diarahkan menuju barat melalui pesisir Galesong, Tallo dan Gowa.

Angin timur Oktober yang cukup kencang memudahkan mereka untuk melaju dengan kecepatan maksimal di atas bahtera Peneki, perahu besar yang telah dikuatkan dengan sentuhan tangan para panrita lopi di Tana Bira.

Malam tiba saat mereka sejajar dengan Kota Makassar. Dari kejauhan terlihat kota itu dengan lampu-lampu obor kerlap kerlip seperti tarian bintang darat yang meliuk-liuk.

“Kita sudah di perairan Gowa, Puengku”, kata La Banna di samping La Maddukkelleng yang sedang berdiri di haluan kapal.

BERITA TERKAIT :

Saat itu, berempat mereka tegak menghadap ke arah lajunya kapal. Di depan hanya terlihat laut dalam gemerlapan cahaya bulan yang berkerlipan oleh gelombang. Di belakang mereka berdiri Ambo Pabbola dan Cambang Balolo.

Selama meninggalkan Peneki, mereka bertiga ini menjadi teman bermusyawarah La Maddukkelleng yang paling dekat. Membicarakan semua hal, arah kapal, situasi negeri-negeri yang mereka lalui dan kemungkinan-kemungkinan dalam rantauan. Di dalam kepala mereka, sketsa pelarian ini berbeda-beda.

Semua tanda tanya penuh misteri. Tapi satu hal yang telah mereka sepakati adalah pantang menoleh ke belakang atau pun sekadar mempertanyakan kepulangan. Mereka telah berikrar di dalam Hutan Labuaja untuk mengikat satu tekad dalam nyala api perantauan. Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai. Kualleangi tallanga natowalia (Makassar: Lebih kupilih tenggelam daripada harus kembali lagi).

Dalam kesempatan beberapa hari di awal pelayaran itu, La Maddukkelleng mendapatkan kenyataan betapa La Banna seorang yang berpengetahuan luas dan berani. Ia memahami dengan baik perkembangan politik negeri-negeri Bugis, Mandar dan Makassar. Dari La Banna ia tahu sejak perjanjian Bungaya, Belanda VOC hanya mampu secara praktis menguasai Gowa dan pelabuhan-pelabuhan berbasis kota.

Tapi api perlawanan sebenarnya tak pernah padam. Dari Karaeng Karunrung, Karaeng Galesong bahkan anak perempuan Sultan Hasanuddin yang berjuang jauh dari kampung halaman. Beberapa tokoh-tokoh besar itu memilih jalur perlawanan dengan meninggalkan Tana Celebes dan berperang secara semesta di seluruh nusantara terutama Jawa dan Kalimantan.

La Banna juga menuturkan, sebagaimana La Maddukkelleng juga telah tahu, bahwa setelah Perjanjian Bongaya 1667 ditandatangani sebagai kekalahan Makassar dari Bone dan VOC, dan menyusul Rumpan’na Tosora (hancurnya Tosora) Ibukota Wajo oleh serangan aliansi Bone pada 1670, begitu banyak orang-orang Wajo dan petinggi-petingginya yang memilih meninggalkan negeri demi menolak bertekuk lutut dari musuh-musuh yang telah memporak-porandakan Wajo.

Gelombang para imigran itu menyebar ke Johor dan Kalimantan. Kakak La Maddukkelleng, Daeng Matekko termasuk dari kelompok bangsawan yang meninggalkan Wajo menuju Johor menjelang permulaan abad ke-18.

La Maddukkelleng mengetahui informasi-informasi itu dengan baik sejak masih kecil. Istana Tosora sering memperbincangkan beberapa panglima-panglima perangnya yang kini telah bermukim jauh di luar Wajo karena tak rela menerima kekalahan. Paling sering didengarnya adalah Johor, Paser, dan Kutai.

Seorang mantan panglima perang Wajo, La Mohang Daeng Mangkona kesohor telah lama menetap di wilayah Kutai Kartanegara yang disebut Samarinda. Ia membangun tempat itu di bawah arahan kesutanan Kutai Kartanegara Ing Martapura. Samarinda telah menjadi salah satu tujuan favorit para passompe’ dari Tana Ugi khususnya Wajo.

La Mohang, sang panglima yang tak terima kekalahan Wajo itu membentuk Keadatan Samarinda di bawah Kutai. Ia diangkat menjadi Puang Ade’ (Pua Ado) yang pertama. Menjadi bagian tak terpisahkan dari kerajaan.

Cerita yang berhembus sampai ke Tana Ugi menjadi inspirasi banyak pelarian-pelarian untuk mengunjungi Samarinda sebagai tempat tinggal tetap. Itu lebih baik dari pada tinggal di Wajo namun berada di bawah bayang-bayang Perjanjian Bongaya yang menindas. Mungkin satu saat ia akan mengarahkan layar ke sana, La Maddukkelleng membatin.

(BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 7 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!