SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 106

BERSAMAAN terangnya tanah di Tosora dan kehidupan pagi yang mulai bermekaran, La Maddukkelleng memunggungi Ibukota kerajaan Wajo. Dia beserta dua pengikutnya tidak melalui jalan umum sebagaimana biasanya. Nalurinya sebagai pelarian tumbuh dan berdegup kencang sejak ia meninggalkan istana Tosora.

Setiap melangkah ia memasang mata di punggungnya dan juga telinga di relung hatinya. Itu yang disebut penessa’, firasat. Indra Keenam. Karame’E sering bicara tentang itu pada malam-malam ia diajak zikir bersama di puncak Balease yang dingin. Ia selalu mengisi sela-sela latihannya dengan tirakat, zikir dalam relung-relung hati sesuai petunjuk guru besarnya itu. Itu dinamainya zikkiri’ teng pettu, jenne’ teng luka. Zikir tiada henti dan wudhu tak berbatal.

“Engkau tak mungkin belajar dari mana pun tentang bisikan hati, kecuali melalui dirimu sendiri. Setiap hati memiliki cermin, ia akan menjadi telaga bening yang bersemanyam dalam alamul amri dalam sanubarimu. Namun seiring waktu ia akan terus memudar tertutup debu kumal dunia, ia menjadi hijab yang menutupmu dengan dirimu yang sebenarnya. Engkau harus membersihkannya dengan dzikrullah tiada henti demi membuatnya bercahaya. Berkilauan. Hati yang sunyi dari mengingat Allah, akan gelap oleh dinding tebal. Cerminmu di sana, tanyamu di sana, dan pancaran rahmat Allah Ta’ala, Pueng SeuwwaE, akan selalu berdenyut di sana. Engkau harus mengkajinya lewat pengamatan dan juga pengalaman seumur hidup. Jika telah engkau memahaminya dan pencarianmu sampai, kita akan terus berhubungan walau pun raga tak berdekatan.” Manusia sakti Karame’E ri Tompo Balease berbicara seperti itu di suatu malam.

BERITA TERKAIT :

Kini, ia menemukan betapa apa yang dikatakan gurunya itu dibutuhkannya dalam situasi seperti ini. Dalam yakinnya yang pasti, ia tahu ini akan sangat diperlukan untuk hari-harinya yang akan datang. Betapa kepekaan bisikan firasat hati akan menjadi salah satu bekal utama dalam mengarungi fase kehidupannya yang baru.

Dari Tosora ia memasuki hutan sebelah barat melalui lereng Bukit Lampassu yang penuh pohon-pohon raksasa, daerah yang selama ini terlarang untuk dimasuki. Dianggap daerah penghukuman. La Maddukkelleng tahu hutan itu dihuni oleh seorang yang dianggap sesepuh kerajaan yang memiliki pengikut-pengikut setia yang misterius.

Seorang tokoh mistik yang mengasingkan diri dan sangat jarang muncul di dunia ramai. Hutan lebat itu turun temurun dituturkan sebagai hunian sisa-sisa pengikut Petta Cinnotabi yang enggan menerima Islam sebagai agama baru. Mereka membangun kawasan sendiri di tengah hutan antara Tosora dan Kampiri di mana terdapat makam La Patiroi yang terkenal sebagai Puengta ri Cinnotabi yang terakhir.

La Patiroi dianggap sebagai puncak keguruan sakti dan penghulu kebijaksanaan yang tercatat dalam lontara-lotara rahasia Wajo. Cinnottabi adalah cikal bakal Kerajaan Wajo yang bersilsilah langsung dengan Maharaja Sawerigading yang bertahta di Cina Pammana bersama istrinya, We Cudai Punna Bolae. We Cudai adalah puteri La Sattumpugi, di mana asal muasal to Ugi disematkan pertama kalinya. Pengikut mistis kesunyian ini hidup dengan cara dan kepercayaan sendiri. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 1 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!