SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 99

LA BANNA tak menjawab, sekali lompat ia telah sampai di front pertempuran belakang. Ia diikuti Aji Muhammad Idris dan beberapa pasukan. Di sana terlihat seorang tinggi besar dengan rambut putih panjang awut-awutan bertempur dengan dikeroyok banyak pasukan Karaeng Bonto Langkasa.

Ia tertawa-tawa melayani keroyokan itu seolah hanya sedang berlatih. Setiap kali ia bergerak, maka barisan pengeroyok banyak terpelanting. Telah banyak yang bergeletak di sekitar tempat itu. Sementara si orang tua aneh itu jangan kata kulit, pakaiannya yang berwarna hitam dengan lilitan kain merah di pinggangnya seolah tak pernah tersentuh.

Padahal hujan tombak, keris maupun batu-batu atau apa saja yang bisa dijadikan senjata datang bertubi-tubi ke arahnya. La Banna melihat sekeliling, pasukan musuh telah mendesak dari sisi kiri belakang. Perang kota di malam yang remang itu sungguh kacau balau. Susah menentukan mana kawan mana lawan kecuali pasukan-pasukan yang berseragam.

Menurut hitungannya, sebentar lagi jika pasukan yang baru muncul ini tidak diatasi pihaknya akan terpukul mundur, tapi tak ada waktu untuk berpikir. Ia kembali memperhatikan dengan seksama orang tua berilmu tinggi yang terus menerima serangan orang-orang dengan tertawa-tawa.

Semua tombak atau kayu panjang yang dililitkan keris di ujungnya tak mempan di tubuhnya. Ia bahkan mampu membuat penyerangnya jatuh dari jarak jauh.

La Banna bergidik, menurut gurunya Tunreng Talaga Petta Labuaja, hanya satu tokoh Makassar yang punya ilmu sehebat ini, yakni I Banranga Daeng Galassing dari Bawakaraeng. Tanpa berpikir panjang, La Banna To Assa melompat masuk arena dan segera mengirimkan salah satu pukulan lemmung jiwa terampuh yang dimilikinya.

CERITA SEBELUMNYA :

Mendengar datangnya angin serangan, orang tua raksasa itu memapakinya dengan dorongan kedua tangannya. Akibatnya sungguh luar biasa. Terdengar bunyi berdebug keras benturan dua tenaga besar. Orang tua sakti itu terpukul mundur beberapa langkah ke belakang tapi La Banna terpelanting dan bergulingan ke arah samping.

La Banna kaget luar biasa, jelas ia kalah tenaga. Dadanya seperti ditindih berkarung pasir, sesak dan terasa sulit bernapas. Ia menarik napas dalam dan menghembuskannya ke udara. Sempoyongan ia berdiri dan kembali mengirimkan pukulan-pukulan pilihan ke arah musuh.

Perkelahian seru terjadi. La Banna selama ini jarang bertemu musuh di atas tingkatannya. Maka sangatlah membuatnya penasaran saat menemukan fakta betapa orang tua yang diperkirakannya sudah delapan puluh tahun lebih ini  melayaninya tanpa kesulitan sama sekali.

Berkali-kali La Banna menerima tamparan atau pukulan yang membuatnya terpelanting atau bergulingan. Hanya karena ia memiliki tameng gelang di kedua lengan dan perisai di dada yang membuatnya belum terluka parah. Namun di beberapa bagian tubuh, persendian dan terutama dadanya sudah terasa sesak dan sakit.

Ketika kembali ia terpukul dan terlempar, ia dengan nekad  mengeluarkan pukulan pamungkas yang dipelajarinya dari Tunreng Talaga Petta Labuaja. Diawali dengan membenturkan kedua lengannya yang bergelang baja, “Sriiingng….!” Terdengar bunyi yang nyaring.

CERITA SEBELUMNYA :

Bunga api muncrat dari lengan yang dipukulkan itu menerangi tempat yang hanya diterangi cahaya obor. Lalu dengan kuda-kuda merendah, secepat kilat La Banna menyerang dahsyat ke arah musuhnya.

“Hiyaaaatttt…!” pukulan petir itu memang sungguh tidak bisa dibuat main-main. Tempat itu seolah diserang angin panas berputara yang menerbangkan debu, daun-daun dan batu-batu kecil.

Lawannya, yang tak lain adalah mahaguru Bawakaraeng I Banranga, tertegun tapi segera merendahkan tubuh sedikit lalu menerima serangan itu dengan dorongan dua kepalan.

“Duaarrrrr….” Benturan pukulan itu berakibat luar biasa. La Banna kembali terpelanting dan bergulingan jauh tapi I Banranga juga terseret beberapa tindak ke belakang. La Banna setengah pingsan, penghilatannya berkunang dan memuntahkan darah segar.

“Ada hubungan apa engkau dengan Tunreng Talaga? Jawab sebelum aku mencabut nyawamu!” I Banranga terbelalak dengan pukulan api barusan. Ia sangat paham hanya satu manusia yang memiiki pukulan tangan kosong sepanas petir itu.

La Banna tak menjawab. Ia hanya memandang tajam ke arah I Banranga. Ia makin hampir kehilangan kesadaran. Benturan tenaga barusan mengguncang isi dadanya. Ia terluka cukup parah. Keadaan amat genting baginya. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com) 

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 2 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!