Jatam Minta Polda Berani Bertindak, Ratusan Nelayan Terdampak Tumpahan Batu Bara 

0 98

DETAKKaltim.Com, BALIKPAPAN : Nelayan alat tangkap Dogol di Balikpapan mengaku merugi lantaran hasil produksi tangkapan mereka berganti dari hasil laut menjadi Batu bara.

Batu bara yang mengendap di dasar laut dan terangkat oleh Dogol nelayan itu diduga kuat berasal dari aktifitas bongkar muat milik dua perusahaan penyalur Batu bara yang tumpah ke perairan Teluk Balikpapan. Kejadian ini, menurut penuturan nelayan sudah berlangsung sejak lama.

Ketua Kelompok KUB Tunas Nelayan Sakkirang mengatakan, puncak tangkapan Batu bara oleh nelayan meningkat drastis terjadi sejak awal 2018.

“Sebelumnya memang sudah lama terjadi. Tapi sejak awal tahun ini, sejak konsentrasi bongkar muat Batu bara bertambah, areal tangkapan kami berkurang dan bukan ikan atau udang yang kami dapat justru bongkahan Batu bara,” jelasnya saat ditemui di Dermaga TPI Manggar, Selasa (8/5/2018) malam.

Menurut nelayan sekitar, jumlah Batu bara yang diangkat meningkat dipicu pergantian kapal yang mengharuskan aktifitas bongkar muat lebih dari satu titik. Dalam sekali waktu, aktifitas bongkar muat di sana berlangsung lebih dari sekali dalam sehari.

Selaras akan hal tersebut, disebutkan umumnya nelayan tangkap hasil laut dasar laut kerap mengangkat 30-50 kilogram bongkahan emas hitam tersebut dalam sekali melaut. Batu bara yang didapat ada yang disimpan, dan juga yang langsung dilepas dari jaring.

“Tak jarang jaring kita juga tak bisa terangkat atau robek karena bongkahan ini [batu bara],” imbuhnya.

Nelayan Dogol umumnya menangkap hasil laut menggunakan jaring besar dan panjang yang dioperasikan secara vertikal lengkap dengan pelampung di sisi atas, dan pemberat di sisi bawah. Mereka beroperasi secara soliter atau perorangan.

Dalam sekali melaut, mereka biasa mengangkat 25 kilogram hasil laut berupa Udang Tiger, Udang Bintik, Kepiting Ranjungan, Cumi-Cumi, dan ikan dari dasar laut.

Umumnya mereka dapat mengantongi pendapatan normal berkisar Rp500- 1 Juta dalam sekali melaut. Adapun biaya kebutuhan solar dalam sekali melaut berkisar Rp250-300 Ribu.

“Jika kami harus keluar dari lokasi tangkapan biasanya, tentu akan menambah ongkos solar kita, pendapatan kami sudah berkurang karena batu bara ini,” jelas dia lagi.

Sakkirang dan para nelayan lain biasa beroperasi di lokasi tangkapan  sekitar 4-6 mil laut di luar daratan, di kawasan Manggar dan Sepinggan.

Salamat, Kepala KUB Bahtera Manggar menambahkan, di areal TPI Manggar terdapat total 12 KUB untuk nelayan alat tangkap ikan Dogol yang terdampak tumpahan Batu bara. Masing masing KUB disebutkan memiliki sebanyak 10-20 anggota dengan sekitar 200 kapal.

Mereka sering melaporkan jika melihat crane berkapasitas angkut 5 ton kerap menumpahkan Batu bara ke laut dalam proses bongkar muat. Tidak ada pengawasan dan penanganan yang dilakukan atas tumpahan Batu bara ke perairan selama ini.

Selain Batu bara, kata Salamat, nelayan juga mengaku mengalami kesulitan dalam hal pasokan solar, dan daya beli ikan mereka oleh masyarakat yang menurun sejak insiden tumpahan minyak.

Sebelumnya Dinas Pertanian, Kelautan, dan Perikanan (DPKP) Balikpapan memastikan sebanyak 336 nelayan merugi karena kasus tumpahan minyak mentah milik Pertamina di perairan Teluk Balikpapan, akhir Maret (31/4/2018).

“Adanya tumpahan batu bara kami akan cek dulu,” jelas Kepala DPKP Balikpapan Yoesmianto saat dihubungi pagi tadi.

Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Manggar Balikpapan melaporkan, beberapa kelompok atau nelayan memang kerap datang melapor karena merugi akibat sisa Batu bara ini.

“Meruginya karena nelayan terpaksa memotong jaring mereka karena banyak yang terkena Batu bara ini,” jelas Kepala TPI Manggar Hery Seputro.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur akan turun langsung melakukan pengecekan atas temuan ini.

“Berkaca dari kasus-kasus yang ada, tumpahan Batu bara mengakibatkan dampak terhadap air permukaan berujung matinya ikan-ikan di perairan,” ujar Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang dihubungi via seluler.

Dia menyebut Batu bara yang mengandung pirit (besi sulfide) ketika berinteraksi dengan air akan menghasilkan asam sulfat yang tinggi.

“Tumbuhan dan biota air sangat sensitif terhadap perubahan pH yang drastis,” ujarnya.

Itupun, kata dia, logam berat lain yang ikut terlarut ke dalam perairan dan berujung pada penurunan kualitas ikan membuat ikan berbahaya jika dikonsumsi oleh masyarakat.

Jatam meminta, jika pemerintah menemukan adanya kelalaian dan kecerobohan dalam manajemen pengelolaan di terminal Batu bara tersebut, Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS LH dan Polda Kaltim berani bertindak tegas.

“Mereka harus turun memeriksa pengaduan masyarakat ini. Jangan sampai kasus pencemaran demi pencemaran terlewat begitu saja, seperti tumpahan minyak yang akhirnya masyarakat Balikpapan dan PPU harus menanggung deritanya,” jelas dia.

Sebelumnya diketahui, Balikpapan merupakan satu satunya kota yang bebas dari aktifitas galian tambang Batu bara mengacu Peraturan Wali Kota Nomor 12/2013 tentang Penetapan Kota Balikpapan sebagai Kawasan Bebas Tambang Batu Bara. (rsk)

(Visited 18 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!