Soal Dasa Cita Paslon Rusmadi-Safaruddin, Ini Kata Pakar

0 51

DETAKKaltim.Com, SAMARINDA: Gagasan Dasa Cita yang dilontarkan Paslon Gubernur Rusmadi-Safaruddin mengundang komentar para pakar. Ada yang kritis menanggapi, ada yang terkesima, ada yang skeptis. Namun lebih banyak yang terhenyak. Ternyata masih ada putra Kaltim yang sebegitu detailnya merancang konsep pembangunan Kaltim hingga 25 tahun ke depan.

Sejumlah persoalan berat menanti, ketika pemilihan Gubernur Kaltim usai. Essay tentang kota kumuh yang tak pernah berhenti dibahas banyak orang, satu di antaranya adalah penanganan banjir di dua kota besar Kalimantan Timur. Samarinda dan Balikpapan. Program ini salah satu yang dicanangkan Rusmadi-Safaruddin dengan tagline “Kaltim Tanpa banjir”.

Andreas Agung, S.Psi.,MA. (foto:4TM)

“Saya kira karakteristik dua kota ini berbeda. Balikpapan yang memiliki elevasi lebih rendah jika dibandingkan dengan Samarinda, sudah barang tentu berbeda pola cara penangannya,” kata Andreas Agung, salah seorang pakar dan peneliti psikologi sosial di Samarinda, Jum’at (6/4/2018).

Selain Kaltim Tanpa banjir, dalam Dasacita yang dicanangkan Rusmadi-Safaruddin adalah Kaltim Aman, Kaltim Relijius dan Kaltim Cerdas lewat beasiswa. Hal yang sangat dinanti oleh pemburu  beasiswa Kaltim Cemerlang yang nyaris putus asa menunggu kejelasan biaya studi lanjutannya.

Kemudian ada lagi Kaltim Sehat dengan 10 Rumah Sakit kelas pratama di 10 daerah tingkat dua. Bahkan Puskesmas rawat inap akan ditambah. Termasuk juga menanggung iuran BPJS warga tidak mampu. Lalu, Kaltim Membangun Desa, Kaltim Swasembada Pangan, Kaltim Kreatif, Kaltim Mulus dan Kaltim Lestari, sebuah program ayang akan membawa Kalimantan Timur ke arah hijau dan bersahabat dengan lingkungan.

Dalam konsep psikologi sosial, misalnya, kata Andreas, penanganan masalah banjir di Balikpapan dan Samarinda berbeda. Samarinda yang memulai peradaban dari tepi sungai atau yang dikenal dengan Kota Tepi Air Sungai (KTAS) memiliki karakter homogen dan etnosentris.

“Penanganannya harus menyertakan filosofi sungai, filosofi peradaban air. Penanganan masyarakatnya harus menyertakan analisis budaya sungai, budaya perairan,” tegas Andreas.

Pekerja minyak Belanda di Balikpapan saat itu tidak kekurangan air. Pasokan air bersih seluruhnya diperoleh dari Sungai Wain.

”Waktu itu jumlah mereka tidak sampai 50 ribu jiwa. Masih cukup sumber air baku. Namun Belanda  membangun drainase kota yang sudah mengantisipasi kemungkinan banjir dan penurunan tanah. Bahkan abrasi pantai, sehingga konsep bangunan di pesisir seperti di jalan Dahor dibuat rumah panggung,” kata Andreas.

Sementara elevasi Kota Samarinda berbeda dengan Balikpapan. Jejak drainase yang dibangun Belandapun sudah mengantisipasi kemungkinan luapan air Sungai Mahakam dan kemungkinan sedimentasi akibat perubahan status lahan.

“Di Selili, masih ada jejak peninggalan jaringan drainase kota,” tambah Andreas.

Menurut dia, wajah Kalimantan Timur ada di Balikpapan yang saat ini masih sebagai main gate sebelum bandara di Samarinda berfungsi dan Samarinda sendiri sebagai ibukota provinsi.

Celakanya di Balikpapan masih ada persoalan laten, sumber air baku PDAM yang masih mengharap curah hujan dan Samarinda yang masih punya pasar kumuh dan membiarkan pedagang tradisionil mencari  rejeki di tempat  yang kurang layak. Apalagi pola penanganan luapan air di Samarinda belum terintegrasi. Pasar makin kumuh akibat genangan air saat banjir.

Balikpapan yang melatarbelakangi pembentukan kota dan masyarakatnya adalah budaya kolonial Belanda.

“Balikpapan tumbuh dari kawasan terbatas yang dipengaruhi budaya Eropa pekerja minyak. Itu sebabnya Balikpapan lebih tertata. Sepertiga kawasan Balikpapan adalah konsesi BPM. Berbeda sikap dan budaya yang ditularkan ke masyarakat Balikpapan,” ujar Andreas Agung.

Menurut Andreas, 48 titik banjir yang ada di Samarinda belum sepenuhnya dapat ditangani, karena fokus penanganannya mengandalkan keilmuan teknik sipil. Padahal yang paling penting adalah rekayasa sosial, penataan masyarakat yang paling penting untuk menumbuhkan kesadaran berbasis kearifan budaya perairan.

“Saya kira pasangan Rusmadi-Safaruddin akan akomodatif dan mendengarkan masyarakatnya,” tandasnya. (LVL)

(Visited 7 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!