SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 80

MEREKA larut dalam pelukan dini hari saat cuaca ganas tiba-tiba menghentak mereka dalam lelap. Langit berubah sangat gelap berselimutkan mendung pekat tanpa bintang. Lalu hujan turun seperti tertumpah dari langit. Kilat menyambar laksana lidah maut yang terjulur membelah gulita malam. Badai besar telah datang..!

Seisi kapal terguncang keras dengan dahsyat. Pada detik berikutnya, seluruh penghuni kapal tersentak bangun dalam keadaan panik dan terhempas sana sini.

“Turunkan semua layar utama!!” Terdengar suara keras La Banna.

Dia mengambil alih kemudi. Tapi semua serba gugup dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Ini badai terbesar yang mereka lalui. Salah seorang awak kapal dengan sigap memanjat tiang layar. Melepas tali besar dari sana. Sebagian lagi jatuh bangun menarik gulungan layar.

Beberapa sudut kapal telah kemasukan air. Semua dalam suasana kacau. Beberapa awak malah muntah-muntah, mabuk laut. Tapi mereka tetap melakukan apa saja yang bisa dilakukan. Menggulung layar, mengikat perbekalan ataupun mengamankan barang-barang dari siraman hujan dan air laut yang menerobos masuk.

Kapal kini tanpa layar besar. Terombang-ambing dalam guncangan gelombang yang makin ganas. Badai timur selatan membawa kapal itu menjauh dari arah daratan menuju tengah laut ke utara. La Banna menahan kemudi dengan kuat. Mengupayakan kapal tidak terbalik. Seisi kapal dalam hiruk pikuk.

BERITA TERKAIT :

Berjam-jam mereka dalam kecamuk badai. La Maddukkelleng dan La Banna bertiga di ruang kemudi dengan nahkoda kapal yang mereka bawa dari Peneki. Nahkoda ini sebenarnya andalan Pinisi Peneki yang diperintahkan oleh Ibunda La Maddukkelleng untuk mengiringi perantauan anaknya.

Namanya Baco Takke. Tapi badai ini sungguh besar. La Banna sebagai anak mandar yang lebih berpengalaman memegang kemudi dalam gelap yang pekat. Sementara yang lain mengamankan muatan, sebagian lagi sibuk menimba air laut yang kini mulai memenuhi bawah kapal di bagian palka. Satu dua mabuk berat mengikat diri di tiang-tiang kapal agar tak terseret ke laut.

“Kita sedang di mana ini?!” La Maddukkelleng bertanya dengan suara tenang namun keras dalam hempasan tubuh kapal yang berderik-derik.

“Malam tadi kita telah jauh meninggalkan perairan Majene, Pueng. Perkiraan saya sekarang kita hanyut ke arah barat utara. Bintang-bintang belum terlihat, ini musim badai besar, tapi kita akan melaluinya. Biasanya akan reda di pagi hari. Mudah-mudahan kita tak terlalu jauh meleset dari rute pelayaran..” La Banna menjawab dengan suara mantap. Terdengar mengalahkan suara debur ombak yang menghempas kapal dari sisi kanan belakang.

Di ruang kemudi mereka sebenarnya hanya berpasrah pada takdir arah angin yang masih ribut di luar. Kemudi di tangan La Banna pun bergerak mengikuti naluri. Ia hanya berusaha menunggangi gelombang yang setinggi rumah. Mencegah sekuat mungkin kapal tidak terbalik. Lengannya yang berkeringat basah memantulkan cahaya api petir dari otot-otot dan uratnya yang menyembul.

Suasana di luar masih berkecamuk. Halilintar menyambar-nyambar dari langit arah belakang. Itu pertanda baik, artinya mereka bergerak menjauh dari badai. Perahu besar itu terombang ambing dan terseret arus. Hampir pagi baru agak reda namun La Banna masih membiarkan kapal hanyut pelan mengikuti nalurinya.

Kapal itu seperti kita ketahui memiliki ruang dayung yang memungkinkan digerakkan tanpa layar, tapi di saat badai berkecamuk seperti ini agak sulit difungsikan. Layar utama kembali dipasang saat cahaya hari mulai memasuki ruang kemudi. Laut telah berangsur tenang. Kehidupan laut kembali menampakkan wajahnya yang ramah. Namun tiba-tiba seorang awak kapal berteriak di arah pintu.

“Kita diserang perompak, Pueng. Mereka masuk lewat buritan. Cambang Balolo dan lainnya sudah bertempur di ruang palka..!”

Tidak menunggu komando, La Maddukkelleng dan La Banna sudah melesat keluar menuju ruang bawah lewat tangga di sisi kanan geladak. Baco Takke mengambil alih kemudi. Ombak makin tenang dan keadaan sudah semakin terang ketika mereka sampai di ruang palka yang kini menjadi arena perkelahian.

Belum jelas ada berapa orang penyerang. Beberapa mayat sudah tergeletak. Cambang Balolo terlihat sedang bertempur seru dengan satu orang perompak tinggi besar. Dia mulai terdesak ke tangga sebelah kiri. Melihat ini La Banna segera merangsek masuk arena. Menyerbu ke arah penyerang Cambang Balolo.

Satu cengkeraman diarahkan ke leher belakang tapi dengan mudah dielakkan oleh perompak itu. Cambang Balolo mundur beberapa tindak dan segera beralih ke pertempuran lain. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 1 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!