SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 104

FAKTA bahwa begitu banyak tokoh-tokoh Makassar dan sekutu utamanya merantau meninggalkan sulawesi, menggambarkan kekuatan Belanda dan beberapa koalisinya seperti Bone, Buton dan lain-lain sangatlah kuat saat itu. Monopoli politik dan perdagangan VOC sebagai buah kemenangan Belanda membuat ekonomi negeri anjlok.

Kedaulatan telah hilang di Bugis Makassar. Kecuali Bone, semua kerajaan-kerajaan telah menjadi sapi perahan. Siri na pacce telah terenggut bersamaan kekalahan perang di Makassar. Menemukan kenyataan ini, gemuruh dan tekad di dada La Maddukkelleng untuk membebaskan Wajo dan Gowa dari keterjajahan orang asing makin menyala. Dia lalu berkata dengan keras untuk mengatasi suara debur gelombang yang menghempas kapal dari arah samping kanan.

“Perjalanan kita hari ini adalah satu langkah awal untuk perjuangan yang panjang. Apa yang kita lakukan ini bukanlah semata pelarian dari kejaran orang Bone. Sesuai apa yang disampaikan gurunda Petta Labuaja, ini adalah garisan takdir untuk sebuah misi yang besar. Sompereng ini bernilai perjuangan masa depan. Kita harus membangun kekuatan dengan cara apa pun. Kita perlu mengumpulkan armada yang besar dan merekrut banyak tenaga. Saya tahu di negeri-negeri rantauan banyak kesatria-kesatria Wajo, Makasaar dan Mandar yang tersebar. Tidak mudah memang, tapi saya yakin dengan kalian bertiga di samping saya, dan kawan-kawan yang lain, semua tantangan akan kita taklukkan.”

“Iyye, pueng..!” Hampir serempak tiga pengawal utama itu menyahut. Juga dengan suara yang lebih keras. Kalimat pendek “iyye” adalah sebuah suara kepatuhan, sami’na wa atho’na, dan kesiapan untuk mempertaruhkan semua demi mengikuti titah junjungan.

“Mulai kini, seluruh urusan kapal dan laut saya serahkan kepada La Banna. Urusan daratan saya bebankan ke Ambo Pabbola, urusan perbekalan dan mata-mata telik sandi informasi saya tunjuk Cambang Balolo!”

“Iyye pueng..!” Serentak mereka menjawab lagi.

BERITA TERKAIT : 

Malam itu mereka tidur dalam ayunan gelombang selat Makassar yang gemulai. Telah lebih satu bulan mereka dalam pelayaran sejak Peneki sampai melampaui Majene, termasuk beberapa hari di Tanjung Bira. Selama ini mereka telah terbiasa dengan hempasan gelombang besar maupun berbagai cuaca yang silih berganti. Panas, dingin, tenang mau pun gelora laut yang terus berkecamuk.

Dua malam berikut setelahnya mereka dalam pelayaran yang tenang. Tak ada hal luar biasa. Angin timur terus berhembus dalam ritme sedang. Seorang awak kapal yang pandai memetik kecapi dan suling, La Sangkawenni, sering menjadi hiburan tatkala malam-malam yang tenang di tengah debur ombak melantunkan syair-syair lagu passompe’. Seperti malam itu, dari arah haluan, ia memetik kecapi disertai suara nyanyian yang nyaring melampaui suara hempasan gelombang di sisi-sisi kapal.

Pitte’ cina kuala ranreng lopi

Jarung sipeppa kuala balango

 

Nakua usompe’ mua

Sompereng kuala paddaga-daga

Tasi’ kuala lino pottanang

Mantaji lolangeng ri masagenae

Nalawa mua salareng riwu

 

Nakuginciri’ lopikku

Kuala mui tellengnge natowalie

 

Dua sompe kupattinja

Dua guling kupattejjo

 

Dua balango kupangatta

Makkarewangeng maneng

 

Dengan seutas benang sutera sebagai tali perahuku

Dengan jarum sebatang jangkarku

Aku berlayar,

 

Merantau adalah napas hidupku

Laut kujadikan daratan luasku

Dalam pengembaraan tanpa batas

Meski dihadang topan badai

 

Kemudi tetap kuputar

Lebih kupilih karam dari pada surut pulang

 

Dua layar kusiapkan

Dua kemudi kutancapkan

Dua jangkar kuteguhkan

Semua adalah saudaraku

 

Syair yang diiringi kecapi itu menghimpun semua imajinasi yang mampu ditangkap oleh seluruh penghuni kapal. Beberapa dari mereka menjadikannya sebagai penyangga relung hati untuk terus menyalakan api semangat. Sebagian lagi menangkapnya sebagai pesan leluhur sompereng yang harus ditancapkan di kepala sebagai prinsip anak-anak rantau.

La Maddukkelleng dan elit Pinisi Peneki yang saat itu di ruang kemudi yang cukup luas terlihat tersenyum mendengar syair lagu La Sangkawenni. Beberapa kali seniman Peneki itu kerap bersyair atau bernyanyi. Ia menjadi penghibur semua orang. Kadang La Maddukkelleng sendiri yang memintanya memetik kecapi untuk  bersama-sama disimak oleh penghuni kapal.

Syair-syair kecapi seringkali berisi cerita-cerita yang biasa dilantunkan Bissu istana setiap ada hajatan. Ada pesan leluhur, kisah La Galigo, atau syair-syair lain sebagai pengantar tidur. Begitulah, semua berjalan apa adanya sampai tengah malam melewati perairan Majene dan tertidur dalam ayunan angin selat. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 11 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!