SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 50

DALAM perjalanan berminggu-minggu, Aji Imbut tiba di lereng gunung yang menjulang tinggi di antara gunung-gunung yang ada di kawasan pegununan itu. Puncaknya dipenuhi kabut putih. Beberapa lereng dan lembahnya berwarna hijau dipenuhi lumut-lumut yang mengkilap. Terlihat sangat indah dari kejauhan. Ia lalu melepas tali kudanya dan dibiarkan merumput sendiri di tempat itu.

Sesuai penuturan kakeknya, inilah Tompo Balease. Aji Imbut memandang ke puncak dan membayangkan kakeknya puluhan tahun lalu pernah mendakinya dalam semangat pencarian ilmu. Kakeknya bercerita bahwa ia ditemani Bissu Tungke’ gurunya mendaki puncak ini dan beruntung bertemu dengan Karame’E Tompo Balease, manusia manrapi yang kemudian menurunkan beberapa penyempurna bagi ilmu-ilmunya.

Ia kini mengulang apa yang pernah dilakukan kakeknya, yang dalam penilaiannya adalah manusia paling sakti yang pernah dikenalnya. Ia dengan sangat cepat mulai mendaki ke arah puncak.

“Tabe, ijin Pueng. Saya Aji Imbut, cucu La Maddukkelleng hendak menghatur sembah dan menghadap membawa pesan. Mohon diperkenankan untuk menghadap..” Suaranya terpantul oleh keheningan.

Tak ada suara selain bunyi serangga hutan yang ribut bersahutan dalam ritme orkestra aneh, bagai suara dari rahasia kesunyian. Ia lalu mengulang salamnya dan memohon untuk bertemu. Tapi tetap tak ada suara. Ia lama termangu sebelum memutuskan untuk meneruskan pendakian.

CERITA SEBELUMNYA :

Aji Imbut mendaki hingga ke sebuah pintu batu yang menurut petunjuk kakeknya hanya bisa dibuka dengan dorongan tenaga lemmung yang besar. Ia lalu menarik napas dan dengan hentakan ia mendorong pintu batu seukuran lebih kurang lima kali kerbau yang menutupi lorong akses ke puncak.

Terdengar bunyi berderak namun batu itu tidak bergerak banyak. Ia mencoba kedua kalinya namun tetap tidak bergeser. Pada kali ke sekian, Aji Imbut mengerahkan seluruh tenaga lemmung yang dimilikinya, rongga dadanya dipenuhi hawa panas yang berputar, wajahnya memerah, matanya mencorong, lalu dengan teriakan keras ia mendorong batu, terdengar suara berderik berat.. “Kkrraaakkk…”

Akhirnya batu bergeser memberi ruang cukup untuk satu tubuh. Aji Imbut secepatnya menyelinap masuk. Begitu lolos, batu kembali menutup dengan keras. Di depannya kini terlihat anak tangga batu yang tegak panjang ke atas menuju tempat tertinggi gunung.

Itulah Tompo Balease, yang konon memiliki dua sumur di atasnya. Ia segera mendaki anak tangga yang tegak tinggi seolah jalan menuju langit. Sebenarnya, ada akses lain melewati tebing, tapi itu hanya bisa dilakukan di musim kemarau oleh mereka yang berkepandaian tinggi. Saat musim hujan seperti ini, keseluruhan tebing sangat licin oleh lumut yang bertumbuhan memenuhi permukaan batu.

Sesampai di puncak, ia bertemu suasana yang sangat hening dan sunyi. Aji Imbut kembali menjura sebelum memasuki ruang terbuka luas. Lengang yang mistis terasa menyelimuti puncak yang berhawa dingin menusuk. Ia memandang sekeliling. Matanya berhenti pada dua kolam yang diceritakan kakeknya sebagai kolam ajaib.

Ia mendekat pada sumur yang diselimuti halimun mirip tungku besar yang terus mengeluarkan uap mengepul, menggumpal-gumpal ke atas, meliuk pelan seolah dupa peraduan abadi. Ia tahu, itulah sumur ajaib yang tak semua orang pernah menjangkaunya. Aji Imbut berjalan mendekat namun kembali menjura lalu berkata,

“Ijinkan hamba mendekat sekadar menelusuri jejak kaki yang dipesankan kakekda La Maddukkelleng..”

Ia berjalan ke sumur sebelah kiri yang berdekatan dengan tepi jurang yang sangat curam. Ada beberapa pohon raksasa dengan akar melingkar-lingkar di sisi tebing. Saat makin dekat, terasa hawa dingin makin menusuk. Ia menjulurkan tangan di atas sumur, dingin luar biasa seolah menyedot pori-porinya. Lalu ia mudur dan berjalan ke sumur sebelah kanan yang letaknya agak jauh menghadap ke barat.

Sebelum sampai ke sumur, dari atas puncak, di sela-sela awan yang menutup pemandangan, terlihat nun jauh Teluk Bone bagai kain selendang biru yang dihamparkan di atas permadani, memanjang di kejauhan tak berbatas.

Sesampai di tepi kolam, hawa panas menerpa wajahnya. Sungguh berbeda dengan kolam yang satu, uap yang keluar dari dalamnya terasa sangat panas saat ia mencoba melongok ke dalamnya. Ada suara gemuruh dari kedalaman sumur. Ia mengangkat wajah dan mengitari sekeliling dengan pandangan mata.

Di sana, di tengah tanah datar yang luas terdapat gundukan yang agak tinggi. Di atasnya sebuah batu sebesar kerbau ditancapkan. Tak salah, itu adalah sebuah kuburan dengan nisan yang besar. Dengan penasaran tinggi, Aji Imbut melompat jauh ke dekat gundukan tanah dan membaca tulisan dalam aksara Bugis dengan hati-hati.

“Di sini dikuburkan

Karame’E Tompo Balease

oleh murid terakhirnya, La Massagala.

Kutuliskan dengan ujung telunjukku sebagai syarat

diperbolehkannya kumeninggalkan puncak ini.” 

 (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com) 

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 1 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!