SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 58

DI saat yang sangat genting itu, tiba-tiba dari arah barat, terdengar sorak sorai ribuan pasukan dari Wajo datang membantu. Keadaan berbalik. Pasukan Bone yang sebentar lagi akan memperoleh kemenangan itu kaget dan terbalik terdesak. Pamimpin pasukan Wajo adalah Cambang Balolo, mantan salah satu panglima La Maddukkelleng.

Datang dengan persenjataan cukup lengkap dan tenaga yang lebih segar. Suara letusan bedil dan meriam terdengar laksana pengulangan perang Tosora. Semakin banyak korban yang jatuh dan dalam waktu dekat pasukan Bone mundur ke arah perbatasan. Pasukan Wajo terus mengejar sampai pasukan mereka mundur jauh melewati perbatasan.

Tak lama setelah kejadian itu, atas prakarsa Arung Matoa Wajo, perundingan dilakukan dengan melibatkan Tellumpoccoe membahas persoalan Peneki. Diperoleh kesimpulan oleh sidang Tellumpoccoe bahwa La Maddukkelleng Arung Peneki telah banyak melanggar aturan adat. Termasuk tindakan pencurian kuda milik raja Bone yang didakwakan kepada anaknya To Sibengngareng.

Melalui kesepakatan Tellumpoccoe (Bone, soppeng dan Wajo), diputuskan untuk membawa La Maddukkelleng ke mahkamah peradilan bersama.  Mendengar keputusan Tellumpoccoe itu, La Maddukkelleng hanya bersedia hadir satu kali. Itu pun sekadar untuk menyampaikan kalimat pendek bahwa dirinya adalah bekas Arung Matowa dan kini telah menjadi raja Peneki yang memiliki kewajiban untuk mempertahankan kedaulatan negeri meski harus mati berkalang tanah.

CERITA SEBELUMNYA :

Tak ada yang boleh mengusik harga diri seorang La Maddukkelleng atau perang akan terus dikobarkan. Kewibawaan mantan Arung Matoa Wajo, Arung Peneki dan Sultan Paser ini masih sangat lekat dan membuat gentar hati hakim-hakim Tellumpoccoe. Tak ada yang menahannya ketika ia meninggalkan sidang dengan alasan sedang tidak enak badan.

Sesampai di Peneki, ia memanggil putera-puteranya khususnya To Sibengngareng, To Rawe dan To Siangka.

“Anak-anakku semua, khususnya engkau Sibengngareng, keadaan Peneki sedang tidak aman bagi kalian. Sompe’lah (merantaulah) kalian ke tanah Borneo untuk sementara waktu. Kalian keturunan Sultan Paser. Ibumu adalah Ratu Paser, kalau memungkinkan, kalian ke sanalah. Sepertinya Bone takkan berhenti mendesak Tellumpoccoe sebelum kalian diseret ke pengadilan di bawah kekuasaan mereka sendiri. Kalian telah cukup bekal. Rajinlah berlatih silat dan lemmung dalam tubuh. Jangan perturutkan syahwat kalian. Berpegang teguh pada kejujuran dan keberanian. Pergilah kalian secepatnya.”

To Sibengngareng dan dua adiknya memanggut patuh.

“Iyye Puengku, kalau itu menjadi petunjuk, segera kami berangkat kapan pun itu diperintahkan dan pesan akan kami pegang teguh di negeri rantau. Mohon kami didoakan selalu.” La Maddukkelleng memanggut seraya menambahi,

“Seperti dalam tradisi sompereng yang pernah saya jalani, ingat filosofi tiga ujung. Kalian jaga dengan baik tiga hal yang ada dalam diri kalian itu. Setelah keadaan memungkinkan, akan datang penanda baik dalam hidup kalian. Jadilah sumber kebaikan. Peliharalah lempu-mu (kejujuranmu), acca-mu (kecerdasanmu) dan juga awaraningeng-mu (keberanianmu). Berpegang teguhlah pada kebenaran.”

Besoknya, To Sibengngareng beserta tiga saudaranya bertolak dari Peneki. Ia membawa sebuah kapal layar cukup besar beserta 15 orang pengikut. La Maddukkelleng memandangi mereka dengan hati sedih tapi tak diperlihatkan di raut wajahnya. Sikapnya tetap terlihat sekokoh karang, tiada yang musti disesali dalam hidup ini, jalani takdirmu dan ambillah peran sebagai kesatria laki-laki, seperti itu ia sering menyampaikan petuah.

CERITA SEBELUMNYA :

Ia tahu, sejarah selalu terulang, kini jaman anak-anaknya yang mengarungi takdir masing-masing. Sebenarnya, dari dalam sanubarinya, ia melepas anak-anaknya itu dengan hati sedih, sesuatu yang jarang dirasakannya. Ia merasa takkan lagi bertemu dengan mereka. Usianya kini telah 64 tahun.

Bibirnya bergerak-gerak kecil ketika rombongan anaknya itu membelakangi Peneki. Ia melantunkan doa yang hanya dimengerti olehnya dan Allah Sang Penguasa Jagad. Dan, anak-anak muda penuh semangat itu, saat keluar dari sungai Peneki dan mengembangkan layar menyusuri Teluk Bone, sungguh telah mengulang apa yang pernah dilakukan oleh ayahandanya puluhan tahun silam, saat ia meninggalkan Peneki beserta puluhan pengikutnya menuju tanah rantau.

Ini seperti memutar ulang memori kenangan masa silam, di mana untuk pertama kalinya sejarah dimulai oleh La Maddukkelleng sebagai pelarian terhukum dari hegemoni Bone atas Wajo. Dan kini, anak-anaknya melakukan hal sama, dan dengan alasan yang sama: pelarian politik.(BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com) 

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 2 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!