PENYELESAIAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL DARI PERSPEKTIF UU TPKS

OPINI

0 240
  • Penulis : Fiony Tri Rachma & Putri Azzahra
  • Mahasiswi Universitas Mulawarman
  • Fakultas Hukum

TINDAKAN kekerasan merupakan wujud penindasan dan pelanggaran hak asasi yang dilakukan seseorang kepada orang lain, kelompok tertentu kepada kelompok lain, orang dewasa kepada anak-anak, majikan kepada pembantunya dan laki-laki kepada perempuan.

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu Kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan Pendidikan dengan aman dan optimal.

Menurut Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam Undang-Undang ini.

UU TPKS ini lahir akibat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, yang kian hari kian meningkat. Gagasan ini juga datang  karena  banyaknya  pengaduan  kekerasan seksual  yang  tidak  tertangani  dengan baik  dikarenakan  tidak  adanya  payung  hukum  yang  dapat  memahami  dan  memiliki substansi  yang  tepat  terkait  kekerasan  seksual.

Tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dalam beberapa tahun  terakhir seperti fenomena puncak Gunung Es. Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, hingga saat ini telah tercatat sebanyak 10.973 jumlah kasus kekerasan seksual di Indonesia.

Jauh sebelum disahkannya UU RI Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, aturan terkait kekerasan seksual sudah ada, namun terbilang terbatas. Yang di antaranya :

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
  2. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)
  3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang.
  4. Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Terkait pengaturan tindak pidana kekerasan seksual, UU TPKS mengatur sembilan tindak pidana kekerasan seksual yang sebelumnya bukan tindak pidana atau baru diatur secara parsial, yaitu :

  1. tindak pidana pelecehan seksual nonfisik,
  2. pelecehan seksual fisik,
  3. pemaksaan kontrasepsi,
  4. pemaksaan sterilisasi,
  5. pemaksaan perkawinan,
  6. penyiksaan seksual,
  7. eksploitasi seksual,
  8. perbudakan seksual dan
  9. kekerasan seksual berbasis elektronik.

Selain pengaturan sembilan tindak pidana tersebut, UU TPKS mengakui tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam undang-undang lainnya, yang karenanya maka kedepannya hukum acara dan pemenuhan hak korban mengacu pada UU TPKS.

Seperti halnya pada salah satu kasus yang terjadi di Indonesia. Baru-baru ini terjadi di Kota Balikpapan, seorang anak perempuan berumur 13 tahun yang menjadi korban kekerasan seksual oleh ayah kandungnya. Anak tersebut telah menjadi budak nafsu bejat sang ayah kandung selama 2 (dua) tahun.

Selain mendapatkan kekerasan seksual, korban juga kerap mendapatkan kekerasan fisik. Dilansir dari suarakaltim.id mengatakan bahwa seperti yang diberitakan media, sang ayah dan ibu berpisah selama 3,5 tahun. Kemudian anak ini diasuh oleh nenek dan ayahnya, yang mana naasnya anak tersebut mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari ayah kandungnya sendiri.

Hal ini tentu saja membuat sang anak merasa takut dan cemas saat didampingi oleh psikolog, yang memberikan konseling untuk mengetahui mental korban. Yang dimana dalam penyelesaian kasus ini pelaku melanggar Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Sedangkan jika dikenakan UU TPKS yang baru saja berlaku, maka pelaku dapat dikenakan pasal 6 huruf (a) UU RI Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Dengan demikian, urgensi terkait kekerasan seksual di Indonesia sudah sangat beralasan jelas. Mulai dari sudut pandang korban, pelaku, hingga peluang atau yang dalam hal ini adalah keadaan yang tercipta menyudut pada perlunya kesungguhan dalam mengatasi   kasus kekerasan seksual.

Tidak sedikit alasan yang dapat menjadi landasan utama dari pertanyaan terkait mengapa kekerasan seksual ini terus terjadi, salah satunya yang menjadi sorotan adalah keberadaan Peraturan Perundang-Undangan yang mampu mengakomodasi dengan baik.

Hal lainnya, bahwa Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan kekerasan seksual sebelum adanya UU TPKS belum optimal dalam memberikan pencegahan, perlindungan, akses keadilan, dan pemulihann, belum memenuhi kebutuhan hak korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual. (DETAKKaltim.Com)

Editor   : Lukman

(Visited 24 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!