Lahan Terbatas, Kemitraan 20% Perkebunan Sawit Tidak Harus Membangun Kebun

ARTIKEL
  • Penulis: WAHYU FRIYONANDA RIZA
  • MAHASISWA PRODI MAGISTER HUKUM UMKT

TUNTUTAN masyarakat mengenai pembagian 20% lahan untuk Plasma tidak pernah ada habisnya, bahkan puncak dari tuntutan yang tidak direalisasikan ini sering berujung konflik.

Permintaan masyarakat di sekitar area Site Perkebunan perusahaan ini dipicu, lantaran sebelumnya terdapat kebijakan pemerintah yang mendorong Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit melakukan Pembangunan Kebun Sawit Rakyat melalui pola kemitraan dengan penduduk sekitar Site Perusahaan.

Sebelumnya, pada tahun 2007 terdapat Permentan Nomor 26 Tahun 2007 tentang pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Dimana dalam Pasal 11 beleid berbunyi “Perusahaan Perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20%, dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahan”.

Kebijakan ini muncul menyambung dan menyusul berakhirnya program pemerintah, untuk mempercepat Pembangunan Kelapa Sawit Rakyat yang telah ada semenjak 1960 hingga tahun 2005. Yakni program NES 1-VII, PIR Bun, PIR Trans, KKPA dan Revitalisasi Perkebunan.

Padahal program ini telah berakhir, dan harusnya pembangunan kebun bagi masyarakat di sekitar menjadi salah satu solusi, untuk mengatasi ketimpangan kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar area Perkebunan.

Padahal regulasi yang mengatur tentang pemenuhan kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat 20% beberapa tahun terakhir, berubah mengikuti situasi dan perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia.

Misalnya pada tahun 2003 lalu, Kementerian Pertanian menerbitkan Permentan Nomor 98 Tahun 2013 sebagai pengganti dari Permentan Nomor 26 Tahun 2007. Kemudian diperkuat dengan Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai Undang-Undang.

Bahwa dalam Permentan Nomor 98 tahun 2013 terdapat perubahan mendasar frasa, yang semula dalam Permentan Nomor 26 tahun 2007 berbunyi “wajib membangun kebun” berganti menjadi “berkewajiban memfasilitasi Pembangunan kebun”.

Dan untuk kewajiban itu dikenakan bagi Perusahaan Perkebunan yang memiliki perizinan usaha di atas 250 Hektar, sementara bagi perusahaan yang mendapatkan perizinan sebelum 28 Februari 2007 dan telah melakukan pola PIR-BUN, PIR TRANS, PIR KKPA atau Pola Kerjasama Intiplasma lainnya tidak dikenakan kewajiban ini.

Pada tahun 2014 saat terbitnya UU Nomor 39 Tahun 2014, kewajiban Pembangunan Kebun Plasma kembali dimunculkan. Hanya saja dengan nama berbeda yakni Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM), dan dalam Undang-Undang ini merupakan campuran dari norma tercantum dalam Permentan 26 tahun 2007 dengan Permentan Nomor 98 Tahun 2013.

Pada Pasal 58 Ayat 1 UU Nomor 39 tahun 2014 mencatat bahwa, Perusahaan Perkebunan yang memiliki Izin Usaha Perkebunan atau Izin Usaha Perkebunan budidaya wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20%, dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan.

Dalam penjelasan beleid tersebut menyebutkan, bahwa yang dimaksud total luas sesuai dengan Izin Usaha Perkebunan atau Izin Usaha Perkebunan untuk budidaya dan “penjelasan lebih lanjut mengenai norma FPKM masih mengikuti Permentan Nomor 98 Tahun 2013”.

Sementara pada UU Nomor 06 tahun 2023 dan PP Nomor 26 Tahun 2021, mulai terdapat perubahan yang signifikan antara norma dalam UU ini dengan regulasi-regulasi sebelumnya. Yaitu terkait dengaN nasal/sumber lahan yang difasilitasi, yang berasal dari APL di luar HGU dan dari pelepasan Kawasan hutan.

Bahkan dalam aturan ini mulai terdapat frasa bentuk kemitraan lainnya dalam cara fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat. Norma ini berlaku bagi Perusahaan Perkebunan yang mendapatkan perizinan berusaha untuk budidaya yang seluruh, atau Sebagian lahannya berasal dari APL di luar HGU dan atau pelepasan kawasan hutan.

Maka Perusahaan Perkebunan yang lahannya bukan berasal dari APL di luar HGU dan atau pelepasan kawasan hutan, tidak memiliki kewajiban untuk memfasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat.

Pengenaan kewajiban fasilitasi Pembangunan Kebun Rakyat juga tercatat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021, tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian. Pada Pasal 16 beleid tersebut mencatat fasilitasi pembangunan kebun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (1) dapat dilakukan melalui pola kredit, pola bagi hasil, bentuk pendanaan lain yang disepakati para pihak dan atau bentuk kemitraan lainnya.

Kemudian dalam Pasal 7 Permentan Nomor 18 tahun 2021 mencatat bentuk kemitraan lainnya, dilakukan pada kegiatan usaha produktif Perkebunan yang bisa berbentuk sub sistem hulu, sub sistem kegiatan budi daya, sub sistem hilir, sub sistem penunjang, fasilitasi kegiataan peremajaan tanaman Perkebunan masyarakat sekitar dan atau bentuk kegiatan lainnya yang melibatkan masyarakat sekitar.

Terkait dengan FPKM, sesuai Surat Edaran Ditjenbun No. B-347/KB.410/E/7/2023, pelaksanaan FPKM terbagi dalam 3 fase.

Fase 1. Perusahaan Perkebunan yang memiliki perizinan usaha Perkebunan sebelum tanggal 28 februari 2007,

Fase 2. Perusahaan Perkebunan yang memiliki perizinan usaha Perkebunan setelah tanggal 28 februari 2007 sampai dengan 2 November 2020.

Fase 3. Perusahaan Perkebunan yang memiliki perizinan usaha Perkebunan setelah tanggal 2 November 2020.

Dan sesuai dengan kebijakan tersebut, maka untuk perusahaan yang telah malaksanakan pola PIR-BUN, PIR-TRANS, PIR-KKPA atau pola kemitraan Kerjasama Inti Plasma lainnya dianggap telah melakukan FPKM dan tidak dikenakan kembali kewajiban FPKM.

Kemudian untuk perusahaan yang tidak melaksanakan Kemitraan melalui pola PIR-BUN, PIR-TRANS, PIR-KKPA atau pola kemitraan Kerjasama Inti Plasma lainnya. Maka wajib melakukan usaha produktif untuk masyarakat sekitar, berdasarkan kesepakatan antara Perusahaan Perkebunan dengan masyarakat sekitar diketahui oleh Gubernur atau Bupati/Wali Kota sesuai kewenangan.

Sementara untuk Perusahaan Perkebunan yang belum melaksanakan FPKM dapat melaksanakan usaha produktif, dengan mengacu pada Pasal 7 Permentan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat sekitar.

Apabila tidak terdapat lahan untuk dilakukan FPKM sesuai lokasi dalam kewenangan perizinan, maka dilakukan kegiatan untuk usaha produktif sesuai kesepakatan antara Perusahaan Perkebunan dengan masyarakat sekitar, dan diketahui Kepala Dinas Provinsi atau Kabupaten/Kota yang membidangi Perkebunan sesuai kewenangan.

Ketika sulit mendapatkan lahan maka kewajiban FPKM ini mempertimbangkan pula ketersediaan lahan, dan untuk ketidak tersedianya lahan untuk FPKM dibuktikan dengan keterangan dari Kepala Dinas Provinsi atau Kabupaten/Kota yang membidangi Perkebunan sesuai kewenangan.

Pola Kemitraan dalam pengembangan kebun masyarakat di Indonesia terdapat 3 model besar yakni;

        1. Kemitraan Swadaya Mandiri.

Pada pola ini pengelolaan dan pembiayaan kebun dari awal dilaksanakan secara mandiri oleh masyarakat, serta tidak terikat suatu perjanjian tertentu dengan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit.

       2. Kemitraan Model Semi Full Management.

Pada kemitraan ini pengelolaan dan pembiayaan kebun dilaksanakan secara penuh oleh masyarakat, dengan mendapatkan masukan atau input dari perusahaan mitra biasanya berupa bimbingan teknis agronomi, manajemen keuangan, atau bahkan pinjaman dalam bentuk Saprodi atau bibit.

       3. Pola Kemitraan Full Management

Pola ini sering dikenal dengan istilah single manajement. Kegiatan ini berupa pengelolaan kebun sejak awal sampai dengan satu siklus tanaman, yang diberikan kepercayaan dari mitra kepada perusahaan dengan pembiayaan dari perusahaan maupun bank dan diperkuat MOU dan perjanjian kemitraan. P

Pengelolaan Kebun Plasma full management atau single management ini, biasanya pengelolaan Kebun Plasma dilakukan selama satu siklus tanam dan dilakukan oleh perusahaan inti yang meliputi persiapan lahan, land clearing, pembangunan kebun, pengelolaan kebun, pengelolaan hasil kebun, pemasaran hasil kebun dan distribusi pendapatan kepada Koperasi/Kelompok Tani.

Dalam menentukan pola kemitraan maka perlu memperhatikan aspek-aspek penting lainnya seperti aspek hukum, dimana perjanjian kemitraan harus dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini pihak perusahaan sebagai Inti, dan Koperasi/Kelompok Tani sebagai Plasma.

Berdasarkan Pasal 34 Ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2008 Junto Pasal 29 ayat 4 PP Nomor 17 Tahun 2013 menyebutkan, bahwa Perjanjian Kemitraan dituangkan dalam perjanjian tertulis yang memuat ketentuan sekurang-kurangnya memuat ketentuan dan pasal mengenai: kegiatan usaha, hak dan kewajiban masing-masing pihak, bentuk pengembangan, jangka waktu, penyelesaian perselisihan.

Selain itu, aspek penting lainnya seperti aspek manusia dengan melakukan pendataan dan inventarisir untuk mengetahui peserta Plasma. Seperti mengumpulkan KTP/KK, dan kemudian menetapkan calon peserta Plasma oleh Bupati/Instansi Perkebunan yang ditunjuk.

Aspek lainnya adalah manajemen yaitu dengan menetapkan skema Plasma, melakukan MOU kemitraan, pembentukan dan pendampingan kelembagaan pekebun dalam hal ini Kelompok Tani. Bisa dalam bentuk wadah Koperasi Perkebunan, dan ada baiknya agar secara khusus Koperasi dibentuk sebagai Koperasi Perkebunan Sawit.

Tujuannya adalah agar Koperasi dapat fokus dan bertanggung jawab dalam kegiatan kemitraan, kemudian juga para pihak agar dapat memastikan kemitraan dan pengelolaan berjalan  dengan benar sebagaimana perjanjian kemitraan.

Aspek modal juga menjadi hal penting seperti pembiayaan, apakah dari sumber kedua belah pihak/talangan perusahaan/jaminan agunan ke bank. Kemudian juga dalam kemitraan ini harus menerapkan accounting terkait pembangunan Kebun Plasma, khususnya pada Plasma Koperasi atau Kelompok Tani.

Karena dari pihak perusahaan juga pasti memiliki accounting yang sewaktu-waktu dapat membantu dalam melakukan perhitungan pembangunan kebun. Adapun guna dari accounting Plasma ini adalah untuk mengurus perpajakan, menghitung pendapatan kebun/amprah serta manajemen keuangan kelembagaan pekebun.

Kemudian terakhir menyangkut aspek lahan. Untuk lahan ini perlu dilakukan tata ruang Kebun Plasma, berita acara persetujuan/penetapan lokasi Kebun Plasma, penentuan agronomi Kebun Plasma serta sertifikat kebun plasma.

Dalam hal ini, kedua belah pihak. Perusahaan dan Koperasi/Kelompok Tani harus secara berkala untuk dapat men-clear-kan secara legal terhadap lahan yang direalisasikan dalam kemitraan.

Pengawasan dan penegakan hukum pelanggaran perjanjian kemitraan, terdapat lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk pengawasan dan melakukan penegakan hukum terhadap perjanjian kemitraan tersebut.

Fungsi pengawasan tersebut sesuai dengan yang diatur UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Berdasarkan pasal 36 UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, pelaksanaan kemitraan diawasi secara tertib dan teratur oleh lembaga yang dibentuk dan bertugas untuk mengawasi persaingan usaha, sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan.

Bahkan, dalam PP Nomor17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, KPPU memiliki wewenang memberi rekomendasi mencabut izin usaha perusahaan jika dinyatakan melanggar kemitraan.

Hal tersebut dilakukan jika pelaku usaha tidak mematuhi peringatan tertulis sebanyak tiga kali berturut-turut, dalam tenggang waktu yang ditetapkan KPPU dan tetap tidak melakukan perbaikan. Proses dilanjutkan pada acara pemeriksaan lanjutan.

Lembaga pemberi izin wajib menjalankan 30 hari setelah Putusan, dan yang menjadikan KPPU powerfull dalam menangani permasalahan kemitraan adalah bahwa Putusan KPPU atas perkara kemitraan bersifat Final and Binding. Artinya Putusan KPPU tidak dapat dilakukan upaya hukum ke Lembaga Peradilan manapun.

Apabila para pihak merasa ada pelanggaran terhadap Perjanjian Kemitraan, maka dapat melaporkan kepada KPPU. (*/DETAKKaltim.Com)

Editor: Lukman

(Visited 105 times, 1 visits today)
Inti PlasmaPerkebunan Sawit
Comments (0)
Add Comment