SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

LA MADDUKKELLENG sejenak berhenti. Ia menyapu sekeliling ruangan. Ia melihat beberapa perwira kerajaan seksama memperhatikan sambutannya. Juga para pengawal dan pengikut-pengikutnya di deretan kursi sebelah kanannya. Ia menangkap aura kebersamaan berseliwerang memenuhi ruangan terbuka itu. Tumbuh rasa persamaan nasib, persaudaraan dan juga cinta.

Ia mengingat beberapa syair-syair lontara yang kerap dibacanya di ruang belajar istana Tosora. Ia ingat beberapa pesan adab di sana. Jangan mengangkat bicara yang melampaui bayangan dirimu, ambillah sifat buah labu yang merendah, membaui tanah sebagai asal muasal, jauhi sifat kelapa yang menjulang tinggi memanjat langit padahal ia takkan mampu menjangkaunya.

Ingatlah saat keduanya bertemu di belanga dalam kemanfaatan, maka orang-orang menyebutnya kolak labu, bukan kolak kelapa. Berhikmatlah pada kemanfaatan. Mengingat pesan ini, ia lalu memutuskan untuk tak berbicara panjang melampaui durasi Raja Kecil. Ia melanjutkan,

“Yang Mulia Junjungan Raja Kecil, maksud kedatangan kami sampai di negeri Melayu ini sebenarnya adalah untuk menyusuri jejak kakanda kami Daeng Matekko yang kami dengar turut berjuang bersama saudaraku semua di Johor. Sayang sekali suratan Dewata Seuwwae Allah Subhanahu Wata’ala telah memutuskan kakanda kami beserta kesatria lainnya gugur dalam perjuangan. Tak ada yang perlu disesalkan. Mati dalam perang adalah mati yang bersantan.”

“Kami yakin kemenangan akan kita raih di masa-masa yang akan datang. Kini, nasib mengantarkan kami bertemu dengan saudaraku semua, terutama keluarga Yang Mulia di pulau yang indah ini. Semua akan kami catat sebagai pertemuan dua suku bangsa yang bersaudara. Kami dari negeri Wajo dan saudaraku semua dari Tana Siak Melayu. Terima kasih sekali lagi, dan setelah ini kami akan bermukim beberapa waktu lamanya di sini sebelum kembali ke Selat Makassar.”

“Kami merasa perlu berbagi pengalaman kecil dengan saudara-saudaraku para petempur di sini. Panglima kami, Kapitan La Banna To Assa akan berbagi pengalaman dengan saudara-saudaraku semua dalam beberapa hari. Tentu terkhusus kepada pasukan Bugis Makassar yang menjadi prajurut-prajurit pejuang di sini.

“Setelah itu, dengan mengharapkan adanya kebaikan baru yang akan tumbuh bersama, kami tinggalkan pulau ini menuju pulang sekaligus memburu orang-orang Bone yang telah merampas kapal dari almarhum kakak kami Daeng Matekko Matinroe ri Musuna. Sekian sekapur sirih ini, apa bila ada kata-kata yang kurang berkenan, mohon pengampunan paduka dan saudaraku semua. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh.”

CERITA SEBELUMNYA : 

Ia mendengar jawaban salam koor dari seluruh ruangan saat duduk. Kembali ekor matanya sekilas menangkap bahasa tubuh dan mata sang puteri yang berbinar. Ia menangkap sebuah pengakuan, kekaguman dari seorang wanita. Ah, kenapa saya jadi membesar praduga begini? Membatin begitu ia segera memeriksa darahnya yang berdesir. Merasakan ada pompaan yang mengencang di sana. Ia mengumpat dalam hati, engkau jatuh cinta!

Musik kembali dibunyikan tapi dengan suara yang tidak terlalu besar. Gurindam, biola dan gendang yang ditabuh pelan serasa panggilan dari sudut kampung yang jauh. Di Peneki ada musik yang mirip dengan ini, tapi lebih sebagai musik tunggal. Kecapi, biola atau kadang dengan suling. Ia memiliki satu seniman kecapi, La Sangkawenni yang ikut dalam rombongan namun ia enggan menyuruh anak buahnya itu unjuk kebolehan.

Nampaknya musik orang-orang Melayu ini ini sungguh indah. La Sangkawenni hanya cocok untuk dinikmati secara internal, bukan untuk ekspose ke luar. Ia harus mengakui bahwa pemusik Tana Wajo perlu belajar di Melayu. Alunan lagu syahdu khas Melayu terdengar dari seorang biduan wanita. Mengisahkan kerinduan yang sangat dari wanita yang ditinggal jauh oleh sang kekasih ke tana rantau.

La Madukkelleng larut dalam irama yang mengalun di antara suara biola yang mendayu. Ah, kenapa semua jadi terasa indah begini? Serasa ingin ia ikut bernyanyi dan berpantun di antara nada-nada musik yang mengalir. Kekuatan batinnya sebagai kesatria tempaan cepat mendorongnya menemukan dirinya kembali. Ia menegakkan punggungnya yang tadi hampir menumpu penuh pada sandaran dari bantal besar di belakangnya.

Ia melirik ke samping, Raja Kecil terlihat senyum senyum bersama istri dan keluarga kerajaan yang lain. Luar biasa raja ini, ia masih mampu menyambut tamu dengan baik padahal baru saja mereka mengalami kekalahan perang. Dan puteri itu, Hindun Jamilah, demikian memesona duduk di sana. Ia menekan perasaannya. Mencoba ikut menikmati hidangan yang disediakan. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 4 times, 1 visits today)
#La MaddukkellengBugis MakassarRaja KecilSang Pembebas
Comments (0)
Add Comment