SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

“TELAH tiba saatnya bagiku meninggalkan dunia yang fana ini. Jangan pernah berhenti memperjuangkan kebenaran. Tetaplah kalian rukun dan sipammase-mase (saling berkasih sayang), sipurennu (saling ridho), sipurio (saling membahagiakan) dan tidak bercerai-berai. Berpegang teguhlah pada jalan Islam. Istriku Andin Anjang, bantu beri wudhu padaku”.

Baginda La Maddukkelleng menjulurkan tangannya kepada istrinya yang terlihat sendu di sampingnya. Ratu Paser itu mengambil ceret emas di pojok ruangan. Pelan ia membasahi tangan, membersihkan gigi, membasuh wajah, sampai selesai di kedua kaki suaminya. La Maddukkelleng menyunggingkan senyum tipis, lalu bersedekap. Setelah itu ia diam, mengatup mulut dan tak pernah lagi membuka mata. Pada dini hari Jum’at ia menghembuskan napas terakhir dengan tenang.

Peneki diliputi awan duka kelabu yang pekat. Seluruh rakyat berdatangan berkumpul memenuhi halaman dan jalan-jalan. Rumah istana peninggalan Puengta La Matesso to Addetia itu tak muat oleh pelayat. Waktu seolah berhenti di Jumat itu. Semua orang tumpah dalam duka yang sangat.

Rencana pemakaman ba’da salat Jum’at tertunda oleh banyaknya raja-raja kerajaan sekitar yang datang melayat. Tak terkecuali raja-raja Tellumpoccoe, baik yang menjadi sahabat Puengta La Maddukkelleng semasa hidup maupun yang pernah menjadi seterunya.

CERITA SEBELUMNYA :

Kematian adalah peristiwa sakral yang akan mencairkan segala sekat dunia. Jika hidup adalah kumpulan angan-angan, cita-cita, dan ambisi tak bertepi; maka kematian adalah pemutus segala apa pun yang berkaitan dengannya.

Semua persoalan, pertikaian, peperangan dan juga segala ikatan dunia akan dipangkas oleh pedang penghenti waktu yang disebut kematian. Maka, sebagaimana tangisan pertama bayi di pintu pertama kehadirannya di dunia, maka tangisan orang-orang berduka di hari kematian adalah ‘seremoni’ refleksif penebus gerbang kehidupan berikutnya.

Seharusnya kematian tak perlu ditangisi, karena semua makhluk bernyawa pasti akan mengalami kematian, namun cara pandang manusia terhadap kematian sering berbeda-beda. Kematian lebih sering dipandang sebagai perpisahan yang memilukan. Apa lagi yang berpulang adalah Baginda Puengta La Maddukkelleng, Arung Matoa Wajo, Sultan Paser, Arung Sengkang, Arung Peneki.

Terlampau banyak pekerjaan dunia yang telah ditorehkannya, demikian banyak peristiwa-peristiwa besar diciptakan melalui sepak terjangnya, yang efek kenangannya akan terasa lama jauh setelah hari-hari kematiannya.

CERITA SEBELUMNYA :

Namanya akan menjadi suluh bagi Peneki, pun penerang bagi Wajo. Akan banyak rangkaian inspirasi baru dalam bentuk pappaseng (pesan) yang ditinggalkannya, pappangaja (nasihat) yang diberikannya, maupun pappangessi (motivasi) yang digelorakannya dalam menjaga kehidupan kerajaan yang ditinggalkannya. Dan, semua itu memerlukan keteguhan dalam menegakkan segala apa yang disebut ‘maradeka to WajoE, ade’na napopuang’.

Sampai malam hari para pelayat memenuhi istana Peneki. Arung Matowa Wajo dan juga Arung Ennengnge tak pernah beranjak dari ruang di mana jenazah di baringkan di atas pembaringan agung. Di Samping jenazah duduk bersimpuh istrinya, Andin Anjang Ratu Paser dan beberapa istri dan anak-anak yang lain. Juga terlihat Aji Imbut duduk bersila dengan kepala menunduk di belakang neneknya, Pangeran Kutai ini terlihat paling berduka.

Arung Matoa Wajo La Mappajung Puanna La Salewong menjadi tuan rumah yang menerima seluruh utusan raja-raja di Tana Ugi. Datu Soppeng, Suppa, Gowa dan semuanya. Malam selepas isya baru jenazah disalatkan di masjid samping istana, disalatkan secara bergantian oleh ribuan orang. Setelahnya, tengah malam dikebumikan di Sengkang, berdampingan dengan kuburan menantunya, Sultan Aji Muhammad Idris yang lebih dulu berbaring dengan tenang di tempat itu.

Kerajaan Wajo menetapkan masa berduka selama tujuh hari. Seluruh kegiatan dihentikan, takziyah disertai tahlilan dilakukan tak terputus selama tujuh hari itu, baik di istana Peneki maupun di istana Tosora. Pada hari Ke-40, sebuah nisan baru dari batu hitam besar berpahat ditancapkan di atas pusaranya,

“LA MADDUKKELLENG, PETTA PAMMARADEKAENGNGI WAJO (1700 – 1765).”

Tulisan itu hanya mencantumkan satu gelar yang disematkan kepadanya. Pammaradeka, yang berarti “Yang Memerdekakan, atau Yang Membebaskan” dianggap telah mewakili seluruh jasa besar pahlawan Wajo ini.

Kemampuannya melepaskan Wajo dari penjajahan Bone dan Belanda VOC adalah wujud prestasi gemilang yang membuatnya pantas atas kedudukannya sebagai Arung Matoa, Arung Peneki, Arung Sengkang dan juga Sultan Paser.  (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com) 

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 10 times, 1 visits today)
#La MaddukkellengArung PenekiRaja WajoSang Pembebas
Comments (0)
Add Comment