MULTIKULTURAL DI INDONESIA: PENOLAKAN PEMBANGUNAN GERJA DI CILEGON

OPINI

0 51
  • Oleh : Muhammad Raihan Susanto & Fauzan Fikri Maulana

  • Mahasiswa Universitas Mulawarman

INDONESIA merupakan negara yang memiliki keberagaman suku dan juga agama, sejak zaman dahulu negara ini telah menjadi tempat berkembangnya berbagai agama seperti Islam, Budha, Hindu, dan Kristen.

Saat ini ada enam agama yang telah sah diakui oleh negara yaitu Islam, Kristen, Budha, Hindu, Katolik, dan juga Khonghucu. Setiap agama memiliki cara beribadah yang berbeda-beda dan mewarnai kehidupan sehari-hari dengan perayaan, upacara, dan ritual yang unik.

Meskipun dengan keanekaragaman agama dan kebudayaan, masyarakat di indonesia hidup berdampingan dengan penuh rasa hormat dan toleransi.

Tetapi, karena beragamnya agama dan kebudayaan di Indonesia tidak menutup kemungkinan bahwa konflik antar umat tidak dapat terjadi. Seperti yang terjadi di Kota Cilegon, Banten pada 7 September 2022.

Dimana sejumlah masyarakat yang menamakan dirinya Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon, menolak pembangunan rumah ibadah Gereja HKBP Maranatha di lingkungan Cikuasa, Kelurahan Geram, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon, Banten.

Kelompok itu melakukan aksi damai dengan mendatangi DPRD Cilegon, dan bertemu Wali Kota Cilegon Helldy Agustian.

      A. Alasan Penolakan Gereja Di Cilegon

Meunurut sebagian masyarakat Cilegon, ada beberapa alasan yang menyebabkan adanya penolakan pembangunan Gereja di Cilegon. Hal ini tidak lepas dari historis yang pernah terjadi pada tahun 1974-1978, yang didasari adanya Bedol Desa pada saat pembangunan pabrik Krakatu Steel.

Pembangunan Pabrik Baja terbesar di Asia Tenggara saat itu munculnya perjanjian antara ulama, tokoh masyarakat, dengan pihak berwenang yang kemudian memunculkan klausul tak ada tempat ibadah agama lain selain Islam di Cilegon.

Adapun alasan lainya yaitu, pada sekitar tahun 1974-1978 terbentuknya Projects Pembangunan Baja Krakatau Steel bernama Projects Trikora, yang pada saat itu dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Lalu terjadi kesepakatan antara para alim ulama, khususnya Pesantren Al-Khairiyah dan juga tokoh masyarakat sepakat untuk direnovasi  yang sekarang disebut Bedol Desa, tapi dengan catatan tidak adanya tempat ibadah yang lain.

Alasan yang Ketiga, adanya tindakan penolakan yang diperkuat dengan Surat Keputusan dari Bupati Serang Tahun 1975, pada saat itu dijabat oleh Ronggowaluyo. Cilegon masih menjadi bagian dari Kabupaten Serang pada saat itu.

Pada tahun 1975 tepatnya 20 Desember 1975, muncul surat dari Bupati Ronggowaluyo. Karena desakan masyarakat Cilegon, lalu diterbitkanlah pada waktu itu SK penutupan Gereja Katolik. Tiga alasan tersebutlah yang menjadi dasar penolakan gereja di Cilegon.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, masih ada sebagian masyarakat yang masih enggan untuk menerima pembangunan Gereja dan juga tempat ibadah agama lain selain Agama Islam di wilayah mereka.

Dan oleh karena itu, banyak masyarakat di luar Kota Cilegon yang beranggapan bahwa masyarakat di Kota Cilegon ini memiliki sifat intoleran terhadap perbedaan agama. Sebaiknya masyarakat mayoritas tidak membedakan antara satu sama lainnya, agar kehidupan yang harmonis dan penuh toleransi dapat terlaksana.

Dan untuk masalah pembangunan tempat ibadah, jika ada kelompok minoritas yang ingin membangun tempat ibadahnya sendiri dan terkendala dalam hal perizinan dan sebagainya, kita sebagai kelompok mayoritas di wilayah tersebut harusnya saling membantu dalam mengatasi kendala tersebut, sehingga kelompok minoritas tersebut dapat menjalankan kewajiban beribadahnya dengan tenang dan damai.

     B. Dampak Dari Penolakan Gereja Di Cilegon

Menurut data Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 2% dari penduduk Kota Cilegon merupakan umat Kristen atau hampir 9.000 orang. Dari 9.000 orang kristen ini 2,500 merupakan anggota Gereja Katolik.

Puluhan tahun umat Katolik Cilegon menanti dengan perjuangan keras untuk mendirikan Gedung Gereja yang layak, sebagai tempat meraka beribadah. hingga saat ini, di Kota Cilegon belum terdapat Gereja yang diizinkan berdiri bagi 9.000 umat Kristiani.

Hal ini membuat umat Katolik memutuskan memakai ruang serba guna di sebuah yayasan sekolah sebagai tempat ibadah sementara, meskipun kapasitasnya jauh dari yang memadai. Tak sedikit juga yang memutuskan untuk pergi ke Kota Serang, yang jarak tempuhnya sekitAr 1 jam lebih dari Kota Cilegon.

Dengan adanya sikap intoleran seperti ini, tentu akan menimbulkan suatu konflik di masyarakat. Seperti perpecahan antar umat beragama yang memiliki keyakinan yang berbeda, timbulnya kesenjangan sosial di antara masyarakat, munculnya sikap fanatisme berlebihan terhadap agama lain, rawan munculnya sikap rasisme antara umat beragama, yang kemungkinan besar akan menimbulkan pertikaian, membuat masyarakat menjadi acuh tak acuh antara satu sama lain, serta kurangnya partisipasi masyarakat atas pembangunan di daerahnya karena merasa agamanya tidak diterima.

Menurut kami, sikap toleransi ini harus ada dalam pribadi kita masing, semua elemen berperan penting baik dari diri kita sendiri, toko agama, masyarakat dan pemerintah semua harus berperan agar terciptanya kondisi masyarakat yang rukun aman dan damai.

Karena pada dasarnya, setiap manusia memiliki keyakinan dan kepercayaan pada suatu agama. Dan orang lain tidak punya hak untuk mencampuri, selama yang ia percayai tidak menimbulkan perpecahan antar masyarakat. (*)

REFERENSI

https://regional.kompas.com/read/2022/09/08/192205178/duduk-perkara-penolakan-pembangunan-gereja-di-cilegon-banten

https://news.detik.com/berita/d-6285503/fkub-ungkap-3-hal-ini-jadi-alasan-adanya-penolakan-gereja-di-cilegon

https://nasional.kompas.com/read/2022/09/11/15143501/kasus-penolakan-gereja-di-cilegon-imparsial-minta-kepala-daerah-tak

https://kemenag.go.id/opini/mengurai-polemik-penolakan-pendirian-gereja-di-cilegon-jr7bvt

(Visited 45 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!