HUKUMAN PENJARA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOBA, EFEKTIFKAH?

Tindak Pidana Narkoba Terus Terjadi, Bahkan Berulang Kali Dilakukan Pelaku Yang Sama

0 961
  • OPINI
  • Penulis: Lukman (22-244)
  • MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNTAG SAMARINDA

BERDASARKAN pengamatan dan data di Pengadilan Negeri Samarinda terkait pelaku tindak pidana kejahatan Narkotika, Psikotropika, dan obat terlarang (Narkoba) diketahui beberapa Terpidana yang tengah menjalani hukuman penjara, kembali mengulangi perbuatan tindak pidana Narkoba dari dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkoba Bayur Samarinda.

Meski berada di dalam Lapas Narkoba, namun masih bisa mengatur distribusi atau peredaran Narkoba di luar Lapas. Hal ini tentu memerlukan perhatian serius, mengapa bisa terjadi seperti itu. Apakah karena kelalaian petugas, atau karena memang ada keterlibatan orang dalam Lapas Narkoba itu sendiri.

Ironisnya, ini bukan hanya terjadi sekali dua kali, namun telah berkali-kali. Untungnya petugas Kepolisian bisa membongkar jaringan-jaringan itu, meski tidak menutup kemungkinan ada juga yang lolos dari pantauan aparat Kepolisian.

Dari data yang dikumpulkan, hingga Triwulan Pertama tahun 2023 ini setidaknya dalam satu kasus saja, dua orang tercatat merupakan Narapidana yang tengah menjalani hukuman penjara di Lapas Narkoba Bayur Samarinda kembali mengulangi perbuatannya.

Keduanya masing-masing Arifrianto nomor perkara 154/Pid.Sus/2023/PN Smr, dan Eko Setia 153/Pid.Sus/2023/PN Smr yang kembali mengulangi perbuatannya bertransaksi dengan residivis Narkoba di luar Lapas, Syarifah.

Syarifah nomor perkara 127/Pid.Sus/2023/PN Smr, ia kembali dijatuhi hukuman penjara selama 6 tahun, Rabu 15 Maret 2023. Padahal ia baru beberapa bulan keluar dari Lapas setelah menyelesaikan masa hukuman penjara atas perbuatan yang sama pada tahun 2020 dengan hukuman 5 tahun, nomor perkara 294/Pid.Sus/2020/PN Smr.

Berdasarkan fakta-fakta persidangan terungkap, Syarifah memesan Narkotika jenis Sabu-Sabu kepada Arifrianto. Kemudian Arifrianto yang tinggal satu sel dengan Eko Setia menyampaikan, jika ada yang minta dicarikan Sabu-Sabu.

Eko Setia kemudian melalui Handphone yang dibeli dari Narapidana pindahan dan Handphone tersebut telah dikuasai selama 1 bulan, menghubungi Slamet di luar Lapas Narkoba Bayur agar menyiapkan Sabu untuk Syarifah. Transaksi terjadi, Sabu ada dan Uang ditransfer Syarifah ke salah satu rekening yang ditunjuk Eko Setia.

Meski kemudian Syarifah ditangkap anggota Kepolisian Samarinda, yang akhirnya membongkar satu jaringan peredaran Narkoba dari dalam Lapas Bayur Samarinda. Terungkap dalam persidangan, kesaksian anggota Polisi penangkap. Rekening itu adalah milik orang dalam Lapas Narkoba.

Perkara lain. Tahun 2022, Terdakwa Nahyono nomor perkara 771/Pid.Sus/2022/PN Smr dijatuhi hukuman penjara selama 6 tahun. Terdakwa Nahyono diketahui pernah juga dihukum tahun 2016 selama 7 tahun atas perannya menjadi perantara dalam jual beli Ekstasi. Nomor perkara 883/Pid.Sus/2016/PN Smr.

Masih tahun 2022, Terdakwa Muhammad Saprulloh perkara nomor 791/Pid.Sus/2021/PN Smr dihukum penjara 7 tahun. Ia juga seorang residivis tindak pidana Narkoba, yang dijatuhi hukuman penjara selama 9 tahun pada tahun 2014.

Berikutnya, masih pada tahun 2022. Ada Terpidana Peter Jayadi nomor perkara 315/Pid.Sus/2022/PN Smr yang dijatuhi hukuman selama 5 tahun penjara, Senin 30 Mei 2022. Hukuman itu hanya berselang 11 bulan setelah dijatuhi hukuman penjara selama 17 tahun, Senin 10 Mei 2021. Nomor perkara 136/Pid.Sus/2021/PN Smr.

Tulisan Terkait:

Terlepas dari pengakuan Jaksa Penuntut Umum yang mengakui kealpaannya melihat catatan tindak pindana Terdakwa Peter Jayadi sebelumnya, namun tindak pidana Narkotika yang dilakukan Terpidana Peter Jayadi merupakan pengulangan yang ketiga kalinya, karena Kamis 8 Februari 2018 Terpidana Peter Jayadi nomor perkara 1396/Pid.Sus/2017/PN Smr juga telah dijatuhi hukuman penjara selama 11 tahun.

Terpidana Peter Jayadi bukan orang pertama yang melakukan tindak pidana Narkotika secara berulang sebanyak tiga kali, yang disidang di Pengadilan Negeri Samarinda. Sebelumnya juga ada perkara Terpidana Juliandi nomor perkara 272/Pid.Sus/2020/PN Smr yang dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun, Selasa 28 Juli 2020. Barang bukti Sabu 1.018 Gram/Brutto (1 Kg).

Hukuman ini hanya berselang sekitar 6 bulan setelah ia dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun juga, Rabu 18 Desember 2019 dalam perkara nomor 882/Pid.Sus/2019/PN Smr atas barang bukti Sabu seberat 502,86 Gram/Brutto (1/2 Kg).

Sebelumnya, Senin 7 Maret 2016, Terpidana Juliandi nomor perkara 109/Pid.Sus/2016/PN Smr dijatuhi hukuman penjara selama 9 tahun 6 bulan atas barang bukti sebanyak 558,63 Gram/Brutto (1/2 Kg) Sabu yang dibawa dari Pulau Batam.

Dua kasus Terpidana Juliandi dilakukan saat menjalani hukuman penjara di Lapas Narkoba Bayur, menjadi catatan hitam dalam penegakan hukum tindak pidana Narkoba di Samarinda.

Itu sedikit gambaran kasus tindak pidana Narkoba yang terjadi di Kota Samarinda, dilakukan terpidana yang sama secara berulang ataupun residivis Narkoba. Berdasarkan data-data yang dihimpun, sesungguhnya masih banyak kasus yang terjadi seperti ini (Baca DETAKKKaltim.Com). Data yang diungkap ini bagaikan fenomena Gunung Es, hanya puncaknya yang terlihat.

Dari beberapa perkara tindak pidana Narkoba yang dilakukan secara berulang oleh pelaku yang sama, menimbulkan pertanyaan. Apakah sistem pemidanaan yang dilakukan saat ini sudah tepat untuk memberantas peredaran Narkoba di tengah masyarakat Indonesia, yang berjumlah sekitar 276.639.440 juta jiwa (data tahun 2023), tersebar di 17.504 pulau dengan luas wilayah 5.193.250 Km² meliputi darat dan laut.

Mencermati fenomena tindak pidana yang dilakukan secara berulang pelaku tindak pidana Narkoba, apa yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang tampaknya tidak efektif, agar peredaran Narkotika di Indonesia bisa diberantas dan generasi muda yang selama ini banyak terjerat, baik sebagai pemakai ataupun pencandu bahkan banyak yang menjadi pengedar bisa terselamatkan.

Sebagaimana disampaikan Mochtar Kusumaatmadja, hukum itu bertujuan memelihara ketertiban, yang meliputi lembaga-lembaga dan proses-proses guna mewujudkan berlakunya kaedah itu sebagai kenyataan dalam masyarakat.

Pendapat lain, Aristoteles (384 SM – 322 SM) menjelaskan, tujuan hukum adalah untuk mencapai sebuah keadilan. Sedangkan menurut John Locke (1632-1704), setiap individu manusia memiliki hak-hak kodrati, dan hukum bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak tersebut.

Berangkat dari tujuan akhir hukum tersebut dikaitkan dengan pemberlakukan UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, yang ditetapkan 12 Oktober 2009 oleh Presiden RI Bambang Susilo Yudhoyono kala itu.

Setelah berlaku sekitar 14 tahun. Menilik dari masih maraknya perkara-perkara Narkoba yang masuk ke Pengadilan Negeri Samarinda sebagai salah satu barometer Pengadilan Negeri di Kalimantan Timur, tampaknya masih jauh dari harapan untuk mewujudkan kedamaian itu.

Berdasarkan data yang dihimpun, hingga hari Ke-10 bulan April 2023 Kejaksaan Negeri Samarinda telah melimpahkan perkara Narkoba ke Pengadilan Negeri Samarinda sebanyak 155. Tahun lalu, hingga akhir Desember 2022 tercatat 392 perkara yang dilimpah.

Dari angka-angka tersebut, seyogianya menjadi cerminan bagi pemerintah untuk mengevaluasi kembali UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkoba terkait pemidanaan itu. Dimana salah satu tujuan pemidanaan menurut Sahardjo, untuk membimbing terpidana agar bertaubat.

Sebagaimana juga disampaikan Herbert L Packer, bahwa pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana, dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa.

Namun dari data-data yang disajikan di atas, ternyata hukuman yang dijatuhkan tidak membuat terpidana jera ataupun bertaubat. Bahkan kecenderungannya melakukan tindak pidana Narkoba itu semakin meningkat, apa bila hukuman penjara yang dijatuhkan terbilang cukup lama.

Meski hal ini masih perlu dikaji lebih dalam, apakah ada keterkaitan antara pengulangan tindak pidana Narkoba yang dilakukan terpidana dengan lamanya hukuman penjara yang dijatuhkan. Jika ada, seberapa besar pengaruhnya.

UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 4 huruf b menyebutkan, Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan mencegah, melindungi, dan menyelamatkan Bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika.

Namun jika bahkan dalam menjalani pemidanaanpun para pelaku tindak pidana Narkoba masih bisa melakukan aktifitas, sebagai perantara atau bahkan pengendali peredaran Narkoba bagi masyarakat di luar Lapas Narkoba, bagaimana bisa mewujudkan tujuan hukum dari UU Narkotika tersebut.

Bisa dipastikan kemudian tidak akan terwujud rasa keadilan bagi masyarakat yang ingin terbebas dari rasa tidak aman, terhadap kehadiran Narkotika di sekitar mereka yang menjadi bahaya laten bagi dirinya dan keluarganya.

Jika rasa keadilan itu saja sebagai jembatan untuk menuju kedamaian belum bisa diwujudkan, bagaimana mungkin bisa mewujudkan kedamaian itu sendiri sebagai tujuan hukum dalam pandangan Thomas Hobbes.

Penerapan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana Narkoba berdasarkan  UU Nomor 35 Tahun 2009, hingga saat ini belum bisa memberikan rasa tenteram apa lagi keadilan terlebih lagi kedamaian di tengah masyarakat Indonesia. Apa yang mampu dihadirkannya di tengah masyarakat, baru sebatas penghukuman terhadap pelaku itu sendiri.

Ini masih dalam tataran teori absolut yang memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, sehingga masih berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri.

Belum sampai pada tataran seperti apa yang dimaksudkan Leonard, dalam teori relatif pemidanaan yang bertujuan mencegah dan mengurangi kejahatan.

Hal ini juga bisa terlihat dari perkara mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Polisi Teddy Minahasa yang divonis bersalah dan dijatuhi pidana mati dengan pertimbangan Majelis Hakim, ia sebagai Intelectual Dader atau pelaku utama dari segala perkara yang ditangani Kejaksaan terkait perkara itu.

Berikutnya, kecenderungan terpidana tindak pidana Narkotika mengulangi perbuatannya berkali-kali setelah menerima hukuman maksimal 20 tahun dari beberapa perkara. Hal ini juga perlu mendapat kajian mendalam, apakah seorang terpidana yang telah menerima hukuman maksimal 20 tahun dalam satu atau dua perkara dapat dijatuhi hukuman mati ketika masih mengulangi perbuatannya.

Pemidanaan seumur hidup bisa jadi sebuah alternatif, seperti yang dialami Terpidana Rahmat Santosa nomor perkara 209/Pid.Sus/2019/PN Smr. Pertama ia dijatuhi hukuman penjara selama 13 tahun, lalu melakukan lagi tindak pidana Narkoba saat menjalani hukuman itu sehingga ia dijatuhi lagi pidana selama 6 tahun.

Dengan akumulasi hukuman sudah 19 tahun itu, Terpidana Rahmat Santosa kembali melakukan tindak pidana Narkoba sehingga dituntut selama 16 tahun Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Apa yang terjadi kemudian, Majelis Hakim hanya menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun dengan pertimbangan hukuman tidak boleh lebih 20 tahun.

Hal ini membuat JPU kemudian menempuh upaya hukum Banding, dan hasilnya Terpidana Rahmat Santosa dijatuhi hukuman seumur hidup. Upaya hukum Kasasi yang ditempuh Terpidana Rahmat Santosa, ditolak Majelis Hakim Kasasi.

Hukuman seumur hidup bukannya tanpa implikasi negative, selain menjadi beban negara selama hidupnya memberikan makan dan fasilitas lainnya. Ia bisa saja nekat menjadi otak peredaran Narkoba dari dalam Lapas, seperti yang dilakukan Terpidana Arifrianto dan Eko Setia.(*)

 

(Visited 243 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!