SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 73

TAPI La Maddukkelleng mengampuni mereka. Mereka hanya disuruh bersumpah untuk takkan lagi menyerang Wajo dan membantu Bone dan Belanda. Mereka menyampaikan ikrar takkan mengkhianati sumpah yang juga disaksikan La Pallawa Gau Petta Pilae dan Kapitan La Banna To Assa. Mereka kemudian dibebaskan kembali ke kampung halamannya.

La Maddukkelleng tetap pada misi bahwa peperangan ini sesungguhnya perang melawan orang Belanda yang berada di balik semua perpecahan Tellumpoccoe. Peperangan ini adalah untuk kemerdekaan Wajo. Dia berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menambah permusuhan dengan negeri-negeri tetangga.

Langkah La Maddukkelleng ini di kemudian hari menjadi catatan yang berguna dalam mengukuhkan posisi Wajo dalam pandangan negeri-negeri yang diampuni ini. Mata mereka terbuka bahwa perang sesungguhnya bukanlah dengan bangsa sediri, mereka seolah tersentak atas kekeliruan selama ini, mengangkat senjata bersama orang asing demi mengalahkan saudara sendiri.

Kemenangan perang di Tampangeng memberi motivasi besar kepada pasukan Wajo. Dari Tampangeng duet Petta Pillae dan La Banna berikut pasukan pilihannya berbelok ke arah Tempe melalui Lapadduppa. Salah satu sekutu Bone, Batu Batu yang telah menduduki Tempe dan menguasai Panji Kebesaran Kerajaan bermarkas di sana bersama pasukan aliansi lainnya.

CERITA SEBELUMNYA :

Pengalaman pertempuran La Banna To Assa di air mengantarkan pasukan Wajo memperoleh kemenangan gemilang dalam waktu singkat. Danau Tempe berubah menjadi medan perang yang mengubur banyak pasukan Batu Batu dan aliansi Ajattapareng. Dari arah daratan, Pallawa Gau memborbardir dengan sangat cepat tanpa ampun.

Beberapa pejuang aliansi ini tergeletak mati dan terperosok ke Danau Tempe yang dalam. Panji kebesaran Tempe direbut kembali, pemimpinnya bertekuk lutut dan dipaksa bersumpah dan menandatangani pernyataan takkan menyerang Wajo selama-lamanya. Ini mengikuti kebijakan Arung Matoa yang memiih mengampuni musuh-musuh yang sudah takluk dan menyerah.

Kemenangan berlanjut dalam perang-perang berikutnya. Setelah Tampangeng dikuasai, maka datang bantuan dari arah selatan salah satu negeri di bawah Wajo yang tetap bersetia, yakni Puanna Yabang Arung Sompe. Mereka datang membawa 100 orang lebih pasukan yang masih segar. Mereka lalu bergabung dan menyerang beberapa negeri bawahan Wajo yang membelot ke aliansi Bone VOC, yakni Wage, Liu, Caleko, Canru dan Ugi.

Mereka semua dipaksa untuk kembali mengakui Wajo sebagai negeri induk. Kepada negeri-negeri itu, diminta untuk mengirimkan serdadu-serdadu bantuan sebagai tanda kesetiaan. Akhirnya berkumpul pula lebih 100 petempur dari mereka.

Maka perang pun berlangsung lebih eskalatif dengan jumlah personil bertambah dari negeri-negeri palili yang kembali ke pihak Wajo. Keunggulan perlahan namun pasti diraih Wajo. La Maddukkelleng yang memimpin langsung pertempuran di front terdepan memperlihatkan kepandaian dan kapasitasnya sebagai Raja Pemberani.

Dalam perang menentukan di utara Tosora, pasukan gabungan Bone, Luwu, Belanda, Ternate, Buton dan aliansi lainnya yang berjumlah tiga ribu lebih  berhadap-hadapan langsung dengan dua ribuan lebih pasukan Wajo.

La Maddukkelleng dengan mengendarai kudanya menyerbu ke arah musuh mendahului pasukannya. Ia memakai baju perang dari Paser, bersenjatakan keris panjang berkelok 29 milik Peneki dan sebilah tombak Banranga. Ia mengamuk bagai naga berkuda yang sakti. Sambil memekik memerintahkan pasukannya maju, ia menerjang ke barisan musuh sendirian dengan kecepatan tak terduga. Perang dengan meriam sudah berganti dengan bedil.

CERITA SEBELUMNYA :

Bunyi letusan dan bau asap mesiu membaur di udara dalam hingar-bingar suara kematian. Peluru-peluru dan tabasan senjata tajam seolah menggunting udara di mana-mana. Sepanjang jejak kudanya, musuh-musuh La Maddukkelleng bertumbangan tertebas kerisnya yang berliku panjang. Bayangan kelebatan keris bertuah itu bagaikan lidah maut yang menyambar-nyambar.

Dalam kecamuk perang yang memuncak, tiba-tiba kudanya tumbang tertembak bedil seorang serdadu Belanda. Kudanya roboh terjungkal, La Maddukkelleng ikut terjerembab ke tanah. Bergulingan laksana trenggiling bulat dalam kecepatan luar biasa. Belasan tombak dan pedang panjang mengejarnya. Namun tak satu pun yang mampu menyentuh kulitnya.

Pada saat sama pasukannya telah sampai di medan pertempuran, ribuan pasukan terlibat perang jarak dekat, bedil menjadi sulit dipergunakan. Perang kini mengandalkan kepandaian bersenjata dan ilmu bela diri. Pada saat La Maddukkelleng roboh bersama kudanya dan diserang dari berbagai arah oleh musuh, ia mengerahkan maksimal kepandaiannya yang selama ini jarang disaksikan langsung oleh orang-orang.

Ia berputaran dan melompat dalam gerakan yang cepat bukan main. Seluruh senjata yang menyentuh tubuhnya terpental atau bahkan terlihat membalik sebelum menyentuh anggota badannya. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 1 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!