SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 111

BAGINDA La Maddukkelleng memiliki empat orang anak dari Andin Anjang, Ratu Paser. Seorang wanita dan tiga orang laki-laki. Puteri pertama yang kita kenal, Aji Doya lahir sebagai anak sulung.

Beberapa tahun antaranya baru kemudian lahir tiga anak laki-laki. Jarak kelahiran antara Puteri Doya dan adik-adiknya terpaut cukup jauh. Ada beberapa tahunan. Berturut-turut setelahnya lahir To Sibengngareng, To Rawe dan To Siangka.

Usia yang terpaut jauh ini membentuk karakter Aji Doya menjadi puteri yang matang dalam penampilan, anggun dalam sikap, dan dewasa dalam pembawaan. Ia menjadi pemimpin adik-adiknya yang kesemuanya bertumbuh dalam paduan dua darah keningratan yang khas, Bugis Wajo dan Paser Borneo.

Sejarah selalu merangkum deretan kejadian peristiwa yang berlangsung cepat dan melibas. Terkadang berputar lebih melompat dari irama waktu. Demikian pula di Paser. Puteri Doya segera tumbuh menjadi gadis yang anggun, berkarakter kuat namun memiliki paras yang manis. Hubungan La Maddukkelleng sebagai Sultan Paser dan Kerajaan Kutai terus terjalin dengan baik.

CERITA SEBELUMNYA :

Apa lagi pemukim Bugis di bawah Pua Ado Samarinda semakin ramai dan berkembang. Pertumbuhan tempat ini dalam hitungan setengah abad demikian pesatnya. Bermekaran bagai bunga cendawan di musim hujan.

Keberadaan pengikut dan turunan Daeng Mangkona yang membuka pelabuhan dan kegiatan ekonomi yang terhubung dengan negeri-negeri lain membuat kawasan itu terkenal sampai ke tempat-tempat jauh di seberang, melampaui daerah-daerah tua yang sudah ada jauh sebelumnya. Penduduknya bertambah padat dan ramai.

Dalam waktu-waktu selanjutnya, perkampungan yang letaknya di hilir Pemarangan, makin berkembang pesat, bermetaformosa menjadi kota satelit mendampingi Ibukota Pemarangan di Jembayan. Kapal-kapal dagang ramai bersinggah di pelabuhannya. Samarinda telah menjadi salah satu penopang utama kerajaan, yang selain kota dagang, juga berfungsi sebagai perkampungan prajurit cadangan bagi kerajaan.

Beberapa kali mereka menghalau perompak-perompak yang sering menyerang penduduk Ibukota maupun pemberontak-pemberontak yang meronrong kerajaan. Ini menjadi alasan makin eratnya hubungan Paser, terutama La Maddukkelleng dengan Kerajaan Kutai. Kadangkala saling mengunjungi dilakukan oleh kedua belah pihak. Pembauran pun terjadi lebih cepat.

Visi La Maddukkelleng dengan Raja Kutai saat itu, memiliki kesamaan dalam memandang kehadiran orang asing Belanda yang sering menjadi biang kerok pertentangan-pertentangan antara kerajaan di Borneo maupun Sulawesi.

Hubungan itu kemudian mengkristal dengan datangnya pinangan dari putera mahkota yang baru saja diangkat sebagai Sultan Kutai Kartanegara menggantikan ayahnya, Pangeran Panji Mendapa bergelar Aji Yang Begawan yang mangkat pada tahun 1732.

Sultan Aji Muhammad Idris, nama raja baru ini mengajukan lamaran ke Aji Doya, puteri La Maddukkelleng. Pinangan diterima dan pernikahan megah dilangsungkan di Paser dan Kutai. Ini menandai persaudaraan dengan Kutai makin menguat. Semerbak harum wewangian menyebar seantero negeri. Dua negeri dengan dua raja berbeda seolah menjadi satu dalam ikatan koalisi yang dikukuhkan oleh tali pernikahan.

CERITA SEBELUMNYA :

Perkawinan sangat efektif menyatukan sekat-sekat politik. Banyak bukti soal itu. Filosofi salah satu ujung di anggota tubuh yang sering diungkap La Maddukkelleng telah membenarkan hal itu. Maka warna warni pelangi tersambung panjang. Ujung-ujungnya membentang jauh dari Pemarangan sampai Muara Kandilo. Membentuk kesatuan serta kesepakatan tak tertulis, bahwa kepentingan apa pun yang berhubungan dengan Kutai, Paser dan Tana Wajo adalah menjadi kepentingan bersama.

Apa yang tercetus di Kandilo Paser bisa tembus mengalir ke Mahakam Kutai dan Walennae yang nun jauh di Sulawesi. Persandingan Pangeran Muhammad Idris dan Puteri Doya di pelaminan menjadi tonggak pertemuan arus Kutai – Wajo dan Paser. Ia merangkai seluruh apa yang dicatat sebagai jalinan persudaraan.

Sebagaimana filosofi tiga La, yakni Lare’ (kangkung), Lame’ (kelompok udang kecil di sungai) dan Ladang (cabe rawit); Mereka membangun jalinan kuat seperti kangkung yang saling melilit dalam kekuatan, udang papai kecil yang kuat karena menyatu dalam ikatan solidaritas serta cabe rawit yang kecil-kecil dalam ukuran namun mampu mendatangkan efek pedas yang tiada duanya.  (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 3 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!