SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 54

MAKA dini hari itu, di saat suara dentuman meriam masih terus terdengar, orang-orang VOC yang berawakkan sebagian orang-orang pribumi itu tak mengira bahwa puncak perang besar sebentar lagi akan terjadi.

VOC memang sangat percaya diri dengan perang ini. Armada mereka lebih banyak dan amunisi melimpah. Dua perahu bintak itu mendekati salah satu kapal paling besar VOC secara diam-diam dalam jarak yang tak terlihat.

Laut masih bergejolak dalam gelombang dan hujan besar terus datang dari langit pekat bersama udara subuh yang menusuk. La Banna memerintahkan dua perahu itu masing-masing dari arah berbeda menuju titik serbu. La Banna sendiri memimpin penyerbuan dari sisi kiri belakang. Ambo Pabbola dan tim dari sisi satunya, masih dalam jarak tak terlihat.

Perahu Bintak bergerak pelan dalam jarak pandang samar dan gelapnya cuaca. masih terdengar di kejauhan suara meriam dari arah Kapal Perang Peneki berdentuman saling berbalas dengan kapal-kapal gabungan Belanda. Ketika dua kelompok kecil yang berisikan masing-masing tujuh orang itu berhasil menaiki kapal VOC, terjadilah pertempuran jarak pendek dalam kapal.

La Banna memperlihatkan kepandaian dan keberanian yang luar biasa. Begitu pula yang lainnya. Dua belas orang itu mengamuk dan menghabisi hampir sepenuh kapal, kecuali yang menyerah. Mereka hanya kehilangan dua pasukan marinir yang tertembak saat pertama memasuki kapal.

Yang membuat kaget La Banna dan kawan-kawan, ternyata hanya ada sembilan orang Belanda di kapal besar itu, empat berhasil ditewaskan sementara lima lainnya termasuk komandannya berhasil kabur dengan perahu sekoci. Selebihnya adalah orang-orang pribumi. Ada Jawa, Ambon, Melayu dan juga orang-orang Bugis. Betapa bodohnya. La Banna mengumpat dalam hati.

CERITA SEBELUMNYA :

Seluruh penumpang kapal musuh yang hidup ditawan, ada lebih dua puluh orang, dikumpulkan di geladak. Tangan diikat kuat di tiang-tiang palka. Mayat-mayat yang bergelimpangan diperintahkan untuk dibuang ke laut. La Banna memerintahkan mengendalikan langsung kapal rampasan itu. Mengarahkan moncong meriam dan menembak ke arah kapal Belanda lainnya.

Kini, kekuatan La Maddukkelleng telah menjadi dua. Namun, armada Belanda sangat banyak. Bahkan saat itu telah datang dua armada bantuan. Sejenak Belanda VOC kalang kabut. Namun segera mereka sadar bahwa salah satu kapal komando telah dirampas musuh. Mereka meningkatkan serangan dan membagi dua konsentrasi, ke kapal La Maddukkelleng dan kapal yang telah dirampas musuh.

Di saat kecamuk perang itulah salah satu peluru meriam besar telak mengenai lambung kapal La Maddukkelleng. Kapal musuh mengepung dan mereka di atas angin karena menempati posisi di atas arah angin. Terjadi kerusakan parah dan air laut menerobos masuk. Terjadi hiruk pikuk dalam kapal yang kini  tanpa La Banna dan Ambo Pabbola. Baco Takke yang mengemudikan kapal sadar kalau kapal dalam keadaan rusak parah dan sebentar lagi tenggelam.

“Puengku, kapal rusak parah dan sebentar lagi tenggelam. Mohon perintah..!” La Maddukkelleng yang saat itu bersama istrinya Hindun Jamilah dalam ruang kemudi berusaha tenang.

“Turunkan seluruh sekoci, semampumu arahkan kapal ke arah musuh, tabrak sebelum kapal tenggelam!” Ia memerintah dengan suara mantap. Tak terdengar ada nada ragu di sana.

La Maddukkelleng lalu memeluk istrinya kemudian dengan sigap membawanya melompat ke arah sekoci yang telah dilepaskan dari ikatan kapal. Hindun Jamilah memeluk leher suaminya,

“Kakanda, saya takut..”

Jangan khawatir, istriku, aku akan selalu di dekatmu. Naiklah segera.”

Ia berusaha tenang dan memeluk istrinya sebelum dinaikkan ke sekoci. Seorang pengawal tua setia dari Johor yang selama ini menjadi kepercayaan Puteri Hindun diperintahkan oleh La Maddukkelleng menemani Sang Puteri di sekoci. Mereka bertiga dengan seorang inang pengasuh di sana. La Maddukkelleng sendiri naik satu sekoci lain bersama Puanna Dekke dan empat prajurit utama lainnya.

Dua sekoci itu ditambatkan dengan tali panjang. Suasana sangat kacau di tengah hujan yang belum juga reda. Kecuali Baco Takke yang masih memegang kemudi, seluruh personil kapal telah naik di sekoci-sekoci yang dimuati meriam-meriam kecil dan segala perbekalan. Baik senjata, amunisi maupun ransum logistik. Baco Takke, nahkoda tangguh dari Peneki itu mengarahkan sisa tenaga kapal untuk mencapai sasaran tabrak.

Namun musuh terlampau jauh. Kapal besar yang dibeli dengan harga mahal dari Inggris itu perlahan karam sebelum menyentuh kapal musuh. Ia tenggelam ke dasar laut bersama nahkodanya yang memilih mati dengan kemudi tetap di tangan. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

 

(Visited 1 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!